Experience yang Positif dan Memorable

Experience Berasal dari Layanan, Bukan Produk

Agar bisa memberikan experience yang berkesan, diperlukan tahapan, proses, dan desain. Ini karena experience bagus tidak terjadi hanya secara random, melainkan harus terjadi secara sistematik. Layaknya suatu teater, layanan adalah panggung dan pemainnya di dalam suatu experience. Sementara produk menjadi propertinya (props).

experience yang positif

Kini merek dan perusahaan harus bisa mengkustomisasi produk massal (commodity) hingga menjadi goods, mengkustomisasi goods hingga menjadi service, lalu mengkustomisasi service hingga menjadi experience. Lalu, apakah perusahaan Anda sudah berada di level yang bergerak dalam mengelola dan memberikan experience?

Penjelasan singkatnya, jika pelanggan masih membayar hanya untuk barang atau bahan baku, maka bisnis Anda masih bergerak pada level commodity. Jika pelanggan masih membayar untuk hal-hal yang sifatnya masih tangible, maka Anda masih berada pada bisnis goods. Selanjutnya bila Anda sudah mengenakan bayaran pada aktivitas pelanggan yang terjadi dengan merek atau perusahaan, maka Anda sudah berada pada bisnis service atau layanan. Nah, ketika pelanggan sudah rela membayar untuk “waktu” yang dihabiskan bersama merek atau perusahaan, maka barulah Anda punya peluang untuk sukses dalam bisnis experience.

Inilah mengapa perusahaan atau merek yang bergerak dalam customer experience tidak bisa terjadi secara kebetulan atau secara random, melainkan harus melalui tahapan atau proses. Anda harus mempunyai produk dan layanan yang berkualitas terlebih dulu. Setelah itu, merek harus bisa melibatkan (engage) pelanggan dalam setiap aktivitas promo yang dilakukan. Setiap interaksi yang positif dan memorable tersebut barulah bisa membuat berbagai peluang untuk terciptanya experience.

Lebih detailnya, kita bisa lihat suatu contoh, misalnya konsumen ibu-ibu (sebagai seorang pelanggan zaman dulu). Ketika hendak memberikan sesuatu untuk ulang tahun anaknya, mereka sudah puas dengan hanya membeli bahan-bahan baku (commodity), seperti tepung terigu, gula, mentega, bubuk cokelat, dan lain-lain. Mereka lalu membuat sendiri kue ulang tahun untuk anak-anak mereka. Proses membuat kue memakan waktu lebih dari 5 jam, padahal kue hanya dihabiskan dalam waktu kurang dari 30 menit. Ini sudah menimbulkan kepuasan bagi mereka dan anak-anak mereka.

Sementara konsumen ibu-ibu generasi berikutnya mulai memanfaatkan produk-produk yang sudah di-custom. Perusahaan sudah mulai membuat produk instan, dimana dalam satu produk sudah terdapat hampir semua bahan untuk membuat kue (ada terigu, gula, mentega, serta bahan pelengkap lainnya). Dengan demikian hanya membeli satu produk dan menjalani proses yang jauh lebih praktis, kue ulang tahun pun sudah bisa dibuat.

Lebih maju lagi, pelanggan ibu-ibu mulai memanfaatkan perusahaan bakery atau merek yang memproduksi dan menyediakan kue ulang tahun sendiri. Pelanggan tinggal memesan, dan kue ulang tahun cantik pun langsung bisa didapat, atau diantar ke lokasi pesta. Kue tersebut bahkan bisa didesain dan disesuaikan dengan selera dan kesukaan pelanggan.

Lebih ke depan lagi, para ibu tidak sekadar memikirkan kue untuk ulang tahun anaknya. Ini karena sudah ada merek atau perusahaan yang mengemas satu event utuh untuk keperluan ulang tahun, mulai dari kue, konsep acara, dan pernak-perniknya. Mereka sudah memikirkan cara untuk memberikan kesan, memori, atau experience yang lebih mendalam kepada anak-anak agar pesta ulang tahun bisa terus diingat sampai kapan pun.

Demikian pelanggan kita sudah berevolusi dari hanya positive consumption (mengonsumsi produk) menjadi active participation (kini ingin terlibat langsung). Kita sudah memasuki experience economy.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.