City Branding di Era Media Sosial

Booming jumlah pengguna media sosial membuat makin banyak pemimpin daerah yang kreatif mempromosikan wilayahnya. Via media sosial, mereka menemukan wadah promosi yang murah, fleksibel, dan tepat sasaran. Banyak contoh sukses keberhasilan daerah membangun sektor pariwisata dan menarik investasi dengan bantuan media sosial.

city branding

Meski demikian, masih banyak daerah yang perlu memahami bagaimana konsep city branding melalui media sosial bekerja. Di antaranya karena ia tidak sekadar membuat logo dan tagline, lalu memasangkannya dalam bentuk iklan di media sosial.

Lebih dari itu, city branding via media sosial memerlukan adanya “story telling” dan narasi. Hal tersebut tentu saja perlu dilakukan dengan terstruktur dan tepat sasaran. Inilah yang masih jarang dipahami oleh banyak pemerintah daerah. Banyak dari mereka yang tergesa-gesa ingin mendapatkan hasil, sementara banyak syarat keberhasilan yang belum mereka kerjakan. Salah satu yang sering terlupakan adalah kekuatan internal di daerah itu sendiri, termasuk pegawai Pemda, masyarakat, dan pengusaha lokal. Peran mereka sering terlupakan dalam membangun narasi city branding.

Lalu, bagaimana agar pemerintah daerah bisa mengoptimalkan kekuatan internal mereka sendiri dalam membangun city branding via media sosial?

Membangun Narasi City Branding

Akhir tahun lalu saya menilai strategi promosi daerah yang dilakukan kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Tentu saja sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Bukan karena jumlah kota dan kabupaten yang lebih dari 500, tapi lebih pada ketidaksamaan parameter yang digunakan oleh tiap-tiap daerah.

Promosi daerah dikenal dengan beberapa istilah, yang paling umum digunakan adalah city branding.

City branding saat ini menjadi istilah payung yang digunakan untuk menjelaskan semua aktivitas promosi daerah, tidak hanya promosi pariwisata saja, namun juga untuk investasi.

Selain untuk pariwisata dan investasi, sebenarnya ada dua aspek lagi yang terbantu oleh efek city branding, yaitu persepsi terhadap kualitas produk dan manusia yang berasal dari kota/kabupaten tersebut.

Inilah yang berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain, masing-masing menggunakan penekanan parameter yang berbeda untuk city branding mereka.

Solo misalnya, yang memiliki branding “The Spirit of Java”, menekankan pada aspek pariwisata dan investasi sekaligus. Begitu pula dengan Pekalongan yang menggunakan branding “World’s City of Batik” yang menyasar dua audiens sekaligus, wisatawan dan investor.

Ini berbeda dari yang dilakukan Purworejo yang lebih membidik segmen investasi dengan branding “Go Agriculture Vision”, atau Batu dengan branding “Kota Wisata Batu” yang menyasar segmen wisatawan saja.

Apa pun itu, tidak ada yang salah dan benar. Namun, akan menjadi persoalan jika sebuah kota atau kabupaten tidak memiliki branding yang tepat dan terstruktur.

Mengapa? Karena branding bisa membantu suatu daerah mencapai tujuan pembangunannya. Ini yang terjadi misalnya pada Banyuwangi dengan “Majestic Banyuwangi” yang berhasil meningkatkan jumlah wisatawan asing dengan sangat signifikan.

Yang dilakukan oleh daerah seperti Banyuwangi adalah membangun story telling dan narasi. Tujuannya tidak hanya promosi kepada pihak eksternal (wisatawan, investor, dan lain-lain), tapi juga pada internal (masyarakat, pegawai daerah, pengusaha lokal).

Ya, city branding harus juga diyakini oleh internal dan mampu memotivasi internal untuk berubah. Karena itu ukurannya sederhana, yaitu apakah masyarakat di daerah tersebut tergerak untuk percaya dan mewujudkan cita-cita dalam city branding tersebut? Apakah mereka bersedia secara sukarela menyebarkannya ke orang-orang di luar daerahnya?

Jika salah satu jawaban dari beberapa pertanyaan tersebut adalah “tidak”, maka ada masalah dengan city branding daerah itu. Di sinilah peran media sosial masuk, yaitu sebagai amplifier narasi yang dibangun. Amplifikasi yang dibangun pun tidak sembarangan, yaitu melalui “sumber daya internal” mereka sendiri termasuk para pegawai Pemda, masyarakat dan pengusaha lokal. Bagaimana caranya?

Amplifier Internal

Banyak pemerintah daerah yang bingung dari mana harus memulai proses city branding via media sosial. Umumnya mereka langsung bergantung pada digital advertising, misalnya Facebook Ads dan Google Adwords. Ada juga pemerintah daerah yang kemudian menggunakan jasa buzzer, para selebriti media sosial.

Padahal mereka punya tiga aset sangat besar yang tidak mereka sadari: (1) pegawai Pemda yang aktif di media sosial; (2) masyarakat setempat yang aktif di media sosial; dan (3) pengusaha setempat yang aktif mengiklankan bisnisnya di media sosial.

Tiga aset ini bisa dimanfaatkan sebagai amplifier bagi proses city branding. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

Pertama, pemerintah daerah harus memahami cara media sosial bekerja. Salah satu kekuatan media sosial adalah sebagai alat “sharing”. Karena itu, siapa pun yang “mampu” memiliki kendali atas perilaku sharing para pemilik akun media sosial, maka dia mendapat competitive advantage yang luar biasa. Rata-rata Pemda Tingkat II di Indonesia memiliki 5.000-10.000 pegawai, yang mana 50% di antaranya biasanya aktif di media sosial. Sehingga, suatu kota/kabupaten memiliki modal sekitar 2.500-5.000 pemilik akun media sosial sebagai amplifier inti mereka. Amplifier internal ini harus diberi tugas yang spesifik dalam kaitannya dengan city branding, yaitu mem-follow akun resmi Pemda atau akun city branding Pemda, kemudian ikut “sharing” semua post yang dilakukan oleh akun Pemda tersebut. Jika satu akun rata-rata memiliki 500 friends atau followers, maka sebuah post akan teramplifikasi pada 1,25 juta-2,5 juta pengguna media sosial.

Kedua, masyarakat setempat juga bisa menjadi amplifier yang potensial. Untuk urusan ini, Pemda harus bisa membuat berbagai komunitas di daerahnya merasa ikut serta dan berkewajiban untuk sharing program city branding kota mereka. Jika Pemda bisa merekrut 10.000 saja masyarakatnya untuk mem-follow akun resmi Pemda atau akun city branding Pemda, maka amplifikasinya bisa mencapai 5 juta pengguna media sosial di luar sana.

Ketiga, Pemda perlu berkolaborasi dengan pengusaha lokal untuk membantu memasukkan pesan city branding dalam promosi bisnis mereka. Jika ada 250 saja pengusaha lokal yang bersedia bergabung, maka kemungkinan amplifikasinya bisa mencapai 250.000 pengguna media sosial.

Gabungan dari ketiga amplifier ini akan memastikan pesan city branding yang dibangun tersampaikan kepada khalayak luas. Tidak hanya di sekitar daerah tersebut, namun juga sampai di tingkat nasional bahkan mungkin global. Pemda tinggal sedikit berinvestasi untuk menciptakan platform atau aplikasi yang memudahkan pengelolaan strategi internal amplifier ini. Salah satu yang ada di pasaran adalah aplikasi Amplifia yang dikembangkan oleh developer Indonesia. Amplifia membantu pengelolaan amplifier internal, termasuk juga sistem gamification yang membuat penggunanya terus termotivasi.

 

Harryadin Mahardika 
Kepala Program Magister Manajemen,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia

MM.06.2017/W

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.