Kreatif Periklanan Dilahirkan atau Diciptakan?

shutterstock_157130189Periklanan adalah dunia yang menantang karena menuntut kreativitas. Jika memang basisnya kreativitas, apakah menjadi profesional periklanan harus melalui kampus periklanan?

Kita biasanya terkagum-kagum pada orang kreatif. Mereka selalu mampu menelurkan ide-ide “segar” di saat yang lain mengalami kebuntuan. Orang kreatif juga selalu bisa menawarkan solusi yang sebelumnya mungkin tidak terbayangkan di benak banyak orang.

Sayangnya tidak banyak tersedia orang kreatif di dunia ini. Padahal orang-orang kreatif sangat dibutuhkan di berbagai bidang. Dalam dunia bisnis, orang dengan kreativitas tinggi merupakan aset yang tidak ternilai. Bahkan dalam kasus tertentu, modal kreativitas mampu mengalahkan modal uang sekalipun.

Pentingnya kreativitas sampai-sampai Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menetapkan 14 sektor unggulan yang masuk dalam industri kreatif. Keempat belas sektor tersebut terdiri dari (1) jasa periklanan, (2) arsitektur, (3) pasar seni dan barang antik, (4) kerajinan, (5) desain, (6) fashion, (7) video, film, dan fotografi, (8) permainan interaktif, (9) musik, (10) seni pertunjukan, (11) penerbitan dan percetakan, (12) layanan komputer dan peranti lunak, (13) televisi dan radio, dan (14) riset dan pengembangan.

Basis industri kreatif adalah kreativitas, bukan uang, tenaga kerja, atau teknologi. Itu sebabnya harga produk kreatif tidak bisa diukur dengan biaya produksi, tenaga kerja, dan teknologi. Namun, peminat produk kreatif selalu ada meski harganya mahal. Inilah kelebihan industri kreatif dibandingkan industri berbasis sumber daya lainnya.

Menyinggung kelangkaan orang kreatif di lahan bisnis, terselip pertanyaan apakah orang kreatif dilahirkan atau diciptakan? Atau dalam bahasa yang sederhana, apakah untuk menjadi kreatif ada sekolahnya? Kegalauan ini pula yang dirasakan oleh AM Adhy Trisnanto, praktisi periklanan.

Dalam buku yang ditulisnya Ngobrol Santai Soal MarComm, dia mengatakan kreativitas bukan bawaan sejak lahir, melainkan bisa dibentuk. Kuncinya antara lain membuka mata dan telinga terhadap apa yang terjadi di sekeliling kita. Kedua, membiasakan diri berpikir in-depth, tidak hanya menciduk yang ada di permukaan. Ketiga, orang kreatif akan muncul jika masyarakatnya menghargai karya kreativitas meski tidak selalu berbentuk uang.

Apakah kreativitas merupakan sebuah keterampilan? Secara implisit Adhy mengatakan jika kreativitas adalah keterampilan, berarti ia butuh sekolah atau lembaga pendidikan. Tapi, jawaban tidak berhenti di sini. Analoginya, kita bisa mengirim anak kita kursus melukis, tapi apakah dia bisa mewarnai seni lukis, cerita bisa lain lagi.
Tantangan Sekolah Periklanan

FX Ridwan Handoyo, Principal Imago School of Modern Advertising, melihat kebutuhan profesional periklanan sangat tinggi di Indonesia. Sayangnya hal ini belum diimbangi dengan pasokan tenaga profesional periklanan. Bukan hanya kurang dari sisi kuantitas, tapi kualitasnya juga masih jauh dari harapan.

Namun, entah mengapa di tengah tingginya permintaan profesional periklanan, Imago justru mengubah status dari lembaga pendidikan periklanan nongelar dengan masa belajar dua tahun menjadi lembaga kursus singkat periklanan selama 1–2 hari. Padahal dulu Imago cukup mumpuni sebagai lembaga pendidikan periklanan.

Peminat jurusan Periklanan sebenarnya cukup tinggi. London School of Public Relations (LSPR) tiap tahunnya menerima mahasiswa jurusan Advertising sekitar 70–80 siswa. Mereka yang masuk jurusan ini biasanya memang tertarik dengan dunia kreativitas dan komunikasi visual.

Untuk menghasilkan lulusan periklanan yang berkualitas, LSPR sebagaimana dituturkan Gesille S. Buot, Dekan Digital Media Communication & Advertising LSPR Jakarta, membekali mahasiswa dengan mata kuliah seperti Creative Thinking, Visual Design Communication, Copywriting, Digital Design, Advertising Online & Multimedia Design, Television Commercial, Entrepreneurship in Creative Industry, dan Strategic Branding.

Agar mampu bersaing secara global, LSPR memberlakukan ujian internasional yang mesti diikuti mahasiswa. Mata kuliah yang diujikan mencakup English Communication, TV Commercial Production, dan Commercial Publication. Kuliah periklanan di LSPR, rata-rata mahasiswa mengeluarkan biaya Rp92.000.000 hingga Rp94.500.000 sampai dengan lulus.

Kreativitas memang menjadi ruh dunia periklanan. Tak heran jika advertising agency seperti Endee Communication sangat memerhatikan kreativitas. Menurut Andy Gusena, Managing Director Endee Communication, pihaknya membutuhkan lulusan advertising yang mampu beradaptasi dengan tuntutan dunia kerja. “Tenaga kreatif yang mampu menyesuaikan dengan kebutuhan komunikasi produk dan kebutuhan klien,” katanya.

Persyaratan lain yang diminta agency ini antara lain portofolio akademik, pengalaman kerja, dan kecepatan menerjemahkan ide atau brief dalam bahasa visual (desain komunikasi). Dalam memilih profesional periklanan Endee Communication tidak pandang bulu apakah lulusan luar negeri atau lokal. Pihaknya hanya fokus pada kualitas dan pengalaman.

Andy menilai dunia periklanan Indonesia berkembang pesat dalam 10 tahun terakhir. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tenaga kreatif periklanan muda yang berprestasi di ajang internasional. “Industri periklanan yang maju membawa dampak kemajuan pada calon-calon kreatif muda bersaing memberikan ide briliannya yang bisa mengikuti tren, konsep kreatif berstandar internasional,” tutur Andy.

Dunia periklanan Indonesia masih banyak membutuhkan profesional periklanan yang mampu bersaing di pasar lokal dan global. Maklum, sebentar lagi perdagangan bebas ASEAN sudah di depan mata. Ini menjadi tantangan bagi kalangan kampus, mereka tidak cukup hanya mencetak para tukang (craftmanship) periklanan, tapi profesional periklanan yang mampu berpikir besar.
Kalangan kampus ada baiknya mencermati sinyalemen Adhy. Gagasan atau konsep katanya tidak dibangun dari langit kosong, tapi dikembangkan dari menggali fakta, informasi, data, sejarah, dan pengalaman.

Pengamatan atas perilaku orang dalam memakai atau tidak memakai merek tertentu, menemukan mutiara dari hasil pengamatan tersebut, dan mengasah mutiara sehingga menjadi ide yang unik, orsinal, serta tak terduga juga bisa dipelajari. Kita bisa belajar tentang cara mengamati, tapi bagaimana menemukan mutiara dari hasil pengamatan itu sepenuhnya menjadi wilayah kreativitas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.