Kisah Penjual Sayur

MARKETING.co.id – Belum lama ini, saya pergi bersama keluarga ke sebuah desa di Tegal, Jawa Tengah, mengunjungi beberapa teman. Kami menginap di desa tersebut selama dua hari. Satu pagi, ketika kami sedang duduk di luar rumah milik teman saya, sambil menikmati udara segar dan ngobrol dengan tetangga—lima orang ibu, seorang ibu penjual sayuran datang menghampiri dan menawarkan dagangannya.

Penjual sayuran itu membawa keranjang yang hanya berisi satu macam sayur, yaitu ketimun kecil. Ia membungkus ketimun-ketimun kecil itu dalam kantong plastik, setiap kantong berisi sekitar lima buah. Si ibu penjual menawarkan kantong tersebut ke setiap ibu. Satu per satu pun melihat ketimun itu. Empat ibu yang pertama tidak membeli, tetapi ibu yang kelima membeli satu plastik. Saya pun bertanya kepada para ibu, sudah berapa lama si ibu penjual sayur berkeliling menjual sayuran? Mereka bilang, sudah lima tahun. Ia datang setiap hari menawarkan ketimun. Hanya ketimun, karena keluarganya mempunyai kebun kecil berisi tanaman itu.

Saya menganggapnya menarik. Ibu itu menjual hanya satu macam produk (ketimun) ke pasar yang sama (hanya lingkungan itu-itu saja yang berisi sekitar 80 rumah tangga). Hebatnya si ibu itu bisa bertahan selama lima tahun! Mari kita teliti bagaimana si ibu mampu bertahan.

  1. Ia menawarkan ketimun kecilnya ke semua orang yang duduk di sana. Ini berarti ia tidak takut menawarkan produknya ke semua orang, dan ia menganggap semua orang adalah pelanggan potensial.
  2. Ibu-ibu yang ditawari ketimun adalah ibu rumah tangga. Ini adalah hal yang benar, karena para ibu rumah tangga adalah pengambil keputusan jika berbicara tentang menu yang hendak dimasak. Ia menawarkan produk tepat kepada para pengambil keputusan.
  3. Dari 5 ibu, 4 ibu menolak dagangannya. Tapi, 1 ibu memutuskan untuk membeli. Dalam penjualan biasanya, Anda bisa jadi mengalami penolakan lebih banyak lagi. Walau si ibu mengalami empat penolakan, ia tidak merasa kecewa sama sekali dan menganggap itu adalah bagian wajar dalam aktivitas jualannya sehari-hari (1 pembelian dari 5 prospek—20% tingkat kesuksesan). Bahkan seorang ibu penjual sayur di Tegal mengerti konsep dasar penolakan dalam berjualan. Tapi, begitu banyak penjual profesional nampaknya tidak bisa menerima satu penolakan pun!
  4. Penolakan sifatnya hanya sementara. Si ibu penjual sayuran kembali lagi hari berikutnya untuk menawarkan produk yang sama ke pasar yang sama yang menolaknya kemarin! Lucunya, ibu tetangga yang pertama dan ketiga kali ini membeli ketimunnya, sementara ibu kedua, keempat, dan kelima menolaknya. Jadi, penolakan itu sifatnya hanya sementara. Mungkin kedua ibu itu tidak membeli karena: masih ada stok ketimun di dapur; masih ada stok sayur jenis lain di dapur; mereka kehabisan uang hari itu; mereka tidak ingin makan ketimun hari itu; dan lain-lain.
  5. Si ibu penjual sayuran itu bahkan tidak khawatir soal hal-hal teknis selling. Yang ia lakukan hanya kembali lagi pada hari berikutnya untuk menawarkan ketimun kepada orang-orang yang sama yang sudah menolaknya pada hari itu atau kemarin. Esoknya ternyata beberapa ibu membeli ketimun. Mengapa? Karena situasinya sudah berubah: mereka kehabisan stok ketimun di dapur; mereka kehabisan stok sayuran lain di dapur; mereka baru saja mendapatkan uang; mereka tiba-tiba ingin masak sayur ketimun hari itu; mereka merasa iba pada si penjual sayur dan memutuskan untuk membeli; dan lain-lain.  Si penjual sayur tahu bahwa penolakan adalah bagian wajar dari aktivitas berjualannya sehari-hari. Ia juga tahu bahwa penolakan itu bersifat sementara dan kondisi bisa berubah. Ketika kondisi berubah dan ia mencoba menawarkan lagi, maka orang akan membeli dagangannya.
  6. Si ibu penjual sayuran mempunyai pasar yang bagus. Ia mungkin memperhitungkan bahwa jika ada 80 rumah tangga dalam lingkungannya, dan ia bisa mendapatkan 20% tingkat kesuksesan, itu berarti ia bisa mendapat 16 penjualan ketimun kecil. Mungkin angka itu sudah cukup untuk mencapai target sehari-harinya.

Sesaat kemudian, kami berjalan-jalan di ladang padi. Salah satu anak saya pun berkata, “Ayah, lihat! Itu si ibu penjual sayuran lagi!” Kali ini ia menawarkan ketimun kecilnya pada para petani pria yang sedang bekerja di ladang. Saya sangat heran. Mengapa ibu itu menawarkan ketimunnya pada petani pria? Rasanya mereka bukanlah si pembuat keputusan tentang apa yang harus dimasak untuk makan malam. Mengapa si ibu mau repot-repot mengganggu pekerjaan mereka dengan menawarkan ketimun?

Saya sangat ingin tahu, sehingga kami berjalan mendekati para petani tersebut. Saya ingin bertanya mengapa mereka mau berhenti untuk membeli ketimun ketika sedang sibuk bekerja. Lalu, jawabannya pun menjadi jelas. Para petani pria itu dengan ceria mengunyah ketimun mentah si ibu penjual sayur! Ketimun menjadi snack bagi mereka. Ketimun itu terasa segar dan sejuk di mulut dan menjadi pengusir dahaga bagi para petani yang bekerja di bawah terik matahari.

Jadi, si ibu penjual sayur telah menemukan lagi segmen pasar yang baru di dalam desa yang sama. Para suami yang tadinya saya kira bukan pengambil keputusan dan bukan merupakan pelanggan potensial, malah bisa menjadi pembeli yang lebih baik daripada para ibu rumah tangga. Mereka butuh ketimun itu langsung supaya bisa mengusir rasa haus. Luar biasa!

Pada segmen pasar para petani pria, rasio suksesnya bahkan lebih besar lagi. Tiga dari lima orang petani membeli ketimun. Itu berarti 60% tingkat kesuksesan. Wow! Jadi, setiap rumah tangga mempunyai dua pengambil keputusan yang terpisah dan dua pembeli potensial, dengan dua bujet terpisah.

Mari kita hitung dengan cepat:

  • Segmen para ibu rumah tangga, 80 rumah tangga, 20% success rate = 16 penjualan.
  • Segmen para petani, 80 rumah tangga, 60% success rate = 48 penjualan.

Total 16 + 48 = 64 penjualan dalam sehari.

Jadi, apa yang kita bisa pelajari dari si ibu penjual sayur sederhana dari desa di Tegal? Happy Selling!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.