Inspirasi di Awal Tahun

Sumber diferensiasi dalam marketing dibedakan ke dalam 3 kelompok: price driven, product driven atau customer driven. Kelompok price driven menggunakan faktor harga sebagai pembeda dan berfokus senantiasa di margin. Maksudnya, pertimbangan akhir untuk memutuskan sebuah transaksi berfokus ada tidaknya margin yang masih dapat diperoleh. Etos margin inilah yang dibangun dalam perusahaan. Akibatnya, para marketernya dengan sengaja membuang nilai-nilai yang dianggapnya tambahan bagi pelanggan. Tambahan yang bersifat tangible adalah komponen yang langsung ditiadakan pertama kali digantikan dengan potongan harga.

Marketer di sini bahkan tidak percaya akan gunanya nilai tambahan yang bersifat intangible seperti memberikan service excellence. Mereka berasumsi pasar tidak butuh servis, yang penting harga murah. Biasanya, Marketer yang demikian mengalami mudahnya kehilangan pelanggan. Sebentar saja pesaing menurunkan harga, pelanggan akan pindah ke sana. Semakin lama mereka akan semakin sulit mempertahankan pelanggan. Mengapa? Loyalitas tidak pernah dibangun.

Lain halnya dengan marketer yang product driven. Mereka sangat mengandalkan keunikan produk atau jasa yang ditawarkan. Akibatnya, mereka terus-menerus menekankan keunggulan fitur sebagai Unique Selling Proposition (USP). Contoh-contoh USP yang sering dijumpai menawarkan produk yang lebih ekonomis, lebih irit, lebih tahan banting, lebih awet, lebih enak, lebih praktis. Demikian pula dalam industri jasa, berbagai fitur diberikan untuk mempertahankan loyalitas pelanggan. Misalnya, industri telekomunikasi yang memberikan fitur call forward, call divert, call waiting, dan lain-lain.

Tetapi, seunik apa pun fitur yang ditawarkan, pesaing dapat menjiplaknya dalam waktu singkat. Bahkan tidak jarang ada yang datang dengan fitur lebih baik. Demikian seterusnya hingga terjadi perang fitur dan pada akhirnya pelanggan tidak lagi melihatnya sebagai sebuah keunikan.

Sementara itu, kelompok customer driven tidak selalu berkompetisi dengan harga atau keunggulan fitur. Walaupun penting punya harga dan produk yang unik, namun kedua hal ini bukanlah basis bersaing. Yang membedakannya dari kedua kelompok lainnya adalah paradigma terhadap pelanggan. Penganut customer driven menganggap pelanggan sebagai bagian dari proses bisnis dan mereka selalu memastikan bahwa pelanggan menikmati pengalamannya sebagai customer. Menikmati pengalaman berarti menikmati berinteraksi dengan perusahaan.

Marketer di sini memastikan setiap interaksi atau moments of truth pelanggan dengan titik kontak pelanggan merupakan pengalaman yang berkesan. Akibatnya, pelanggan ingin kembali lagi menikmati pengalaman yang diberikan oleh perusahaan. Ini diperoleh karena perusahaan melayani pelanggan dengan sangat baik. Hanya perusahaan yang berhasil membangun Service Culture-lah yang mampu melakukan ini secara konsisten.

Pelayanan yang berkualitas merupakan sumber diferensiasi yang utama jika perusahaan ingin keluar dari perang harga dan perang fitur. Pelayanan sebagai pembeda berlaku baik untuk industri produk maupun industri jasa. Bagi industri jasa yang banyak aspek intangible-nya (seperti industri airlines, perbankan, keuangan, asuransi, telekomunikasi, dan airport), kualitas layanan adalah “produk” atau hal yang dibeli oleh pelanggan secara langsung.  Kualitas layanan adalah basis persaingan mereka.

Pada industri setengah jasa dan setengah produk (seperti industri otomotif, electronic appliances, restoran, modern market, department store), layanan berkualitas jelas merupakan basis pembeda. Namun tidak banyak yang tahu, dan tidak banyak yang mau menggunakan layanan unggul sebagai pembeda. Bagi marketer kategori produk yang berkompetisi di layanan unggul sebagai sumber diferensiasi, mereka sudah menggunakan strategi servitization product. Artinya, produk mereka diparadigmakan sebagai bagian dari servis, bukan sebaliknya.

Survei ISSI (Indonesian Service Satisfaction Index) merupakan barometer pengukuran kualitas layanan yang bertujuan sebagai “benchmarking” bagi marketer—di samping guna mempromosikan lingkungan bisnis yang kondusif, bagi penyelenggara. Survei ini dilakukan baik untuk kategrori industri yang murni jasa hingga yang campuran seperti yang telah disebutkan di atas. Secara total penilaian dilakukan untuk 18 kategori jasa yang paling populer, termasuk kualitas pelayanan After Sales Service dan Walk in Centers (tempat pelayanan).

ISSI adalah customer perception survey, bukan customer experience research. Pada akhirnya, persaingan bisnis ditentukan oleh bagaimana perusahaan berhasil merebut hati si genius—yaitu pelanggan. Perusahaan customer driven tidak menganggap pelanggan sebagai konsumen dan tidak memperlakukan mereka hanya sebagai angka statistik, tetapi memperlakukannya sebagai sebuah pribadi yang pengalamannya diperhitungkan sebagai kinerja.

Fundamental pembangunan Service Culture dimulai dari pengukuran. Pengukuran adalah sebuah attitude. Adanya keinginan mengukur sebetulnya sudah merupakan sebuah ”pencapaian” tersendiri. Perusahaan yang siap membaca hasil pengukuran adalah yang siap menerima kenyataan bahwa mereka “masih gagal atau belum berhasil”. Yang terpenting adalah bagaimana perusahaan dapat mengambil langkah strategis dari hasil pengukuran untuk memperbaiki dan membangun Service Culture. Customer driven yang sesungguhnya adalah: “Perusahaan dengan kualitas layanan teratas dan tidak menyadari bahwa Service Culturenya terjadi secara bottom up, bukan top down atau paksaan berupa instruksi dari atasan”. Dalam perusahaan yang Service Culture-nya sudah bottom up, semua orang adalah service star dan menjadi role model.

ISSI 2007 merupakan hasil pengukuran Service Satisfaction untuk 18 kategori industri services.  Dalam ISSI, penilaian pelanggan yang bisa terpengaruh dengan image merek dihindari. ISSI murni mengukur pengalaman responden menggunakan jasa layanan yang diberikan oleh provider. Banyak insight yang didapatkan dari ISSI 2007 ini, tapi jika ditulis satu per satu akan menjadi ulasan yang sangat panjang. Secara singkat, ada 5 temuan menarik dapat saya bagikan. Temuan ini dapat menjadi acuan tingkat harapan dan karakteristik Service Quality di Indonesia.

Pertama, skor total ISSI pada rata-rata industri After Sales Service (3,8943) sedikit lebih rendah jika dibanding dengan score ISSI total rata-rata Walk in Centers yang mencapai 3,9283. Untuk After Sales Service, bengkel R4 mempunyai skor ISSI tertinggi, sedangkan Service Center handset yang terendah.  Jika diperhatikan dari segi segmentasi, maka pelanggan pengguna bengkel R4 lebih homogen dibanding pelanggan handset. Ini merupakan tantangan bagi handset untuk meningkatkan layanan.

Untuk Walk in Centers, tingkat pelayanan International Airline mengungguli semua kategori sedangkan tingkat pelayanan Financing otomotif R2 merupakan yang terendah.  Masih rendahnya indeks R2 memberikan peluang bagi pemain di industri ini untuk keluar dari price driven competition.

Kedua, dari skor rata-rata industri, yang tertinggi dari semuanya adalah industri International Airline dengan skore ISSI 4,0698; diikuti oleh industri Perbankan Prioritas dengan skor ISSI 4,0066; dan industri After Sales Service untuk otomotif Roda 4 dengan skore ISSI 4,0012. Selebihnya berada di bawah 4,0000. Tingginya skor ISSI di industri International Airline dipicu oleh skor ISSI Singapore Airline (4,2625) yang juga merupakan skor yang tertinggi dari semua merek layanan yang disurvei.

Tidaklah mengherankan jika Singapore Airline menjadi salah satu icon service dunia. Industri ini mempunyai persaingan yang relatif lebih berbasis pada customer driven atau service ethos ketimbang pricing dan fitur.Demikian pula untuk industri Perbankan Prioritas dan bengkel R4, basis persaingannya sudah “customer experience”. Ketiga kategori ini, khususnya International Airline menghadapi persaingan yang sangat keras akhir-akhir ini yang menuntut pemain mendeliver pelayanan dengan kenangan indah kepada pelanggan.

Ketiga, dari dimensi pelayanan Akses, People, Proses, Penanganan Keluhan di Walk in Centers; yang tertinggi adalah rata-rata untuk People dengan skor 3,9436. Sedangkan yang terendah adalah untuk penanganan keluhan dengan skor 3,8931. Ini menunjukkan semua kategori masih berusaha keras meningkatkan sistem penanganan keluhan.  Memang bukan hal yang mudah, tetapi jika layanan sudah menjadi budaya perusahaan, seperti di Singapore Airline, penanganan keluhan sudah menjadi hadiah yang paling menyenangkan bagi pelanggan. Buktinya skornya mencapai 4,0286—unggul 253 basis poin dari perbankan prioritas yang mempunyai skoe 4,0033.

Keempat, untuk After Sales, dari ke lima dimensi Akses, People, Proses, Penanganan Keluhan dan Kualitas pekerjaan yang direparasi, maka kualitas pekerjaan yang direparasi mencapai skor tertinggi. Walaupun pelanggan kurang puas dengan layanan yang diberikan, tetapi rata-rata puas terhadap hasil kerja teknisi—khususnya dari segi kualitas perbaikan yang diberikan. Sekali lagi, ISSI menunjukkan bahwa masih banyak peluang bagi bengkel untuk meningkatkan customer experience dan budaya layanan sebagai pembeda.

Kelima, Airport merupakan satu-satunya public utility yang mewakili kategori utilitas publik  lainnya. Bandara adalah “lobby atau receptionist” dari sebuah negara atau kota. Maka, tingkat keramahan dan kualitas layanan bandara akan mempengaruhi persepsi keramahan suatu negara atau kota. Untuk International Airport, ISSI 2007 menangkap beberapa bandara luar negeri—di antaranya Singapura, Bangkok, Hong Kong, Kuala Lumpur, dan London. Namun karena jumlah sampel tidak cukup untuk ditampilkan per merek, maka nilai yang diperoleh dirata-ratakan. Nilai bandara internasional “lainnya”, yang mencapai 4,1618, ternyata jauh mengungguli bandara Soekarno Hatta dan Juanda. Sementara untuk kategori airport domestik, kedua bandara ini berada di atas rata-rata industri.

Mudah-mudahan benchmarking ini dapat terus mempromosikan sebuah lingkungan bisnis yang kondusif dan sehat.  Bagi pembaca tentunya ada manfaat yang bisa dipelajari. Dan bagi perusahaan yang menuju 2010 dan persaingan global, dapat terus mengubah basis persaingan untuk membuat perusahaan menjadi lebih profitable.  Sampai bertemu di ISSI 2008 dengan jumlah kategori yang lebih banyak.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.