Catatan Akhir Tahun Industri Telekomunikasi

Telekomunikasi merupakan industri yang banyak diperbincangkan di tengah hiruk pikuk jargon ekonomi digital. Hal ini dikarenakan Telco punya peran penting dalam menyediakan jaringan atau network dalam ekonomi digital. Masyarakat Indonesia makin terbiasa mengakes internet menggunakan layanan data yang sediakan telco. Mereka mengakses internet antara lain untuk belanja online atau pesan taksi online. Hal ini tentunya merupakan kontribusi yang tidak kecil bagi terciptanyanya ekonomi digital.

telekomunikasi

Bagaimana kiprah industri telco sepanjang tahun 2016? Untuk membahasnya Indonesia Technologi menggelar Forum (ITF) menggelar diskusi refleksi akhir tahun perkembangan industri telekomunikasi di tanah air. Diskusi tersebut menghadirkan Nono Harsono, pengamat telekomunikasi dan Chairman Mastel Insitute. Narasumber lainnya Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik dan Tulus Abadi ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia). Diskusi dipandu wartawan senior Moch Hendrowijono.

Nonot dalam paparannya mengatakan, tidak mudah untuk mewujudkan ekonomi digital. Perlu dukungan dari pemerintah dengan menyiapkan infratruktur yang memadai agar ekonomi digital terus tumbuh. “Segera tata ulang kebijakan pita lebar,” tandas Nonot.

Nonot menambahkan, ketika Indonesia ingin masuk ke jaringan 5G, tantangan yang akan muncul adalah bagaimana menata jaringan backbone, backhaul, dan access dengan tepat, sehingga kemanfaatannya dapat dirasakan maksimal.

Menurut Nonot ketika kita bicara ekonomi digital bukan sebatas e-commerce, namun seluruh mata rantai aktivitas ekonomi yang tercipta dari digitalisasi ekonomi. Tantangan lain di era ekonomi digital Indonesia belum memiliki payment gateway nasional, sehingga kita tidak bisa berapa sesungguhnya transaksi e-commerce di Indonesia.

Agus Pambagio menyinggung peran regulator telekomunikasi. Menurut dia setiap regulasi harus menguntungkan dua pihak, yakni dunia usaha dan masyarakat. Agus melihat di satu sisi industri Telco berkembang dinamis sepanjang tahun 2016, di sisi lain regulasinya terkesan keteteran. Agus mengkritik regulasi yang sesuai dengan perkembangan teknologi selular.

“Yang harus dilakukan pemerintah merevisi UU No.36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi atau segeralah sahkan Perubahan PP No.52 dan 53 tahun 2000,” tegas Agus.

Agus juga menyarankan persoalan kebiajakan publik terkait industri telekomunikasi tidak selalu dikaitkan dengan isu nasionalisme, karena menurutnya saat ini tidak ada operator selular yang notabene 100 persen dikuasai oleh Indonesia.

Sementara itu, Tulus Abadi menyoroti dampak sosial dari industri Telco. Dalam tiga tahun tahun terakhir katanya biaya komunikasi sudah menjadi kebutuhan bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat menengah  bawah. Pengeluaran masyarakat menengah bawah untuk membeli paket data sudah mengalahkan kebutuhan untuk membeli kebutuhan pokok.

Masyarakat menengah bawah katanya rela mengurangi anggaran untuk membeli kebutuhan pokok demi membeli paket internet dari operator telekomunikasi. “Belanja paket internet jadi alat pemiskinan baru bagi masyarakat menengah bawah selain rokok,” kata Tulus.

Ironisnya konsumsi jor-joran untuk membeli paket internet digunakan untuk hal-hal yang kurang positif dan produktif. Masyarakat pun kerap tidak mengeluh jika tarif internet naik, padahal mereka akan beraksi jika tarif listrik naik. Meski begitu tingkat pengaduan terhadap layanan telekomunikasi cukup tinggi yang masuk ke YLKI. Yang adukan konsumen antara lain informasi yang kurang jelas, kualitas jaringan buruk, dan iklan yang menyesatkan.

Mengenai tantangan industri telekomunikasi, Nonot menilai tantangan terbesar adalah disharmoni sehingga boros investasi. Salah satunya solusinya network sharing untuk menekan risiko investasi, sehingga wilayah yang kurang layak investasi menjadi layak.

 

Tony Burhanudin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.