Layanan Menjadi Senjata Pamungkas

Blue Gaz bisa dikatakan bermain di pasar yang tingkat kesulitannya cukup tinggi. Produk yang masuk kategori public goods yang diatur pemerintah, fluktuasi harga, dan besarnya investasi baru adalah beberapa kendala yang dihadapi. Kalau sudah begini, layanan yang harus bicara.

layanan blue gaz

Pakar manajemen Michael Porter dalam bukunya Competitive Strategy Techniques for Analyzing Industries and Competitors (1980) memperkenalkan model yang dikenal dengan istilah five force analysis. Model ini menentukan keberhasilan sebuah perusahaan dalam industri yang digelutinya.

Kelima kekuatan tersebut mencakup kompetitor, ancaman pendatang baru, ancaman produk pengganti, daya tawar pembeli, dan daya tawar pemasok. Dari kelima hal tersebut, nampaknya PT Blue Gaz Indonesia menghadapi tantangan paling keras dari daya tawar pembeli dan daya tawar pemasok.

Tiga ancaman lainnya, yakni kompetitor, pendatang baru, dan produk pengganti relatif ringan. Dari sisi kompetitor Blue Gaz hanya bersaing dengan Pertamina sebagai produsen LPG (liquid petroleum gas). Pendatang baru juga sepertinya sulit masuk, karena investasi membangun refilling center LPG sangat mahal.

Menurut Joseph Carter Wijaya, Senior Marketing Manager PT Blue Gaz Indonesia, investasi untuk membangun refilling center seperti yang dimiliki PT Blue Gaz Indonesia di Cakung, Jakarta Timur, bisa mencapai sekitar Rp20 miliar. Ancaman produk pengganti (substitusi) juga relatif tidak ada, justru pemerintah dalam beberapa tahun terakhir menggalang konversi dari minyak tanah ke LPG.

Kondisi ini harusnya membuat bisnis PT Blue Gaz Indonesia melaju tanpa hambatan. Kenyataannya tidak demikian, karena sebagaimana diungkap di awal, Blue Gaz menghadapi tantangan daya tawar pemasok dan daya tawar pembeli. Sebagai penjual LPG Blue Gaz sangat bergantung dari pasokan LPG Pertamina. Hal ini membuat harga LPG yang ditawarkan Blue Gaz menjadi lebih mahal dari LPG Pertamina. Akhirnya dari segi harga Blue Gaz sulit bersaing, dan pembeli punya posisi yang kuat untuk berpindah ke perusahaan lain.

Tidak Terpaku pada Harga

Fakta ini menggambarkan betapa sulitnya Blue Gaz bersaing dari segi harga. LPG keluaran Pertamina ukuran 12 kg harganya berkisar Rp75.000–Rp80.000. Sementara LGP produksi Blue Gaz ukuran 5,5 kg berharga Rp85.000. Kalau sudah begini tidak ada cara lain bagi Blue Gaz selain fokus pada kualitas produk dan layanan.

“Kami tidak pernah menyampaikan kepada konsumen tentang harga. Harga bukan jadi faktor utama, yang jadi fokus perhatian kami kualitas produk dan kualitas layanan,” tegas Joseph.

Secara kualitas, LPG yang ditawarkan Blue Gaz ibarat Pertamax Plus-nya BBM. Hal ini dimungkinkan karena Blue Gaz melakukan sampai lima kali proses penyaringan, sehingga yang dihasilkan LGP “murni” tanpa kandungan butan dan metan.

Mungkin banyak masyarakat yang belum tahu Blue Gaz merupakan perusahaan gas dan kitchen appliances yang menawarkan konsep total solution. Blue Gaz tidak hanya menjual isi ulang LPG, tapi juga produk pendukungnya seperti kompor gas, selang, regulator, dan tabung gas. Tidak juga banyak yang tahu kalau perusahaan ini ternyata memilih strategi pemasaran dan model bisnis yang berbeda dari perusahaan pada umumnya.

Untuk pemasaran, Blue Gaz lebih memilih strategi “bubur panas”, yakni bergerak di kawasan pinggiran perkotaan dengan menyasar ibu-ibu rumah tangga kelas menengah. Sementara distribusi produknya dilakukan secara direct selling dengan pembelian sistem kredit. Sistem distribusi seperti ini membuat rangkaian produk Blue Gaz (tabung gas, kompor gas, selang, regulator) tidak bisa dijumpai di modern outlet, karena penjualan dilakukan secara langsung atau door to door melalui mitra usaha.

Dengan sistem bisnis seperti ini, sangat wajar jika awareness Blue Gaz tidak terlalu tinggi. Hal tersebut juga diakui sendiri oleh Joseph. Meski begitu, Blue Gaz memiliki basis customer yang cukup membanggakan, angkanya mencapai 1,5 juta pelanggan. Dari sejumlah itu, sekitar 60% merupakan pelanggan loyal.

“Bukan berarti sisanya 40% tidak loyal, karena harga Blue Gaz mengikuti harga LPG internasional, harganya jadi fluktuatif. Kalau harga stabil, konsumen akan loyal. Begitu kami naik harga, mereka stop dulu pakai Blue Gaz, kalau turun baru pakai Blue Gaz lagi,” tuturnya.

Sekadar informasi, sekitar 70% omzet Blue Gaz didapat dari konsumen loyal yang melakukan transaksi isi ulang LGP. Keberhasilan Blue Gaz dalam mempertahankan pelanggan loyal karena perusahaan fokus pada layanan. Hal ini bisa dilihat dari cara Blue Gaz memberikan layanan purnajual kepada konsumennya. Call centre, SMS centre, home service, dan garansi suku cadang merupakan rangkaian tools untuk mendukung layanan purnajual.

“Saya berani katakan kami satu-satunya, perusahaan small appliances dan kitchen appliances yang memberikan jasa home service 100%. Karena kami berani memberikan jaminan itu, maka kualitas produk sangat kami jaga,” tambahnya.

Dia menjelaskan, selama ini pelanggan Blue Gaz sangat yakin dengan keamanan produk-produk Blue Gaz. Terkait tabung, misalnya, pihaknya menjamin tidak akan mendistribusikan tabung di bawah standar kualitas Blue Gaz. Dari segi tampilan, tabung LPG Blue Gaz juga terlihat selalu baru.

Dengan keamanan tabung tersebut kami hampir tidak pernah mendengar kasus tabung LPG Blue Gaz meledak sebagaimana terjadi pada tabung LPG 3 kg pada awal-awal program konversi minyak tanah ke LPG. Kalaupun ada komplain dari konsumen, cuma hal-hal ringan yang bersifat teknis dan nonteknis. Yang sering dikeluhkan konsumen adalah masalah teknis api berwarna merah.

“Api kompor Blue Gaz seharusnya berwarna biru, jadi konsumen akan komplain jika apinya merah. Hal ini terjadi karena konsumen tidak rajin membersihkan kompornya setelah selesai dipakai memasak,” jelasnya lagi.

Diversifikasi Merek dan Produk

Bermain hanya di kawasan pinggiran, penjualan secara langsung, fluktuasi harga LPG internasional, dan mahal investasi membangun refilling center, kombinasi ini membuat Blue Gaz tidak bisa menikmati pertumbuhan yang tinggi. Tiap tahun rata-rata Blue Gaz hanya menikmati pertumbuhan sekitar 3%–5%.

Mahalnya ongkos membangun refilling center membuat Blue Gaz belum berniat berekspansi ke luar Pulau Jawa. Blue Gaz saat ini praktis hanya menggarap pasar Pulau Jawa, itu pun hanya di kawasan pinggir kota.

“Tantangan di Blue Gaz terutama adalah investasi refilling center yang memakan biaya sangat besar, sehingga jika kami melakukan penetrasi ke wilayah lain hanya kompor gas saja, maka tidak ada competitive advantage dari produk ini,” jelasnya.

Untuk itu, pihaknya dalam beberapa tahun belakangan mengembangkan merek Vienta. Vienta merupakan rangkaian produk kitchen appliances milik Blue Gaz dengan produk andalan smart cooker dan food processor. Rupanya Blue Gaz sudah kadung jatuh hati dengan direct selling dan gaya marketing makan bubur panas. Sehingga kedua cara ini pula yang digunakan untuk membesarkan Vienta. Kabar baiknya, Vienta tidak hanya menggarap Jawa, tapi juga luar Jawa.

“Vienta tahun lalu sudah ekspansi ke Bali, tahun depan akan penetrasi ke daerah lain, target awal kami Sumatera,” tandasnya.

Tony Burhanudin

MM092013/W

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.