JOE ART Konsumennya Kalangan Ekspatriat

Ternyata tidak selamanya limbah mencemari lingkungan. Di tangan orang kreatif, benda itu bisa diubah menjadi souvenir yang menarik.

Salah satunya adalah limbah kaca. Biasanya, limbah kaca sering dibuang begitu saja tanpa dimanfaatkan terlebih dulu. Sebagian orang pun tak akan pernah menyangka limbah ini bisa menjadi kerajinan yang memiliki nilai jual tinggi sebanding dengan hasilnya.

Seperti yang dilakukan Johan Prasetio. Berkat keterampilan yang dimilikinya, limbah kaca tersebut terlihat unik dan artistik. Berbagai kerajinan seni itu dipajang di galerinya yang terletak di Jalan Wisanggeni, Tegal. Hasil kerajinannya berupa asbak, tempat tisu, jam duduk, vas bunga, kap lampu, meja, hingga Monas, Twin Towers, menara Pisa, bahkan menara Eiffel pun tersedia.

“Bahan baku kaca mudah didapat, yakni diperoleh dari pabrik-pabrik kaca maupun toko-toko kaca, baik yang masih bagus maupun sisa produksi mereka. Tetapi, untuk membuat produk berukuran besar, harus menggunakan kaca lembaran,” ucap Jo, beitu ia biasa disapa.

Jo melanjutkan, dirinya memulai usaha kerajinan kaca sejak tahun 1999. Waktu itu, kaca bukan materi dasar utama produknya melainkan kertas karton, tempurung kelapa dan kerang. Ia membuat souvenir perkawinan semenarik mungkin dengan dihiasi dedaunan kering, rempah-rempah yang diolah agar tahan lama.

Ketika menjalankan usaha kerajinan kaca, Jo hanya menanam modal awal sebesar Rp 70.000 saja. Niatnya, cuma menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. “Waktu itu, setelah lulus kuliah, saya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Hal itu mengilhami diri saya untuk membuka usaha,” kata lulusan SMA 3 Tegal ini.

Limited Edition

Kini galeri yang diberi nama Joe Art mampu menarik minat pembeli. Rata-rata, peminat datang dari mancanegara seperti Australia, Jepang, Prancis, Inggris sampai Eropa. Maka, target pasar yang dilirik Jo adalah kalangan ekspatriat atau menengah ke atas. “Umumnya, mereka menyukai barang-barang kerajinan yang memiliki nilai seni. Apalagi yang bersifat unik dan langka di negaranya,” ujar Jo yang mengklaim produknya bersifat limited edition.

Dari segi pemasaran, Jo lebih menekankan pada sisi word of mouth dan below the line. Ia aktif mengikuti pameran-pameran seperti Inacraft, ICRA, PPI dan event-event lainnya. Di ajang pameran tersebut, banyak turis mancanegara yang pesan produk dalam jumlah banyak dan langsung meminta untuk dikirim. Selain itu, ia pun memasang iklan di media cetak dan internet serta menyebarkan brosur-brosur.

Harga yang ditawarkan pun bervariasi. Hal ini tergantung dari tingkat kesulitan dalam proses pembuatan produknya. Sebagai contoh, asbak kecil dijual seharga Rp 12.000, kap lampu Rp 250.000, sedangkan untuk menara Pisa dijual Rp 500.000.

“Harga produk berkisar Rp 30.000 hingga Rp 3.000.000. Memang jika dilihat dari modal bahan baku, tidak sampai seharga jualnya. Saya lebih condong menjual hasil karya seni. Jadi, harga bukan masalah utama,” ungkapnya.

Selain bersifat limited edition, Jo juga mengatakan bahwa kualitas produk juga diutamakan. Ia selalu berusaha menciptakan karya sebaik mungkin. Maka dari itu, ia tak pernah terburu-buru dalam mengerjakan satu desain dan mematok jumlah produksi per bulannya. Baginya, unsur “rasa” pada produk merupakan kelebihan yang dimilikinya. Ini didukung dengan kemahiran Jo dalam membentuk pecahan kaca, baik yang ready maupun pesanan. Dalam bentuk pesanan, si pembeli hanya memberikan desain gambar yang nantinya akan dibentuk sesuai permintaan.

Ditambahkannya, perkembangan bisnis kerajinan pecahan kaca memiliki prospek yang bagus. Ia berpendapat, kerajinan buatan Indonesia memiliki ciri khas yang bisa menarik minat kalangan pecinta seni. Jangan heran jika mereka rajin “hunting” hingga ke pelosok daerah. “Sambutan dari luar negeri cukup antusias,” aku suami dari Evi Nufiati ini.

“Sekarang persaingan makin ketat untuk kerajinan pecahan kaca. Semua menggaet pasar ekspor dengan keunikan dan cara yang berbeda-beda dalam pemasarannya. Tapi, saya tak khawatir karena bertahannya usaha seperti ini dimulai dari ide orisinil sang pembuat, jadi kami bisa bersaing secara sehat,” paparnya.

Karena sifat bisnis yang tak bisa diprediksi secara kontinyu, Jo hanya merekrut 5 karyawan tetap dan 10 karyawan part time saja. Ini untuk mengurangi risiko biaya operasional tenaga kerja supaya tidak seperti pepatah “besar pasak daripada tiang”.

“Jika pesanan sedang melonjak, saya akan merekrut karyawan sesuai kebutuhan. Datangnya permintaan tidak bisa diduga-duga, apalagi untuk kerajinan seni seperti ini. Diibaratkan keuntungan dan kerugian sulit ditebak. Kadang pesanan banyak, tapi kadang kosong hingga bulan berikutnya,” ujarnya.

Lalu apa rahasia suksesnya menjalani bisnis kerajinan limbah kaca ini? Dengan rendah hati Jo mengungkapkan, dirinya hanya menanamkan sikap keuletan, optimis, dan jujur dalam bekerja. Di luar itu, hubungan baik dengan lingkungan pun diperlukan untuk membentuk jaringan pemasaran produk. “Intinya, bisa memasarkan seluas-luasnya,” akunya.

Ke depan, Jo ingin kerajinan tangan buatan Indonesia bisa diterima lebih baik lagi, khususnya untuk buatannya sendiri. Lebih spesifik lagi, ia ingin kerajinan pecahan kaca bisa menjadi icon daerah tempatnya bernaung—Tegal, Jawa Tengah. “Dan pastinya bisa membuka lapangan pekerjaan untuk warga sekitarnya,” pungkasnya.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.