Demi Konsumen Operator Harus Patuhi Penurunan Tarif Interkoneksi

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menegaskan, interkoneksi adalah hak pelanggan yang harus dilayani. Menurut Chief RA—panggilan akrab Rudiantara—ada lima dimensi terkait interkoneksi. Pertama adalah pelanggan punya hak untuk mendapatkan layanan interkoneksi. Sebaliknya, kewajiban operator untuk memberi layanan interkoneksi kepada masyarakat. Kedua, interkoneksi adalah B2B (business to business). Artinya ada  business arrangement. ”Perbedaan dalam cara bisnis operator ataupun capex tidak boleh menjadi penghalang interkoneksi,” ujar Rudiantara dalam sambutannya pada seminar bertema Penurunan Biaya Interkoneksi, di Jakarta (7/3).

kiri -kanan : Teguh Prasetya, Moderator, Ketut Prihadi, BRTI, Benjamin Sura, Direktur Telekomuniaksi Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Bambambang P. Adiwiyoto, pengamat
Kiri-kanan: Teguh Prasetya, Moderator; Ketut Prihadi, BRTI; Benjamin Sura, Direktur Telekomuniaksi Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia; Bambambang P. Adiwiyoto, pengamat

Ketiga dari sisi teknikal evolusi teknologi telekomunikasi akan mengarah ke IP (internet protocol) switched sehingga interkoneksi berbasis circuit switched kemungkinan akan hilang dalam beberapa tahun ke depan. Keempat, pemerintah melihat interkoneksi adalah bagaimana industri seluler tetap sustainable ke depan serta semakin kompetitif sehingga bisa menawarkan layanan yang terjangkau (affordable) bagi masyarakat. Kelima, kewajiban operator ke depan tidak hanya menempatkan coverage, tetapi juga memantapkan QoS (quality of service) dalam melayani kebutuhan konsumen.

Benyamin Sura, Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kominfo, mengatakan saat ini pihaknya masih terus mengkaji dengan BRTI terkait besaran interkoneksi. “Saat ini kami sedang melakukan lelang tahap kedua untuk mendapatkan verifikator independen untuk menilai besaran nilai interkoneksi yang tentu membutuhkan data-data dari operator,” ungkapnya.

Dengan verifikator independen tersebut, diharapkan besaran nilai interkoneksi dapat diterima oleh semua pihak. Sementara menurut I Ketut Prihadi Kresna, salah satu komisioner BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia), pihaknya jelas mendukung industri telekomunikasi yang sehat. “Penyesuaian terhadap tarif interkoneksi adalah salah satu upaya mengarah pada persaingan industri telekomunikasi yang sehat,” ujarnya.

Pendapat menarik datang dari pengamat telekomunikasi, Bambang P. Adiwiyoto, yang menyatakan bahwa sejak beberapa tahun lalu dasar yang digunakan oleh regulasi dalam menghitung interkoneksi adalah LRIC (long run incremental cost).

“Dengan metode ini seharusnya dilakukan penghitungan ulang biaya interkoneksi dengan berpegang pada dasar tarif operator yang paling efisien,” ungkapnya. Artinya, konsumen bisa menggugat kalau dasar yang digunakan dalam mengambil kebijakan tarif interkoneksi itu bukan dari hitungan paling efisien.

Bambang juga menyatakan bahwa sebaiknya tarif interkoneksi tidak menggunakan batas bawah, tetapi menggunakan batas atas. “Karena kalau menggunakan batas bawah akan menimbulkan kartel harga,” tuturnya. Dia menambahkan, penurunan tarif interkoneksi nantinya akan membuat trafik atau lalu lintas telepon meningkat. Artinya, pendapatan operator tidak akan terlalu tergerus dengan penurunan tarif interkoneksi.

Kementerian Kominfo mendorong operator untuk melakukan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggaraan telekomunikasi dengan menurunkan tarif interkoneksi. Kementerian Kominfo mengeluarkan Surat Edaran (SE) kepada Penyelenggara Telekomunikasi yang melakukan Interkoneksi (Penyelenggara) yaitu SE Nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 tertanggal 2 Agustus 2016. SE tersebut berisi penurunan tarif interkoneksi yang secara agregat turun sebesar 26% dan diberlakukan untuk 18 skenario panggilan layanan seluler. Tapi, kebijakan itu tak serta merta disambut oleh seluruh operator. Operator berbeda pendapat; ada yang pro, ada pula yang kontra.

Hingga akhir tahun 2016, kebijakan tarif interkoneksi ini belum juga ditetapkan hingga akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan membuat Panja Interkoneksi untuk menyelesaikan polemik ini. Padahal jika melihat dasar hukum interkoneksi sudah diatur pada pasal 1 butir 16 UU 36/1999 yang menyatakan bahwa interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda.

Jika melihat pasal tersebut, interkoneksi merupakan hak bagi operator meminta dan kewajiban bagi operator lain yang diminta. Meskipun menghasilkan pendapatan, interkoneksi tidak dapat dicatat sebagai bagian dari bisnis operator. Setiap panggilan antar-operator selalu menggunakan setengah jaringan operator asal dan setengah jaringan operator tujuan, sehingga operator asal wajib memberi bagian pendapatan kepada operator tujuan.

Tony Burhanudin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.