Fintech: Ancaman atau Teman Bagi Bank

Industri keuangan dikejutkan dengan kehadiran beberapa fintech. Meski masih berupa usaha rintisan, kehadiran mereka tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya mereka menawarkan layanan keuangan yang inovatif, sederhana, mudah dan murah. Sesuatu yang sulit didapatkan dari institusi keuangan konvensional.

Industri financial technology

Kita kembali menyaksikan perubahan lanskap industri karena hembusan gelombang teknologi digital. Industri financial technology (fintech) menawarkan model bisnis baru di industri keuangan dan investasi. Meminjam istilah Christensen dalam bukunya Innovator’s Dilemma, fintech telah mengacaukan pasar dengan teknologi disruptifnya.

Menurut Christensen, teknologi disruptif menawarkan nilai-nilai baru, proses bisnis yang lebih sederhana dan lebih murah. Teknologi disruptif merujuk pada inovasi dalam teknologi yang menciptakan produk atau jasa baru, yang menggantikan teknologi yang sudah ada dan mengubah dinamika pasar.

Harus diakui kehadiran fintech telah mengubah lanskap industri finansial secara global. Erik Koenen, Director Deloitte Indonesia, mengatakan saat ini di dunia ada 23 fintech kelas unicorn dengan nilai kapitalisasi pasar masing-masing mencapai US$1 miliar. Padahal, kehadiran fintech secara global terhitung baru, muncul sejak tahun 2013.

Di pasar yang sudah mapan seperti AS dan Eropa, peran fintech semakin diperhitungkan. Deloitte memprediksi pada tahun2025, sekitar 40% profit bank dan asuransi di AS dan Eropa akan digerogoti fintech. “Fintech mengambil pangsa pasar bank dan asuransi karena inovasi teknologi,” jelas Koenen yang diwawancarai di kantornya, The Plaza Tower, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Bagaimana dengan Indonesia? Koenen mengatakan, fenomena fintech di Indonesia baru ramai dalam satu tahun terakhir. Saat ini, ada sekitar 90 perusahaan fintech di Indonesia dan sebagian besar perusahaan rintisan (start-up). Dari 90 perusahaan, menurut Koenen, beberapa di antaranya terindikasi sudah siap berkompetisi di pasar finansial. Perusahaan fintech tersebut antara lain Doku, Investree, Modalku, Bareksa.com, Uang Teman, dan Cek Aja.

Koenen mengakui tidak semua fintech akan meraih sukses. Fintech yang sukses adalah yang mampu memberikan kepuasan kepada konsumen, yang tidak didapat dari layanan asuransi atau bank. Koenen memberi tiga contoh jenis fintech yang terlihat sukses menggarap pasar. Pertama di kategori e-commerce payment ada Doku yang bekerja sama dengan Bank Mandiri.

“Doku sukses membangun relasi dengan e-commerce seperti Lazada dan Tokopedia melalui seamless e-commerce payment. Kita tahu selama ini transaksi e-commerce masih didominasi dengan COD,” jelasnya.

Di kategori peer to peer lending, Investree hadir menawarkan alternatif bagi masyarakat yang selama ini sulit mencari pinjaman ke bank konvensional karena kendala berbagai persyaratan. “Memang ada KTA, tapi bunganya sangat tinggi sekitar 23%. Fintech hadir menawarkan inovasi finansial,” imbuh Koenen.

Selanjutnya di kategori investasi, investor dimudahkan dengan pilihan investasi berbasis online di situs investasi online seperti Bareksa.com. Koenen mengatakan kehadiran fintech investasi seperti Bareksa bisa membantu OJK yang ingin melahirkan 5 juta investor di Indonesia. “Bareksa bisa melakukannya tanpa harus buka cabang di mana-mana, hanya melalui online registration,” tandas Koenen.mm_fintech2

Melihat dari fakta-fakta di atas dapat dikatakan peran fintech bersifat komplementer atau saling melengkapi dengan institusi keuangan yang sudah ada (eksisting). Hal ini sejalan dengan hasil riset Deloitte Indonesia dan Asosiasi Fintech Indonesia. Hasil riset tersebut memberi sinyal ke pasar, bahwa pelaku fintech sejatinya tidak ingin bersaing dengan institusi keuangan yang ada seperti bank, asuransi, dan perusahaan pengelola investasi.

Koenen mengungkapkan, dari 73 perusahaan fintech yang disurvei, mereka lebih memilih menjalin kerja sama dengan institusi keuangan seperti bank ketimbang harus bersaing. Mereka tertarik bekerja sama dengan bank karena punya inovasi teknologi yang bisa dijadikan value bagi bank.

“Bisa saja fintech menjadi kompetitor. Tapi dari survei kepada 73 fintech di Indonesia, mereka ditanyakan apakah ingin berkompetisi atau bermitra? Semuanya menjawab ingin bermitra dengan bank, asuransi, dan capital market,” ungkap Koenen.

Sayangnya sektor perbankan belum antusias merespons keinginan fintech. Saat ini, tercatat dua bank sudah menjalin kerja sama dengan fintech, yakni Bank Danamon yang menggandeng Investree dan Bank Mandiri yang bermitra dengan Doku. “Hingga saat ini baru ada 10 kerja sama antara pihak bank dan fintech,” beber Koenen.

Ekosistem dan Regulasi

Industri fintech di Indonesia bisa dikatakan masih bayi, karena itu perlu dibangun ekosistem yang kuat untuk membangunnya. Koenen melihat ada beberapa sektor yang perlu dilibatkan untuk membangun ekosistem ini. Selain fintech, mereka adalah pemerintah selaku regulator, industri eksisting (bank dan asuransi), pasar modal dan venture capital, institusi pendidikan, dan penyedia infrastruktur jaringan.

Regulasinya juga harus diperjelas. Sudah menjadi rahasia umum, regulasi fintech bersifat lintas sektoral. Fintech bersentuhan dengan Kominfo, Departemen Keuangan, Perpajakan, Departemen Perdagangan, dan OJK. “Izin atau regulasi fintech tidak satu pintu, sementara bank hanya berurusan dengan OJK. Lebih kompleks, ini tidak fair bagi start-up fintech,” tegasnya.

Akhir-akhir ini santer terdengar OJK akan mengeluarkan regulasi untuk fintech. Koenen menyarankan aturan tersebut hendaknya disesuaikan dengan kondisi perusahaan fintech di Indonesia yang rata-rata masih berupa perusahaan rintisan. Selain itu, regulasi juga harus menciptakan level playing field yang sama antara fintech dan institusi keuangan eksisting.

Dari sisi jaringan, fintech tidak mungkin bersaing dengan bank yang punya anggaran triliunan rupiah untuk membangun kantor cabang, ATM, EDC, dan internet banking. Dia menyarankan fintech diizinkan untuk mengakses jaringan yang dimiliki perusahaan eksisting. “Misalnya nasabah fintech bisa menarik uang di ATM milik bank, melalui fitur Open Application Program Interface (OPPI),” imbuh Koenen.

Hal lain yang perlu diakomodir dalam regulasi yaitu soal cyber security. Koenen menegaskan, tidak fair menuntut perusahaan kecil seperti fintech menangani kejahatan di internet sendiri. Pemerintah atau konsorsium industri bisa membantu fintech dalam menanggulangi cyber security.

Di balik sejumlah tantangan yang dihadapi industri fintech di Indonesia, Koenen melihat peluangnya untuk berkembang masih terbuka lebar. Dia melihat fintech yang menawarkan solusi pembayaran online dengan skema kredit akan semakin diminati di masa depan.

Di sisi lain, dia juga melihat masih banyak ruang untuk berinovasi di industri asuransi. Peluang ini bisa dimanfaatkan fintech untuk menelurkan jasa asuransi yang inovatif. “Belum ada fintech insurance yang benar-benar menawarkan model bisnis yang baru, hanya ada situs fintech insurance pembanding,” tandasnya.

Tony Burhanudin

MM.11.2016E/W

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.