Brand Social Responsibility

Di dunia pemasaran, banyak orang yang mendebatkan satu hal: corporate social responsibility (CSR). Sekelompok orang di garis kanan mengatakan bahwa CSR merupakan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat sekitar yang wajib dilaksanakan tanpa mengharapkan timbal balik dari mereka. Sementara, sekelompok orang di garis kiri berpendapat CSR hanyalah program akal-akalan merek semata yang pada akhirnya bertujuan mengeruk laba.

Perdebatan yang tak ada habis-habisnya itu kemudian menghasilkan kelompok baru, yakni kanan-kiri oke. Mengapa demikian? Karena garis tengah ini tidak fanatik terhadap satu pendapat tertentu, entah kanan atau kiri. Mereka menyadari kedua pendapat sama benarnya. Namun, lupakan pendapat mana yang benar atau salah, dan mari kita belajar bagaimana perusahaan-perusahaan besar (menggunakan dana yang besar) mengemas program CSR-nya dengan baik.

Royal Dutch Shell Plc., perusahaan eksplorasi minyak dan gas bumi terbesar keempat di dunia—setelah BP, ExxonMobil, dan Total—asal Belanda, dituduh menghancurkan lingkungan ekologis dan menyalahgunakan tenaga kerja di Nigeria. Setelah kejadian itu, pada tahun 2003, perusahaan yang masuk ke Indonesia sejak November 2005 tersebut mulai memerhatikan lingkungan sekitar. Kecemburuan sosial dihapuskan, dimulai dari meningkatkan kesejahteraan karyawannya terlebih dahulu.

Dalam upaya itu, Shell rela menghabiskan USD 50 juta per tahun untuk melaksanakan berbagai proyek pengembangan sosial, seperti pembangunan rumah sakit, pendirian gedung sekolah, penyediaan air bersih, perbaikan jalan, dan pengadaan listrik di Nigeria. Tidak hanya itu, merek berlogo mirip kerang dengan nuansa warna kuning ini juga memberikan beasiswa, pelatihan keterampilan, kredit mikro, peralatan dan penyuluhan pertanian, dan lain sebagainya. Semua itu dikerjakan dengan melibatkan lembaga independen.

Demi Masa

CSR, atau kalangan pemasar sering menyebutnya dengan “brand social responsibility” (BSR), alias tanggung jawab sosial merek, memang ada dua tujuan besar: demi massa dan demi masa. Demi massa dimaksudkan untuk membantu dan atau mengembalikan apa yang seharusnya diterima oleh masyarakat di sekitar perusahaan itu berada. Bisa juga untuk mendukung kampanye yang sedang dilakukan, misalnya LG Electronics Indonesia memilih membantu sekolah menengah kejuruan (SMK) ketimbang sekolah menengah atas (SMA).

Apa alasannya? Perusahaan asal Korea Selatan itu merasa peduli terhadap pendidikan dan pemberdayaan SMK. Langkah ini juga dijalankan untuk membantu tekad pemerintah dalam mendongkrak keahlian alumni sekolah tersebut yang selama ini seolah-olah dinomorduakan. Tahun lalu, di SMK Negeri 4 Bandung, LG mengucurkan dana Rp 100 juta untuk merenovasi laboratorium sekaligus melengkapinya dengan segala peralatan. LG berharap para lulusan SMK bisa benar-benar terampil (dan kalau masuk LG akan menghasilkan kinerja positif bagi perusahaan).

Sedangkan demi masa, artinya pelaksanaan BSR bertujuan untuk kelangsungan atau kesinambungan bisnis perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang melakukannya berusaha mendekatkan diri dengan masyarakat sekitar, mulai dari karyawan hingga insan-insan yang dijadikan obyek tanggung jawab sosial perusahaan atau merek tersebut. Sebagai contoh, Sido Muncul tidak segan-segan memberangkatkan ribuan pedagang jamu ke kampung halaman mereka menggunakan bus secara cuma-cuma. Mudik dan jamu memang tidak ada hubungannya. Tapi, setelah yang diberangkatkan pedagang jamu, secara tidak langsung mereka akan bersemangat menjual jamu merek Sido Muncul di kemudian hari.

Lain lagi dengan SariWangi yang mempunyai cara unik dalam memanjakan konsumen di kala musim mudik Lebaran. Sudah beberapa tahun terakhir ini pemimpin pasar teh celup tersebut menggelar mudik bareng dengan program “SariWangi Mobil Mudik”. Sama dengan tahun lalu, tahun ini ada 100 Kijang Innova yang dipersembahkan untuk konsumen yang terpilih secara acak. Konsumen diberi kesempatan menikmati mudik sekeluarga dengan mobil yang difasilitasi SariWangi itu secara gratis. Bahkan, 10 pemenang tahun ini akan mendapat kesempatan kembali memenangkan undian pada tahun depan. Banyak sekali merek yang memanfaatkan Idul Fitri sebagai ajang BSR mereka. Telkomsel, XL, Indosat, BNI, dan Giant adalah contoh-contoh merek yang gencar melaksanakan program tersebut.

Sepertinya ungkapan “Sekali mengayuh dua-tiga pulau terlampaui” layak disandangkan bagi merek-merek yang menggarap program BSR di setiap mudik Lebaran (dan masa yang lain). Sebab, di samping bisa menunjukkan kepedulian kepada pelanggan, merek tersebut bisa mendongkrak penjualan secara signifikan. Bayangkan, pada tahun 2009, konsumen yang mengirimkan bungkus kosong SariWangi ada 58.000 orang. Tahun ini, jumlahnya ditargetkan akan naik menjadi 80.000 orang. Luar biasa, bukan?

Tabungan Merek

BSR ibarat tabungan merek. Atau, orang-orang menyebut “investasi merek”. Nah, sama seperti kita, kalau kita menabung pasti akan untung (asalkan tidak salah pengelolaannya). Begitu pula dengan BSR, akan menghasilkan kinerja positif bagi merek itu sendiri. BSR bisa menjadi obyek komunikasi untuk membangun merek. Mengomunikasikan BSR dengan baik akan menentukan keefektifan dan keberhasilan merek dalam mendongkrak citranya.

A+ CSR Indonesia menyatakan, ada lima hal yang harus diperhatikan di dalam mengomunikasikan BSR. Pertama, public relations dan komunikasi. Kedua, strategi komunikasi dan manajemen reputasi. Ketiga, pengelolaan risiko reputasi. Keempat, do’s and don’ts dalam komunikasi. Dan kelima, pembinaan hubungan dengan media massa. Artinya, kelima hal tersebut mesti dipahami dan dijalankan betul sehingga akan menghasilkan citra merek secara maksimal. Kesalahan mengomunikasikan BSR akan membuang percuma aksi-aksi yang telah diperankan sebagus apa pun.

Dan mulailah menggarap BSR dari sekarang, komunikasikan secara maksimal, lantas terimalah hasil yang super-optimal. Kapan lagi kalau tidak dari sekarang? (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.