Industri Rekaman & RBT Transformasi ke Penjualan Digital

shutterstock_199357475Berbagai model bisnis distribusi musik online bisa menjadi ancaman serius bagi perusahaan label musik. Sempat sukses dengan RBT, tapi tak lama bernasib sama seperti penjualan bentuk fisik.

Boleh dikata industri musik saat ini mengalami tantangan yang cukup signifikan. Tak hanya menghadapi satu kendala, tapi berkali-kali hingga mengakibatkan bisnis industri musik mengalami perubahan secara alami. Faktor tersebut tak hanya datang dari perubahan perilaku para konsumen dalam menikmati musik, tapi juga didukung kondisi pasar yang berubah begitu cepat. Kemunculan musisi-musisi baru yang lebih menariknyatanya tak lantas menjadi kunci sukses menjaga stabilitas penjualan kaset, CD, maupun DVD.

Masalah tak lepas sampai di situ. Pukulan yang tak kalah hebat adalah maraknya pembajakan yang terjadi begitu saja. Penjualan CD bajakan pun makin meluas; tak hanya di emperan toko, tapi juga merambah pusat perbelanjaan modern. Tentunya, kondisi ini menjadi potret muram bagi para pelaku industri musik, termasuk record label yang masih mengandalkan pendapatan dari hasil penjualan CD. Bukan tidak mungkin perusahaan rekaman pun mengikuti jejak suram toko kaset yang bangkrut dan kemudian menutup usaha.

Memang meredupnya penjualan bentuk fisik seperti cakram padat disebabkan beberapa faktor. Salah satunya adalah efek perkembangan teknologi yang membuat setiap orang dapat mengunduh semua hasil karya cipta. Cukup hanya dengan sekali “klik”. Hanya dengan mengakses internet maka segala unduhan dapat dilakukan secara mudah dan cepat—tak hanya yang berbayar tapi juga yang gratisan.Terlebih, orang bisa memilih lagu sesuai keinginan. Internet telah dimanfaatkan untuk mendistribusikan musik, baik berupa download, file sharing ataupun swapping (bertukar-tukar lagu di antara sejumlah orang tertentu) melalui dukungan teknologi P2P (peer-to-peer).

Upaya-upaya seperti promosi antipembajakan dan “pemaksaan” melalui diterapkannya undang-undang HAKI (hak atas kekayaan intelektual atau property rights) tak sepenuhnya berjalan. Hal tersebut belum bisa menghilangkan aksi pembajakan sama sekali. Meski ada penurunan, secara keseluruhan hasilnya masih relatif belum signifikan.

Mahalnya harga produk-produk rekaman musik dan film, termasuk peranti lunak komputer, dianggap hal yang memicu besarnya aksi para pembajak, karena secara nyata pasarnya cukup besar, kalau tak boleh dikatakan sangat besar. Sementara bagi peminat dan pengguna, keberadaan produk-produk bajakan cukup menguntungkan karena mereka bisa mendapatkan produk yang sama dan kualitas tak jauh berbeda dengan harga yang jauh lebih rendah.

RBT Pun Redup

Di Indonesia sendiri, industri musik sempat mendapatkan titik terang dengan maraknya konsep RBT (ringback tone). Bisnis RBT menjadi tambang emas bagi record label maupun operator mobile. Pendapatan dari layanan nada sambung pribadi ini diperkirakan naik beberapa kali lipat. Tak heran jika saat itu RBT dengan cepat menjadi “anak emas” di pasar mobile music karena dinilai memiliki peluang besar dalam merebut hati konsumen dan minim pembajakan.

Namun, apa daya industri RBT pun anjlok karena terkena imbas kasus pencurian pulsa. Pada 18 Oktober 2011, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTP) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 177/BRTI/X/2011 yang mengimbau seluruh operator seluler menghentikan sementara konten premium berlangganan karena ramainya kasus pencurian pulsa. Pihak yang paling terkena dampak adalah perusahaan label musik karena selama itu RBT menjadi pendapatan utama. Bahkan, ada yang mengklaim dahulu RBT memberi kontribusi pendapatan hingga 90% untuk perusahaan.

Tak selang berapa lama, teknologi terbaru pun muncul dan memberikan celah bagi penyedia musik untuk mendistribusikan produknya secara legal dan berbayar. Hingga kini, model pay per download yang tersukses adalah iTunes Music Store yang dikembangkan Apple. Ini berimbas pada maraknya situs-situs legal, yang secara bersamaan didukung oleh perkembangan teknologi yang semakin canggih. Hal ini pula yang kemudian memberikan alternatif bagi lahirnya model-model bisnis yang lebih baru dalam mendistribusikan musik secara online.

Selain muncul pola-pola baru dalam industri musik, konsumen pun akan semakin menikmati musik dan mendapatkan jenis musik apa saja yang mereka inginkan. Munculnya iTunes Music Store dan Napster 2.0 yang menyediakan musik online legal dengan menerapkan model bisnis tertentu terbukti berimbas ke banyak negara—termasuk Indonesia. Hal ini semakin menunjukkan bahwa online music distribution semakin digemarikarena dapat memberikan jenis musik yang dibutuhkan, pilihan cara mendengarkan yang diingini pengguna, dan juga tersedia kapan saja dibutuhkan oleh peminat musik.

Untuk Indonesia sendiri, penjualan digital melalui iTunes Indonesia bisa menjadi salah satu cara untuk menghidupkan kembali industri musik—termasukpihak yang terlibat di dalamnya, mulai dari perusahaan label musik hingga para musisi. Salah satu bukti sukses penjualan digital adalah Fatin Shidqia dengan album For You yang langsung sold out begitu pre order dibuka lewat iTunes. Ya, keberhasilan tersebut karena cara mengunduh yang relatif lebih mudah serta harga yang tidak terlalu mahal. Tentunya, kembali lagi, ini berbeda dengan penjualan melalui fisik.

Maraknya layanan chatting berbasis mobile pun membuat layanan RBT semakin redup. Dengan adanya layanan chatting seperti BlackBerry Messenger (BBM), WhatsApp, KakaoTalk, dan WeChat orang lebih senang chatting melalui teks dan gambar dibanding menelepon saat berkomunikasi. Hal ini yang menyebabkan orang tidak sering lagi menerima telepon sehingga mereka pun enggan berlangganan RBT.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.