Kreativitas dalam Hiperkompetisi

Sebagai marketer mungkin Anda tidak berkeinginan berada di lahan pertarungan merek yang satu ini. Kita tidak pernah melihat pertarungan caleg seperti sekarang ini, dimana mereka harus bersaing dengan ratusan caleg lain untuk mendapatkan tanda contreng dari para pemilih.

Pada bulan Februari 2009 lalu Majalah Marketing sempat “iseng-iseng” membuat workshop bertema political marketing. Namun akhirnya kami batalkan karena para caleg rupanya sudah melakukan penetrasi pasar. Mereka mulai turun ke bawah atau pulang kampung untuk menemui “potential consumers” mereka.  Barangkali mereka berpikir untuk apa belajar marketing. Lebih baik uangnya mereka pakai untuk ikut pertarungan gaya bebas ini.

Di dalam industri dimana produk Anda bersaing, Anda mungkin menghadapi banyak pesaing. Namun sebanyak-banyaknya pesaing Anda, paling tidak ada dua atau tiga pesaing yang Anda anggap sebagai pesaing utama. Namun hal ini tidak terjadi dalam kampanye ini. Anda tidak hanya bersaing dengan caleg dari partai lain tetapi juga caleg dari partai Anda sendiri. Pun dalam pertarungan gulat bebas ala WWF, Anda masih memiliki teman untuk sama-sama menghadapi lawan-lawan yang tidak jelas. Tapi dalam pemilu ini mau tidak mau Anda bertarung secara individu melawan siapapun. Memang ada caleg sekelas “Unilever” yang punya budget “tak terhitung” untuk kampanye. Tapi sebagian besar adalah petarung seimbang dengan dana kampanye yang hampir berimbang.

Menariknya sedikit banyak mereka sudah paham consumer behavior dari prospek pemilih mereka. Salah satunya adalah kesadaran bahwa konsumen mereka, terutama di kota-kota adalah mobile consumers. Mereka adalah konsumen yang tidak mudah ditemui dari rumah ke rumah. Cara paling jitu untuk mendapatkan atensi mereka akhirnya melalui billboard, baliho atau SMS marketing. Mereka berharap calon pemilih melihat billboard mereka pada saat berada di jalan. Lagipula cara ini lebih menghemat biaya dibandingkan beriklan di majalah atau radio, khususnya untuk billboard ilegal yang tak perlu menyetor pajak media luar ruang. Itulah sebabnya kita melihat “semak belukar” billboard dan baliho betebaran dimana-mana. Sampai-sampai seorang berkewarganegaraan asing yang datang ke Indonesia sempat bingung melihat poster dan billboard dari para caleg. “Calon presiden negara Anda kok banyak sekali,” katanya.

Memang dalam setiap kompetisi pasti memunculkan kreativitas. Kita bisa melihat mana di antara para marketer dadakan ini yang benar-benar kreatif dan mampu membuat diferensiasi dalam tema kampanye mereka. Hanya sedikit yang berpikir out of the box. Sebagian besar hanya mengikuti tema apa yang banyak dipakai orang lain. Lihatlah, terlalu banyak caleg yang mengusung tema untuk berubah.

“Perubahan” adalah positioning yang sudah generik. Sama seperti produk obat yang memosisikan diri sebagai obat yang manjur, atau semua kecap yang memosisikan diri sebagai kecap nomor satu. Akhirnya konsumen bingung mana obat yang benar-benar manjur dan mana kecap yang nomor satu. Mungkin mereka berharap sukses seperti Obama yang mengusung tema perubahan. Tapi Obama hanya bersaing dengan Mc.Cain. Apa artinya positioning ini jika berhadapan dengan ratusan kompetitor?

Sama halnya dengan penggunaan endorser dalam kampanye. Sebenarnya ini juga merupakan taktik untuk menciptakan stoping power. Namun seperti halnya Luna Maya yang terlampau banyak dipakai sebagai bintang iklan. Kita pun semakin tidak bisa membedakan caleg mana yang di-endorse oleh SBY, Megawati atau tokoh-tokoh partai lainnya.

Tapi saya menganggap bahwa pemilu kali ini sebagai bagian pembelajaran marketing yang sangat baik bagi para caleg. Kalau lima tahun lagi mereka masih berkeinginan maju sebagai caleg, mereka telah didewasakan oleh kompetisi yang sempurna. Mereka akan semakin kreatif dan menelurkan ide-ide yang out of the box.  Itulah indahnya persaingan! (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.