Brand Crisis

Andaikan sekolah atau kuliah, brand crisis atau krisis merek bisa diibaratkan sebagai ujian. Merek dites seberapa mampu mereka menghadapi segala ujian di pasar. Apabila bisa menangani ujian dengan baik, maka merek itu akan tetap hidup, bahkan lebih baik daripada sebelumnya. Sebaliknya, jika tidak bisa menjawab ujian dengan benar—istilah konsumen sekarang—silakan “ke laut aja”.

Tentu saja banyak faktor yang memengaruhi terjadinya krisis merek. Selain kelalaian dari merek itu sendiri, krisis merek biasanya juga disebabkan oleh faktor eksternal. Kelalaian yang disebabkan oleh merek itu, misalnya memasukkan zat tertentu yang tidak direkomendasikan oleh regulator kesehatan ke makanan atau minuman; tidak mencantumkan komposisi secara jujur—yang kemudian diketahui oleh konsumen; atau bisa juga karena faktor lingkungan sekitar—cuaca dan lain-lain.

Ingat akan susu Dancow yang diduga mengandung lemak babi pada tahun 1998? Karena pasar Indonesia mayoritas beragama Islam, maka kandungan lemak babi bisa menjadi krisis serius. Lain halnya jika lemak babi—atau babinya sekali pun—dipasarkan di China, Hong Kong, Korea Selatan, atau negara lain. Kasus dugaan penggunaan zat haram itu juga melanda Ajinomoto tiga tahun kemudian.

Berkat penanganan yang baik, Dancow dan Ajinomoto bisa keluar dari krisis merek dan masih disukai sampai sekarang. Krisis itu sudah dilupakan konsumen. Pasar juga sudah melupakan kasus minuman Mizone, Okky Jelly Drink, dan obat antinyamuk Hit. Lagi-lagi ini berkat kepintaran pemasar mengatasi krisis merek.

Sekarang krisis merek sedang menghantui industri otomotif. Beberapa merek otomotif di dunia sedang berusaha menarik produknya dari peredaran karena terjadi kesalahan pada sistem tertentu. Jika tidak diperbaiki akan membahayakan pengemudi. Ironisnya, kenyataan seperti itu sering kali tidak disadari konsumen, kecuali setelah ada pengumuman resmi dari produsennya.

Krisis begitu dekat dengan merek, dan jelas ini amat tidak disukai. Karena itu, apabila konsumen sampai mengetahui sebuah merek telah mengalami krisis, maka merek tersebut sudah menemui ambang pintu kehancuran. Krisis merek bisa melumpuhkan perusahaan, lalu sakit-sakitan, akhirnya “mati” mengenaskan.

Namun, kematian hanya berlaku jika pemasar tidak memiliki kepekaan terhadap krisis atas merek yang dikembangkannya. Kepekaan terhadap krisis yang baik—dan bisa menjadi contoh—sudah ditunjukkan oleh Garuda Indonesia di saat salah satu armadanya mengalami kecelakaan.

Sebagai contoh, pada 7 Maret 2007 pesawat Garuda Indonesia GA 200 berjenis Boeing 737-400 tiba-tiba mengagetkan pasar penerbangan. Tak disangka, pendaratan pesawat—dari Jakarta—di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, pagi itu berakhir naas. Malang tak dapat ditolak dan nasi sudah menjadi bubur. Pesawat itu terbakar, meledak, hingga menewaskan puluhan penumpangnya.

Lantas, apa yang dilakukan manajemen Garuda Indonesia ketika itu? Secara sistematis penanganan krisis langsung berjalan. Setiap petugas (dalam penanganan krisis) langsung mengendalikan urusannya tanpa diperintah. Meski demikian, maskapai pelat merah tersebut secara periodik menyiarkan perkembangan atas kecelakaan itu melalui satu pintu.

Hal yang lebih menarik juga ditunjukkan oleh Garuda Indonesia pada kecelakaan sebelumnya. Pada 2002, tiba-tiba dua mesin pesawat Boeing 737-300 jurusan Ampenan-Yogyakarta mati. Berkat kepiawaian sang pilot, pesawat akhirnya berhasil mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo, Jawa Tengah. Atas kejadian itu, manajemen langsung menginformasikan kronologinya secara terbuka.

Apa respons pasar? Krisis itu justru berbuah simpati. Garuda Indonesia mendapat pujian dari pasar atas penanganan-penanganan krisis yang cepat dan benar. Jika tidak, mungkin Garuda Indonesia sudah dicap sebagai merek yang buruk dan dihindari. Buktinya, sampai sekarang maskapai penerbangan ini masih menjadi pilihan utama pasar perjalanan udara di Indonesia.

Contoh yang lain sedang diperlihatkan oleh raksasa otomotif, Toyota, saat ini. Tak disangka Toyota Motor Corporation mengumumkan akan menarik kembali (recall) mobil-mobilnya di Amerika Serikat dan Eropa, menyusul ditemukannya masalah pada pedal gas. Tidak jelas berapa juta unit mobil yang akan ditarik dan diperbaiki, tetapi di mata konsumen itu adalah bukti atas janji yang diberikan.

Honda juga melakukan hal yang sama. Februari 2010, Honda menarik lebih dari 437 unit mobilnya dalam berbagai tipe di Amerika Serikat dan Jepang karena mengalami kelainan pada sistem kantung udara (airbags) yang bisa membahayakan penumpang. Kantung udara itu menghasilkan tekanan internal berlebihan yang kemungkinan bisa menimbulkan serpihan.

Rupanya tren ”menarik kembali” mobil akibat ada permasalahan pada produk juga diikuti Volkswagen. VW sedikitnya menarik 200 ribu mobil di Brazil dan 20 ribu unit di Meksiko akibat ketidakcukupan pelumas pada bantalan roda belakang. Roda belakang dapat terkunci jika bantalan roda belakang itu digunakan terus-menerus.

Beruntung merek-merek otomotif itu tidak menjadi “bulan-bulanan” konsumen. Mereka telah melakukan hal yang semestinya: menangani krisis dengan cepat, menginformasikan perkembangannya secara berkala, bertanggung jawab penuh, dan jujur pada konsumen. Biasanya, semakin tinggi ekuitas merek dan citra perusahaan, akan semakin besar potensi penenangan “badai” yang menimpanya.

Semua pemasar juga tahu, jika krisis—meski tanpa sengaja—seperti itu semakin lama ditanggapi, maka akan semakin meluap kesan negatif yang melumuri merek tersebut. Maskapai Adam Air akhirnya benar-benar “terjun ke laut” dan mati setelah berkali-kali mengalami kecelakaan serius dan tak dapat mengelola krisis mereknya dengan benar.

Padahal, semakin jujur informasi yang disampaikan perusahaan, serta semakin kuat keinginan perusahaan untuk memperbaikinya (baik dari sisi servis maupun produk), akan semakin kecil kemungkinan konsumen membentuk gumpalan kesan buruk merek terkait. Chevrolet, Ford, dan Subaru di Amerika Serikat (berdasarkan riset Customer Report) justru melambung indeksnya di benak konsumen karena kejujuran mereka menangani krisis yang luar biasa. Jadi, jujurlah pada konsumen meski kejujuran itu “pil pahit” yang harus Anda telan saat menangani krisis merek. (Majalah MARKETING)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.