Brand Endorser Effect

Coba bayangkan, apa jadinya jika bintang iklan sebuah merek diambil dari sembarang orang? Iklan itu menjadi tidak menarik, mereknya pun tak dilirik para pemirsa televisi. Maka dari itu, bintang iklan atau yang sering disebut dengan endorser harus disesuaikan dengan merek yang diiklankan. Ini penting untuk menyesuaikan citra dan positioning merek.

Iklan yang tepat, baik endorser maupun kemasannya, akan mendongkrak penjualan dengan cepat. Penggunaan selebriti sebagai endorsement sudah menjadi hal biasa dalam bisnis saat ini. Banyak teori dan praktik lapangan memperlihatkan bahwa penggunaan selebriti sebagai endorsement dalam iklan akan meningkatkan perhatian dan kesukaan publik terhadap produk yang diiklankan. Yamaha, contohnya, terkenal dengan iklan berseri ala Komeng, Didi Petet, dan kawan-kawan. Sejak meluncurkan iklan itu—yang soft selling, penjualan produk merek asal Jepang tersebut langsung melejit dan tak disangka sampai mampu menggeser posisi Honda beberapa kali.

Agak melompat sedikit, Malaysia sepertinya salah satu negara yang berhasil mengemas iklan dengan baik. Diramu dengan jitu, potensi-potensi Negeri Jiran itu dipublikasikan semenarik mungkin sehingga wisatawan ingin berkunjung. Dibanding Malaysia, Indonesia kalah dalam hal jumlah wisatawan. Padahal, potensi pariwisata kita jauh lebih menggiurkan dan beragam.

Jadi, mengemas iklan—termasuk menampilkan endorser—itu bukan perkara mudah. Prinsip kehati-hatian mesti selalu dipegang dan jangan melawan arus yang dikehendaki target pasar. Semisal, apa jadinya jika Unilever terus menampilkan iklan sampo Sunsilk dengan endorser Ariel Peterpan yang diduga menjadi pemeran video porno? Bukan tidak mungkin mereknya akan terpuruk ditinggalkan konsumen. Penggunaan selebriti sebagai endorser juga banyak risikonya.

Dr. Ying Fan, pakar marketing dari University of Lincoln, Inggris, bahkan menyebutkan bahwa risiko terbesar adalah pada selebriti itu sendiri. Ada dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, kita harus melakukan analisis mengenai celebrity life cycle terhadap selebriti yang kita gunakan—apakah dia masih bertahan lama, atau sudah masuk dalam tahap penurunan? Seberapa lama lagi ia mampu mempertahankan popularitasnya? Kedua, masalah integritas artis tersebut. Kalau banyak skandal tentu akan menurunkan integritas artis tersebut. Pengendalian opini publik terhadap merek kita juga sangat penting.

Langkah Unilever dengan langsung memutus penayangan iklan Sunsilk adalah satu pilihan yang benar. Endorser itu harus bisa diikuti tindak-tanduknya, termasuk menggunakan sampo. Tapi, bagaimana jika seorang bintang bertindak asusila? Masyarakat jelas tidak bersimpati kepadanya, termasuk kepada iklan yang dibintanginya jika terus ditayangkan. Kisah ini tak terkecuali melanda Sharp Electronics Indonesia dan Cut Tari, endorser-nya untuk produk pendingin ruangan.

Di Amerika Serikat, mungkin Anda masih ingat, memasuki awal tahun 2010, perusahaan telekomunikasi AT&T harus memutus kontraknya dengan Tiger Woods setelah pegolf beken itu didera skandal. Tidak hanya berdampak pada retaknya rumah tangga Woods, skandal tersebut juga berbuah pemutusan kontrak sponsor yang ia bintangi. Gatorade, Accenture, dan Gillette adalah tiga merek yang memutuskan kontrak itu.

Mbah Maridjan

Sido Muncul mungkin satu-satunya merek yang berdebar-debar ketika Gunung Merapi meletus tahun ini. Sebab, endorser-nya yang cukup terkenal dengan kata-kata “Rosa-rosa!” menjadi penunggu gunung di perbatasan Jawa Tengah dan DI Yogyakarta itu. Harus diakui, Mbah Maridjan dipilih menjadi endorser iklan minuman energi Kuku Bima karena kekuatannya menjadi kuncen (juru kunci) Merapi. Saat gunung itu meletus tahun 2004, ia malah naik mendekati puncak.

Di dalam diri Mbah Maridjan terdapat sifat kesetiaan, kekuatan, keberanian, yang kira-kira sama dengan konsumen minuman energi Kuku Bima. Namun, letusan tahun ini tak menyelamatkan Mbah Maridjan. Lantas, apa yang dilakukan Sido Muncul setelah kata-kata “Rosa-rosa!” tidak bisa muncul kembali dari mulut Mbah Maridjan?

Sido Muncul langsung membuat iklan berbeda. Seolah mengklarifikasi, iklan yang dimunculkan pascatragedi Merapi bertema “Hidup adalah Kehormatan”. Intinya, kehidupan dan kematian adalah rahasia Tuhan, dan tidak ada manusia yang mengetahuinya. Mbah Maridjan, meski rosa, hanyalah manusia biasa yang ditugasi menjaga salah satu gunung teraktif di dunia itu. Ia telah mampu mengemban tugas sampai akhir hayatnya.

Satu kisah Mbah Maridjan ini jelas berbeda dengan kasus Ariel Peterpan dan Tiger Woods. Mbah Maridjan diputus kontrak atas kuasa Tuhan, bukan karena ulahnya. Sido Muncul pun ingin menjelaskan endorser-nya itu meninggal bukan karena kurang rosa menahan gempuran wedhus gembel, tapi Tuhan yang berkehendak. Sebaliknya, andaikan Sido Muncul tidak langsung mengklarifikasi, sindiran demi sindiran akan terus beredar di masyarakat. Mungkin ada yang bilang, “Mbah Maridjan tidak benar-benar rosa”, dan lain-lain.

Langkah Tepat

Sido Muncul telah mengambil langkah tepat dengan membuat iklan yang mendapat simpati dari masyarakat. Iklan belasungkawa sekaligus “Hidup adalah Kehormatan” tak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memperluas sindiran-sindiran. Unilever juga telah membuat keputusan yang tepat setelah endorser-nya dilanda skandal seks. Bila tidak dihentikan, Unilever akan menjadi sorotan negatif target market.

Sharp Electronics Indonesia tidak kalah tepat setelah tidak meneruskan kontrak atas Cut Tari. Apa yang akan terjadi jika bintang iklan itu terus dipakai, sementara target market tidak menyukainya? Bisa saja merek Sharp ikut repot dibuatnya.  Padahal, menciptakan citra positif merek luar biasa susah, tapi menghancurkannya tidak butuh satu-dua hari. Sedetik saja pasar dikecewakan, mereka akan lari menjauhi merek itu.

Jadi, jelas bahwa memang efek dari penggunaan endorser merek memang cukup membantu dalam meningkatkan penjualan. Namun, yang jauh lebih penting adalah bukan soal penggunaan selebriti, tetapi penciptaan brand platform yang efektif seperti konsep brand vision, brand mission, core value, dan scope of competence dari merek tersebut. Jangan sampai kita terjebak bahwa hanya selebritilah yang bisa membuat  penjualan dan pangsa pasar kita dapat meningkat. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.