Brand Chemistry

Brand rejuvenate yang seringkali diidentikkan dengan peremajaan sebuah merek, justru kerapkali membunuh merek itu sendiri. Alih-alih semakin memperkuat brand value pada konsumen, yang terjadi justru mencabut nilai-nilai dasar merek tersebut dari konsumen. Terutama konsumen loyal. Kekeliruannya, karena aspek brand chemistry tidak dilongok pada saat proses brand audit. Akibatnya, brand rejuvenate pun tidak memperhatikan brand chemistry sebagai aspek pengikat loyalitas konsumen.

Di Amerika sendiri, brand chemistry dikembangkan oleh pakar-pakar branding yang memiliki latar belakang psikologi. Sekadar menyebut beberapa nama, mereka adalah Arch G. Woodside dan Dan Schawbel. Woodside melihat bahwa kimiawi merek akan membuat orang bercerita (story telling) dari versinya, kepada orang terdekat mereka. Sementara Schawbel memanfaatkan brand chemistry untuk personal branding.

Kalau kita seringkali mempersonafikasi merek seperti halnya sesosok manusia yang berkepribadian, maka brand chemistry adalah kimiawi tubuh seseorang tersebut. Sekalipun tidak disadari, kimiawi tubuh seseorang telah mengikat orang-orang di sekitarnya menjadi lekat.

Ada sebuah kisah sederhana tentang kimiawi merek dari Jogja, kisah tentang warung Soto yang pemiliknya berniat melakukan rejuvenate merek. Harapannya, agar konsumen-konsumen kelas menengah atasnya menjadi nyaman saat makan soto di sana. Apalagi selebriti dan pejabat-pejabat Jakarta juga sering mampir kalau mereka sedang bepergian ke Jogja.

Maka, diadakanlah proses rejuvenasi. Tidak tanggung-tanggung. Untuk menyesuaikan dengan selera orang Jakarta, pemilik warung tersebut membeli sebuah bangunan strategis di pinggir jalan. Interior ruang didesain dengan mewah, seperti restoran-restoran di Jakarta. Tidak ketinggalan, desain merek pun diubah menjadi lebih modern. Biar mampu mengusir panas Jogja, resto pun dilengkapi pendingin ruangan. Saat peresmian, seluruh pelanggan kelas atas diundang.

Hasilnya? Yap, seperti perkiraan Anda, warung yang telah berubah menjadi resto justru menjadi tidak laku. Ada kimiawi merek yang hilang. Katakanlah desain warung seadanya dengan tempelan kalender di mana-mana, bau dapur tradisional yang menyusup hingga ke depan warung, dan suasana alami yang membuat keringat bercucuran. Beruntung pemilik warung segera sadar dan kebetulan bangunan warung lama belum sempat dibongkar, hingga kita sekarang bisa menikmati kembali warung soto tersebut.

Inside the Box Tendency

Mengadaptasi pemikiran Tony Bates, psikolog klinis yang banyak terlibat dalam psychology chemistry, seringkali kita lengah karena menganggap chemistry adalah persoalan struktural yang bisa dilihat melalui riset terstruktur. Akibatnya, state of mind yang terbongkar hanya terjadi pada tataran normatif saja. Padahal, brand chemistry harus digali dengan cara tidak terstruktur, di mana responden harus ditembak pada sisi lain, baik ikatan emosional maupun sejarah masa lalu terhadap merek tersebut.

Saat Coca-Cola menggelar riset tentang kemungkinan rasa baru yang lebih manis, secara signifikan dan ilmiah, riset menunjukkan bahwa konsumen Coca-Cola membutuhkan rasa baru. Manajemen Coca-Cola menganggap bahwa hal ini sesuai dengan hasil blind test yang menunjukkan bahwa Pepsi jauh lebih disukai ketimbang Coca-Cola—karena rasanya lebih manis.

Tapi begitu hasil riset tersebut diaplikasikan, reaksi konsumen malah berbalik. Ternyata bukannya mendukung, mereka malah memprotes karena Coca-Cola menghapus rasa asli Coca-Cola. Aspek-aspek emosi, keterlibatan sejarah (personal history involvement) dan persinggungan fisik yang menciptakan sensasi, muncul dalam bentuk protes-protes ke Coca-Cola. Itulah faktor brand chemistry yang tidak digali dalam riset konvensional.

Dalam brand audit, brand chemistry memang bukan semata faktor yang tidak terukur, tapi juga merupakan faktor yang tidak bisa diukur dengan cara terstruktur itu tadi. Tapi menjadi perlu, karena efeknya sangat kuat sebagai pengikat loyalitas merek.

Microsoft Chemistry

Saat Microsoft melakukan kampanye antipembajakan—kalau mereka jeli— sebetulnya Microsoft memiliki komunitas pendukung yang terikat dalam kohort angkatan 1980-an. Secara bawah sadar, mereka memiliki keterikatan yang kuat dengan Microsoft saat mendapatkan perangkat lunak “gratis” untuk program-program Windows. Tugas-tugas kuliah yang saat itu harus menggunakan Wordstar, menjadi jauh lebih mudah dengan Windows. Dan gratis pula.

Sayangnya, Microsoft lebih memilih pendekatan konvensional dan hukum dengan menggandeng kepolisian dan pengacara untuk melakukan shock therapy bagi pembajak-pembajak peranti lunak Windows. Hal yang sama juga dilakukan dalam konteks pemasaran dan penjualan.

Padahal, kalau saja Microsoft mau menambahkan unsur aktivasi komunitas dari kohort 1980-an, rasanya sentimen-sentimen anti-Windows tidak akan sebanyak sekarang. Sekalipun memang, jumlah itu sangat tidak signifikan dengan pengguna Windows. Semakin tidak signifikan lagi, toh sekarang program Windows juga bisa diinstal untuk pengguna Macintosh.

Hanya saja, sekalipun tidak signifikan, komunitas yang terikat dengan brand chemistry bisa kita analogikan seperti fenomena tali pusar—yang disimpan, dipelihara, untuk kemudian akan bisa menjadi obat yang mujarab untuk banyak penyakit.

Soalnya sayang juga, karena bagaimanapun, Microsoft telah menanam investasi emosional yang cukup besar. Mereka akan menjadi pasukan yang rela membela Microsoft tanpa harus dibayar.

Sesekali, bolehlah Microsoft belajar dari merek lokal Jogja yang lain, yaitu SGPC, alias Sego Pecel, atau nasi pecel khas Jogja. Sekalipun warung kecil dan sederhana, SGPC memiliki pasukan-pasukan elite yang tidak sedikit pula sudah menjadi CEO-CEO papan atas negeri ini. Mereka adalah mahasiswa yang dulu diberi “beasiswa” oleh SGPC. Beasiswa itu berupa kesempatan makan tanpa bayar—tentu saja berdasarkan kesepakatan “pura-pura tidak tahu”. Maksudnya, SGPC tahu bahwa mereka dulu sering tidak bayar kalau makan. Tapi, SGPC paham betul, dan tidak menegur. “Karena rezeki kan sudah ada yang ngatur,” begitu papar mereka.

Lantas, bagaimana sikap mereka sekarang dengan SGPC? Mereka tidak hanya menjadi brand endorser SGPC bagi lingkungannya. Tapi, mereka juga membayar seluruh hutangnya dulu. Menurut kabar, malah ada dari mereka yang akan membuatkan bangunan mewah untuk SGPC—untungnya ditolak oleh SGPC.

Dibandingkan dengan warung SGPC, tentu saja Microsoft memiliki “brand warrior” yang lebih banyak. Kenapa saya gunakan tanda petik, karena brand warrior tersebut sekarang tersebar tanpa memiliki tuan. Seperti Samurai, mereka adalah pendekar-pendekar yang tidak memiliki tuan. Rasanya merupakan sebuah keuntungan jika Microsoft mau merangkul mereka untuk sekadar membayar kembali “beasiswa” yang pernah mereka dapat dari Microsoft. (Majalah MARKETING)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.