1+1=11

Citibank berupaya memberikan value added yang relevan kepada pelanggannya lewat strategi co-branding. Bagaimana seluk-beluknya?

Beruntunglah pemasar kartu kredit yang customer database-nya dikelola dengan baik seperti Citibank. Sebab, lewat data itulah mereka bisa menganalisis kebutuhan dan ekspektasi pelanggan yang terus meningkat. Dari sana jugalah mereka bisa merancang program co-branding—dengan Garuda Indonesia dan Telkomsel—untuk memberikan benefit tambahan kepada pelanggannya.

“Waktu kami cek base kami, ada pelanggan-pelanggan tertentu yang senang terbang.  Jumlah 1 Bill Telkomsel kami pun ternyata cukup besar. Nah, kenapa kami tidak menggandeng partner? Misalnya berkolaborasi dengan Garuda dan Telkomsel supaya dapat memberikan yang terbaik bagi customer kami,” kata Djamin E. Nainggolan, Cards Marketing Director Cards Business Citibank yang didampingi Ita S. Mucharam (Marketing Public Relations Head). Akhirnya, setelah melalui berbagai proses, co-branding itu diwujudkan dalam Citibank Telkomsel Card dan Garuda Indonesia Citibank Card.

Kendati demikian, Citibank tidak gegabah melakukan co-branding. Selain mengacu pada database tadi, pemilihan partner juga dilakukan secara hati-hati. Kriterianya adalah sang partner harus punya value yang kuat, bisa memberikan nilai tambah kepada pelanggan, dan punya target market yang sama.

Di samping itu, papar Djamin, ada dua syarat lagi. Pertama, visinya harus sama, yaitu perusahaan yang “customer focus”. Kedua, merupakan market leader di industri masing-masing supaya brand bertambah kuat di mata konsumen—bisa mengangkat brand image. Co-branding itu harus bisa memberikan yang terbaik untuk customer kami. ‘Kami’ itu adalah dua partner ini,” terangnya.

Alhasil, dengan sejumlah syarat tadi, nilai tambah yang tercipta menjadi sangat signifikan dan relevan bagi pelanggan. Lihat saja, pemilik Garuda Indonesia Citibank Card otomatis menjadi anggota Garuda Frequent Flyer (GFF)—yang diberikan berbagai fasilitas seperti prioritas reservasi, no cancellation fee, excess baggage allowance, executive lounge, dan poin mileage (poin yang dihitung berdasarkan jumlah dan rute terbang, yang nantinya bisa ditukarkan dengan tiket gratis).

Pemegang kartu itu juga punya benefit tambahan lain dibandingkan anggota GFF reguler. Misalnya, status kenggotaan GFF yang berlaku selamanya—walaupun cuma terbang 2-3 kali setahun—serta perolehan double mileage setiap kali bertransaksi atau terbang dengan Garuda. “So it’s a double-double. Double when you swipe, double when you fly. Jadi 1+1 bukan 2, tapi 11. Karena bahkan regular customer pun tidak mendapatkan itu. Hanya pemegang kartu Garuda Indonesia Citibank yang dapat menikmati kedua-duanya sekaligus,” kata Djamin.

Hal serupa juga berlaku pada pemegang Citibank Telkomsel Card. Bila pelanggan kartu Halo cuma bisa memilih salah satu (bebas abonemen atau keluarga atau bebas 150 SMS), pemegang kartu ini bisa mendapatkan ketiganya sekaligus. Bukan itu saja, point reward mereka juga dinilai tiga kali lipat daripada pelanggan Citibank 1 Bill.

Kolaborasi dengan Garuda dan Telkomsel itu, lanjutnya, didasari oleh komitmen  masing-masing pihak untuk memberikan pelayanan terbaik kepeda customer lewat added value seperti contoh di atas. Pasalnya, kalau added value itu diberikan sendiri tanpa kerja sama, biayanya terlalu mahal. Tapi, dengan sinergi dari dua industri yang berbeda, dua-duanya akan sama-sama untung. Di sini berlaku rumus: 1+1=11!

Memang, benefit yang diberikan jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan regular customer. Tapi, kenapa tidak semua customer Citibank mendapatkan itu? “Karena, tidak semua mengganggap ini relevan. Kalau saya bukan pelanggan Telkomsel, kalau saya tidak sering terbang, mending saya pegang kartu Gold Citibank saja,” jawab Djamin.

Menurutnya, para pelanggan juga tidak akan bingung dengan semakin banyaknya produk (jenis kartu). Sebab, kembali lagi, mereka akan melihat relevansi produk tersebut buat mereka. Bagi pelanggan yang terbang 20 kali setahun, tentunya relevan. Bahkan, lanjutnya, pemilik kartu Gold sekalipun akan tertarik menambah atau convert ke kartu Garuda Indonesia Citibank Card.

Bagi Citibank sendiri, convert tersebut bukanlah hal yang merugikan. Soalnya, dengan kartu yang relevan dengan kebutuhan si pelanggan, loyalitas dan pemakaian kartu mereka akan lebih tinggi. “Kami lihat dari kebutuhan dia, pasti sudah kami ukur juga total spending-nya jauh lebih tinggi. Kalau tidak, ngapain kami co-branding,” tambah Djamin.

MESRA

Straregi co-branding sendiri akan sia-sia kalau tidak memiliki gaung. Karena itu, harus ada komunikasi terhadap para pelanggan. Dalam hal ini, urai Djamin, semua pihak mengkomunikasikan kerja sama mereka lewat channel masing-masing, seperti billboard dan newsletter. Dengan begitu, gema yang dihasilkan pun lebih kuat. Tapi jika ingin beriklan sendiri-sendiri di media massa, mereka koordinasi supaya jangan bertabrakan pada hari sama di media yang sama.

Selain itu, ada pula promosi yang dilakukan bersama-sama. Masalah siapa yang memikul  biayanya, juga mereka diskusikan bersama. Bisa saja salah satu pihak yang mendanai, tidak mesti fifity-fifty, “Enggak harus. Itu fleksibel ya. Kan kami sudah mesra, sudah enggak ada yang ditutup-tutupi,” ujar  Djamin tertawa.

Sementara menyinggung soal kendala, diakui Djamin, seperti layaknya mahligai perkawinan, dalam co-branding pun ada “riak-riaknya”. Ia mencontohkan masalah penempatan logo dan tanda tangan customer waktu bertransaksi. Dan walau hampir semuanya sudah dibicarakan di depan, kadang tidak semuanya bisa diantisipasi. Meski begitu, karena memegang prinsip dan tujuan yang sama, hal-hal seperti itu bisa diselesaikan lewat jalan tengah.

Sejauh ini, co-branding yang dilakukan Citibank dengan Telkomsel (Desember 2005) dan Garuda (Februari 2006) ini berjalan bagus. Respon pasarnya luar biasa. Ini bisa dilihat dari banyaknya telepon yang datang ke bagian pemasaran Citibank. Bahkan, tutur Djamin, ada pelanggan dari Papua menanyakan kartu Telkomsel—padahal mereka tidak beriklan sampai ke sana.

“Dibandingkan dengan produk-produk yang lainnya, jumlah incoming calls-nya tinggi, jumlah konversi dan yang apply juga banyak. Jadi orang melihat bahwa benefit ini relevan dan sangat menarik untuk mereka,” katanya. Dari sisi jumlah pemegang kartu, jelasnya, sekarang member Telkomsel Card sudah mencapai angka ribuan. Tapi untuk Garuda belum bisa dinilai karena kerja sama itu masih seumur jagung.

Co-branding ini juga bisa dilihat sebagai langkah cerdik Citibank untuk mensegmentasi pasarnya secara lebih spesifik. Gunanya tidak lain untuk memenuhi kebutuhan lifestyle pelanggan yang berbeda-beda. Kolaborasi dengan Garuda untuk melayani segmen premium yang sering bepergian dengan Garuda. Sedang Telkomsel ditujukan untuk segmen yang lebih luas, dari bawah sampai yang tinggi. “Semua segmen kami entertain,” tegasnya.

Djamin berharap kerja sama co-branding ini terus berlanjut dalam jangka panjang. Dia merujuk pada kesuksesan co-branding Citibank dengan American Airlines yang sudah berjalan 25 tahun lebih di AS. Tapi biasanya, kerja sama itu akan dikaji secara periodik, minimal tiga tahun sekali.

Ke depan, tidak tertutup kemungkinan Citibank menggelar co-branding baru. Soalnya, kebutuhan customer terus meningkat dari waktu ke waktu. Lagipula, potensi pasar di luar itu juga besar, misalnya bila mereka menggamit industri asuransi dan ritel (department store). “Pokoknya, selama mereka dapat memberikan benefit yang lebih, kenapa  tidak? Cuma pertanyaannya, target market-nya ada tidak?” katanya sembari mencontohkan penumpang Garuda yang berjumlah 9 juta dan dan pemegang kartu Citibank yang mencapai 1,9 juta.

Menurutnya, di tengah persaingan pasar yang makin ketat, kecepatan dalam melakukan co-branding sangat diperlukan. Siapa yang duluan, dialah yang bakal mendapatkan target market yang lebih besar. Cuma, tegasnya lagi, sebelumnya harus dipertimbangkan masak-masak siapa yang akan digandeng, apakah target market-nya besar dan visinya sama. “Percuma kalau nanti ‘kawin’, yang satu merasa diinjak oleh yang lain, ujung-ujungnya cerai.”

Ketika ditanya soal resep dalam menjalankan co-branding, Djamin membeberkan tiga jurus. Pertama, ketepatan memilih partner. Kedua, potensi target market-nya. Ketiga, saling respek terhadap value yang dimiliki perusahaan masing-masing. “Tidak bisa main tabrak atau mau menang sendiri. Kalau masing-masing saling menghargai, akan langgeng partnership-nya.”

Memang saling menghargai itu tidak mudah. “Cuma,” papar Djamin, “Kalau kami sudah punya visi yang sama, bagaimanapun—kalau kami sudah kawin—‘anak ini’ (customer) kan jadi anak kami berdua. Co-branding itu sama halnya dengan pernikahan. Harus ada saling pengertian dan kasih sayang.” Dan rasanya itu bukan masalah bagi Citibank yang sedang mesra-mesranya menjalani “bulan madu”. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.