Bertanya

Rahmat_Susanta_ok_BangetOrang Indonesia memang paling sungkan untuk bertanya terlalu banyak ke customer service, tenaga penjual, atau frontliner. Apalagi jika kemudian Anda memutuskan tidak jadi membeli. Padahal sebagai calon pembeli, Anda berhak untuk bertanya secara mendetail sebelum memutuskan sesuatu.

Apa jadinya kalau Anda terlalu malu bertanya? Memang sering kali sesat di jalan! Banyak orang tidak menyiapkan pertanyaan-pertanyaan ketika membeli sehingga ujung-ujungnya, ada saja ketidakcocokan dengan keinginan Anda sebenarnya.

Ketika hendak membeli ponsel, saya bereksperimen untuk membuat pertanyaan-pertanyaan standar ketika orang ingin membeli sebuah ponsel. Ternyata minimal ada sekitar 30 pertanyaan yang perlu ditanyakan jika Anda ingin membeli ponsel, mulai dari harga, 3G, WiFi, warna, memori, garansi, sampai soal kompatibilitasnya dengan merek lain.

Dari pertanyaan tersebut masih dimungkinkan terjadinya dua atau tiga pertanyaan turunan dari tiap pertanyaan. Misalnya, kalau memang tidak compatible dengan sistem yang ini, apakah bisa compatible dengan sistem yang lain?

Ketika mengajukan satu-dua pertanyaan, sang penjual menjawab dengan penuh semangat. Masuk ke pertanyaan 10, sang penjual mulai merasa saya terlalu banyak bertanya. Kadang-kadang dia bertanya kepada temannya jika dia mulai tidak mengerti. Belum sampai pertanyaan ke-20, dia seperti mulai tidak sabar dan akhirnya bertanya dengan nada sedikit ketus, “Bapak mau membeli yang seperti apa sih?”

Eksperimen saya untuk “mencobai” penjual ini berakhir tanpa ada pembelian. Rupanya daya tahan si penjual sendiri dalam menjawab pertanyaan juga tidak sekuat yang saya duga. Mungkin dalam hati si penjual ini juga menggerutu, “Sudah banyak bertanya ternyata tidak jadi membeli.”

Sebetulnya tidak perlu banyak bertanya, semua informasi dari berbagai merek ponsel sudah bisa Anda dapatkan di internet. Anda tinggal membandingkan saja, sehingga ketika Anda datang tinggal memutuskan mau membeli yang mana. Itulah akhirnya yang membuat saya mulai senang berbelanja secara online, karena saya tidak merasa sampai mengganggu “kehidupan si penjual”. Bahkan saya juga termasuk senang mencoba-coba membeli di beberapa situs belanja online.

Sebagian kegiatan pesan-memesan di situs tadi akhirnya sudah menjadi kebiasaan seperti membeli tiket pesawat, booking hotel, membeli aplikasi, musik, makanan, majalah, dan buku. Sebentar lagi mungkin saya memiliki kebiasaan membeli pakaian dan gadget lewat online.shutterstock_132033353

Jujur saja, berbelanja online lebih experiential buat saya ketimbang datang ke outlet ritel. Banyak orang yang mengatakan bahwa kesulitan dalam pengembangan bisnis online ritel di Indonesia adalah soal experiential yang tidak bisa dirasakan si konsumen dibandingkan datang sendiri ke outlet. “Kalau tidak dirasakan dulu barangnya seperti ada yang kurang,” kata orang-orang.

Memindahkan pengalaman di dunia nyata ke dunia online memang menjadi tantangan bagi situs belanja online. Setelah banyak berbelanja online, saya melihat bahwa situs-situs belanja online yang sukses adalah situs yang berhasil membawa pengalaman offline ke online. Sekarang ini pun kalau berbelanja baju online, saya benar-benar bisa melihat detail baju tersebut dari berbagai sisi. Kalaupun ketika barang di-deliver dan ternyata tidak muat atau tidak sesuai keinginan, Anda bisa menukar atau mengembalikan barangnya.

Experiential yang hilang di situs belanja online adalah pengalaman dimarahi oleh customer service. Kita bisa memilih-milih tanpa batasan, tanpa ada perasaan bahwa penjaga toko atau satpam sedang mengamati kita dengan mata melotot! Situs belanja online biasanya ada menu FAQ (frequently asked questions) dimana itu adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang banyak ditanyakan oleh konsumen. Memang tidak ada tulisan di layar monitor saya, “Anda tidak tegas, tetapkan pilihan Anda!” Tetapi, ada teror baru yang kini Anda hadapi jika tidak jadi membeli.

Coba rasakan ini: Minggu pertama, ada e-mail dikirim ke Anda bertuliskan, “Anda masih mendapat kesempatan satu minggu untuk membeli sebelum barangnya habis”.

Jika Anda tidak merespons maka minggu kedua ada e-mail lagi bertuliskan, “Mengapa Anda melepaskan kesempatan membeli barang tersebut? Kini kami memiliki barang sejenis dengan harga murah”. Begitu seterusnya setiap minggu.

Percayalah, kalau Anda tidak merespons atau mematikan auto e-mail dari toko tersebut, lama-lama Anda menyesal tidak jadi membeli di toko tersebut!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.