ASI dan Formula

Selama bertahun-tahun, pemerintah dan pemasar susu formula memang seperti melakukan campaign war. Berbeda dengan perang tarif antar-operator seluler yang bersifat terbuka, biasanya “serangan” antarkeduanya tidak terlihat di mata konsumen.

Coba Anda perhatikan, saat Anda mengantar isteri Anda yang hamil ke dokter, di mana-mana Anda akan menemui poster berisi himbauan untuk memberikan ASI eksklusif pada bayi Anda. Namun, pada saat bayi Anda lahir, tawaran untuk memakai merek susu formula bayi ternyata jauh lebih banyak daripada poster yang Anda lihat sebelumnya!

Susu formula sering kali menjadi pihak pertama di luar keluarga dan rumah sakit yang sangat memperhatikan kelahiran bayi Anda. Buktinya, pada surat lahir bayi Anda sudah ada tempelan merek susu tertentu. Demikian pula tas bayi Anda dan semua pernak-pernik kelahiran, sudah ada tempelan mereknya.

Sampai Anda keluar dari rumah persalinan, oleh-oleh dari rumah sakit biasanya juga merupakan pemberian merek tertentu. Demikian pula pada saat Anda memeriksakan bayi Anda, dokter Anda sering kali sudah memberikan rekomendasi merek susu tertentu. Kalaupun tidak, Anda sendiri yang secara aktif sudah menanyakan, “Susu formula yang cocok buat anak saya apa, Dok?”

Pemerintah memang tidak mudah menghadapi orang-orang marketing yang lebih agresif, kreatif, dan punya bujet lebih besar untuk berkampanye. Sekalipun sudah menggunakan kata-kata bahwa “ASI harus diutamakan terlebih dahulu”, bahasa iklan yang dipakai oleh merek susu formula ternyata lebih menggerakkan para ibu untuk memakai susu formula.

ASI adalah “susu formula” alami yang dihasilkan dari tubuh manusia. ASI mampu memberikan kekebalan tubuh kepada si bayi sehingga tidak mudah sakit dan berisiko terhadap kematian. Selain itu, ASI juga mengandung gizi yang cukup sehingga mencegah risiko kekurangan gizi bagi anak di masa mendatang.

Menurut data survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, hanya sekitar 20% bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sesuai program pemerintah (enam bulan). Sementara rata-rata bayi di Indonesia hanya mendapatkan ASI eksklusif tak lebih dari dua bulan. Apalagi dengan semakin banyaknya wanita yang bekerja membuat waktu penggunaan ASI eksklusif pada bayi juga mempunyai kecenderungan memendek.

Belum tercapainya keinginan pemerintah untuk menekan angka kematian bayi memang membuat rendahnya penggunaan ASI eksklusif sebagai salah satu “biang kerok”. Angka kematian balita di Indonesia yang menjadi salah satu indikator keberhasilan kampanye ASI eksklusif ternyata masih 44 anak per 1.000 kelahiran. Memang cuma 0,044, tapi nyawa manusia memang tidak bisa dihitung-hitung secara persentase.

Susu formula sendiri sudah memiliki kandungan yang bisa menggantikan ASI. Bahkan, formula-formula tambahan yang ada bisa menjadi asupan ekstra buat bayi. Itulah sebabnya para pemasar susu formula semakin yakin untuk saling bersaing. Apalagi pasarnya yang diperkirakan sebesar 6–7 triliun dan bertumbuh 20–30% per tahun memang menggiurkan. Itulah sebabnya, geser-menggeser loyalitas ibu terhadap merek tertentu sering terjadi. Kalaupun rumah sakit dan dokter gagal merekomendasikan mereknya, pasukan SPG pun diterjunkan di tempat-tempat belanja untuk meyakinkan ibu-ibu berpindah merek. Akibatnya, sang ibu jadi lupa anjuran pemerintah.

Melihat bahwa kampanye ASI-nya semakin terdesak oleh peperangan para pemain susu formula, akhirnya pemerintah pun harus mengeluarkan senjata pamungkas, yakni regulasi.

Dalam kesempatan terakhir, menteri kesehatan sudah mengingatkan kembali bahwa tahun 2011 iklan susu formula untuk anak usia di bawah satu tahun akan dilarang. Selain itu, kabarnya, hubungan antara produsen susu dengan instansi kesehatan seperti rumah sakit dan rumah bersalin juga akan diperketat.

Memang harus dibuat aturan yang tepat untuk memilah mana yang menjadi hak pemerintah untuk berkampanye dan mana yang menjadi hak para marketer untuk berkampanye. Kalau tidak, program pemerintah akan selalu kalah oleh gempuran para marketer. Aturan yang dibuat sebenarnya tidak akan membatasi gerak para pemain susu formula, karena toh setiap marketer akan selalu menemukan caranya sendiri untuk berkomunikasi.

Soalnya, di negara mana pun, anjuran pemerintah memang tidak lebih manjur dari bahasa iklan. Anjuran dari menteri tidak mempan ketimbang omongan artis atau model di iklan. Berbeda dengan iklan layanan masyarakat, iklan dari produk susu formula cenderung lebih emosional dan menyentuh. Sementara, iklan dari pemerintah cenderung dikerjakan seadanya dan kadang-kadang malah terlihat seperti kampanye sang menteri itu sendiri untuk menaikkan pamor. (Majalah MARKETING)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.