Konsumen Indonesia Makin Sama atau Makin Beda?

Marketing.co.id- Banyak merek di Indonesia yang tidak memiliki pangsa pasar yang merata untuk setiap daerah di Tanah Air. Bahkan, ini juga terjadi untuk merek-merek yang menjadi pemimpin pasar. Pangsa pasar suatu merek bisa sangat tinggi di Jawa, tetapi rendah di daerah lain atau sebaliknya. Padahal, merek tersebut sudah menggunakan semua upaya secara nasional. Mereka sudah beriklan secara nasional, melakukan distribusi secara nasional dan kualitas produk pun sama untuk semua daerah. Tetapi hasilnya tetap berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Inilah salah satu keunikan pasar di Indonesia, yang relatif jauh lebih heterogen dibandingkan dengan pasar di Malaysia, Thailand, India, China atau bahkan dengan negara lainnya.

Tentunya, hal ini terjadi karena banyak faktor. Pertama adalah sikap, perilaku, budaya, norma dan kebiasaan konsumen Indonesia yang memang berbeda antara satu daerah dan ke daerah lainnya, serta  dari satu suku ke suku lainnya.  Inilah faktor yang saya yakin paling berpengaruh terhadap perbedaan penetrasi dan penerimaan suatu merek di daerah tertentu.

Sifat konsumen Jawa yang demikian berbeda dengan Sunda saja, menyebabkan banyak produk harus melakukan perubahan produknya agar dapat diterima oleh kedua suku ini. Padahal, secara geografis, kedua suku ini relatif berdekatan. Berbagai perusahaan yang memproduksi produk minuman dan  makanan, seringkali membuat produk yang berbeda.  Untuk pasar Jawa, produk dibuat lebih manis dibandingkan dengan yang dipasarkan untuk konsumen Sunda. Kalau mereka tidak melakukan adjustment, maka produk yang manis lebih laku dijual di Jawa tapi tidak diterima oleh konsumen Sunda.

Memasarkan produk jamu, jelas jauh lebih sulit di daerah Jawa Barat. Ini terlihat dari penetrasi jamu yang memang hanya 50% dibandingkan dengan wilayah Jawa lainnya. Jamu Sido Muncul, Air Mancur, Nyonya Meneer dan lain-lain, pastilah lebih dominan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bila daftar merek yang memiliki perbedaan penerimaan ini diteruskan, pastilah akan sangat panjang, terutama untuk produk makanan dan minuman.

Demikian pula, suku Jawa sungguh berbeda dengan konsumen dari suku Batak.  Perbedaaan ini bukan hanya berpengaruh terhadap perbedaan merek makan dan minuman yang menjadi preferensi, tetapi bisa meluas untuk banyak produk lainnya. Bahkan, perbedaan ini sangat terlihat dalam perilaku menggunakan produk komunikasi seperti telepon seluler. Konsumen Jawa umumnya memiliki porsi penggunaan SMS yang lebih tinggi dibandingkan dengan suku Batak yang lebih cenderung memilih untuk lebih banyak menggunakan komunikasi langsung dengan suara.

Rokok yang disukai oleh suku Jawa dan suku Batak atau suku di Sumatera pada umumnya juga berbeda.  Rokok kretek dengan rasa cengkeh yang berat cenderung lebih banyak dihisap perokok Jawa, sedangkan suku-suku di Sumatera lebih memilih rokok kretek filter atau rokok putih.

Faktor kedua adalah yang berhubungan dengan tingkat kompetisi yang berbeda dan pemain berbeda yang berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Ini terlihat nyata di industri semen misalnya. Di Jakarta, Tiga Roda adalah merek yang menguasai pasar terbesar. Di Jawa Timur, semen Gresik adalah yang terdepan. Di Sumatera, semen Padang yang mendominasi pasar. Perbedaan pasar bukanlah dikarenakan perbedaan dari perilaku pelanggan, tetapi karena memang merek-merek ini memilki keuntungan dalam distribusi. Perilaku kontraktor dan perilaku para tukang dari daerah ini relatif sama. Merek-merek setempat cenderung untuk memperkuat jalur distribusi di area di mana relatif dekat dengan tempat produksi. Jadinya, Tiga Roda—yang berbasis di Jawa Barat—harus merasa menang di daerahnya, dan sebaliknya juga untuk semen Gresik. Ditambah lagi, biaya distribusi yang semakin tinggi bila merek-merek tersebut harus dipasarkan di daerah lain.

Faktor kedekatan antara tempat produksi dan konsumen, memang memilki banyak keuntungan. Perusahaan-perusahaan lokal umumnya masih mampu bertahan terhadap serbuan merek nasional karena mengandalkan distribusi yang intensif di daerahnya dan sekaligus karena perusahaan tersebut umumnya telah menjalin hubungan yang dekat dengan para ritel di daerahnya masing-masing. Bisa juga, karena mereka lebih mengerti sifat-sifat konsumen di daerahnya sendiri sehingga dapat menciptakan produk yang lebih sesuai dengan harapan konsumen di daerah tersebut.

Tentunya, ada merek produk yang ternyata sudah berhasil menguasai pangsa pasar untuk hampir seluruh pasar di Indonesia secara merata. Ini terjadi karena produk tersebut  memang tidak banyak berhubungan dengan budaya, norma atau kebiasaan dari masyarakat setempat. Baterai ABC, minuman teh Sosro, shampo Sunsilk, pasta gigi Pepsodent, seluler Nokia adalah contoh-contoh merek produk yang memilki pangsa pasar yang tidak banyak berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Ini terjadi karena memang budaya dan perilaku konsumen yang berbeda suku, tidak  menentukan pemilihan suatu merek. Ini bisa terjadi karena produk tersebut juga berhasil mengedukasi konsumenya di seluruh Indonesia agar mereka memiliki attitude, perilaku pembelian dan perilaku konsumsi yang seragam terhadap merek-merek tersebut.

Lalu, bagi marketer, bagaimana membaca tren ke depan? Apakah konsumen Indonesia, terutama konsumen yang berbeda suku, akan semakin berbeda atau semakin sama perilakunya? Jawaban atas pertanyaan ini sungguh penting. Bila konsumen Indonesia akan semakin berbeda atau minimal tetap mempertahankan perbedaan, maka melakukan modifikasi produk sesuai dengan keinginan konsumen setempat haruslah dilakukan.  Bila ternyata tren ini sebaliknya, maka marketer haruslah lebih memilih produk yang standar untuk mengejar keuntungan dari skala ekonomi.

Dalam pandangan saya, sangat logis bila kita memprediksi bahwa konsumen di Indonesia akan menuju kepada persamaan. Paling tidak, ada 4 faktor yang mendukung terjadinya arus. Pertama adalah faktor globalisasi. Gelombang globalisasi ini telah membuat banyak perilaku manusia di muka bumi menjadi semakin sama. Akibatnya, proses kesamaan ini juga pasti terjadi juga untuk segmen yang sama dalam satu negara. Segmen remaja misalnya, mereka akan lebih cepat untuk menuju persamaan. Segmen remaja yang dari Jawa, dari Sunda, dari Madura, dari Padang, dari Ambon atau suku-suku lain, akan mengkonsumsi produk yang serupa. Mereka menyukai Kentuky Fried Chicken, McDonald’s, Pizza Hutt, Coca-Cola dan merek-merek global lainnya. Segmen ini memang relatif reseptif terhadap perubahan dan bersedia mengikuti dinamika.

Kedua, karena media—terutama media televisi. Jangkauan televisi yang semakin luas dan kemampuan media ini untuk membentuk karakter dan preferensi, telah mengubah konsumen Indonesia menjadi satu pasar. Banyak acara televisi yang ternyata memiliki rating hampir sama di semua daerah. Ini menunjukkan bahwa konsumen Indonesia menuju proses kesamaan daripada perbedaan.

Ketiga, karena teknologi terutama seluler dan internet. Kedua teknologi ini telah membuat konsumen Indonesia semakin mudah berhubungan dan bertukar informasi. Teknologi ini jugalah yang membuat perilaku mereka sama karena memang sebelumnya, mereka tidak memilki perilaku unik dalam menggunakan teknologi tersebut.  Dalam industri perbankan misalnya, nasabah yang telah menggunakan fasilitas internet banking akan cenderung sama perilakunya di seluruh Indonesia. Mereka membutuhkan kecepatan, kenyamanan dan keamaman. Ini tidak terpenagruh apakah dia adalah nasabah dari suku Sunda, Jawa, atau suku lainnya.

Keempat adalah karena perubahan jalur distribusi. Ritel modern yang semakin kuat, telah banyak membantu merek-merek nasional untuk menyerbu daerah. Ini membuat merek-merek daerah menjadi tidak berdaya. Pada saat yang bersamaan, konsumen Indonesia juga kemudian lebih memilih ritel modern seperti hipermarket, supermarket atau mini market sebagai tempat belanja. Kondisi ini jelas menguntungkan merek-merek nasional karena telah dibantu untuk menyerbu daerah.

Merespon proses ini, marketer tentunya perlu untuk menyikapi strategi mereka di masa mendatang. Marketer perlu berhenti untuk melakukan strategi lokal. Perusahaan tidak perlu untuk membuat produk yang harus berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya. Mereka bisa kehilangan daya saing karena tidak kompetitif dalam hal biaya. Tentunya, perlu ketajaman untuk melihat waktu yang tepat dan jenis produk seperti apakah yang lebih mudah “go national”, tanpa melakukan modifikasi untuk merespon suku yang berbeda.

Salah satu strategi yang tepat untuk merespon adalah dengan membuat strategic platform.  Ibarat membuat pizza, perusahaan dapat memilki base yang sama tetapi dengan “topping” yang berbeda. Jadi, perusahaan dapat mencapai skala ekonomi dalam membuat produk dasarnya, tetapi masih bila melakukan customization untuk daerah tertentu.  Customization ini bisa dilakukan untuk warna, flavor, bumbu, fitur yang kurang penting, layanan tambahan dan lain-lainnya, tetapi core product-nya masih sama. Bila suatu saat harus sama karena konsumen yang semakin homogen, dengan mudah perusahaan melakukan perubahan strategi produknya.

Di satu pihak, ini sinyal negatif buat merek-merek daerah. Mereka akan lebih sulit bertahan. Keterikatan emosional dengan produk-produk daerah akan semakin terkikis. Juga, distribusi yang menguntungkan bagi merek-merek nasional akan membuat pertahanan merek daerah terkikis. Pelan taspi pasti. Karena itu, merek lokal haruslah cepat menjadi merek nasional untuk bertahan dan bertumbuh.

Handi Irawan D

Chairman Frontier Consulting Group & Content & Knowledge Based Speaker

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.