Makin Kaya, Makin Religius, dan Kian Konsumtif

Sama seperti kelas menengah lainnya, GenM memiliki daya beli yang tinggi dan berpikiran modern. Yang membedakan, mereka berupaya menerapkan nilai-nilai agama ke segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal konsumsi.

genM

Di tengah pemberitaan yang kurang sedap mengenai dunia Islam, seperti perang saudara di Timur Tengah dan isu terorisme, muncul angin segar dari kelas menengah dan generasi muda muslim. Segmen ini berpikiran modern, memandang dunia dengan positif, bersifat inklusif, namun tetap memegang teguh nilai-nilai agama mereka.

Ogilvy & Mother, salah satu agensi komunikasi dan pencitraan ternama di dunia, pernah melakukan survei di empat negara mayoritas Islam dalam berbagai tahapan siklus ekonomi berbeda—Arab Saudi, Mesir, Pakistan, dan Malaysia—kemudian menguji penemuan ini di sejumlah tempat dengan populasi mayoritas dan minoritas muslim lainnya.

Hal-hal yang dieksplorasi dalam survei tersebut antara lain seberapa penting keimanan mereka? Bagaimana sikap mereka terhadap dunia modern? Bagaimana mereka mengarahkan posisi mereka di dalamnya? Jawaban yang diberikan generasi muda muslim atas pertanyaan-pertanyaan tersebut cukup mencengangkan, bahwa keimanan mereka memengaruhi apa pun yang mereka lakukan, dan mereka percaya hal ini bisa menjadikan modernitas lebih baik.

Mereka juga sepenuhnya melebur dalam kehidupan modern dan mengambil manfaat bagi kebaikan individu dan masyarakat, sekaligus meningkatkan keimanan mereka. Begitu kuatnya pengaruh generasi muda muslim, sehingga penting bagi merek atau organisasi untuk mengidentifikasi dan menjangkau mereka. Ogilvy & Mother sampai merasa perlu membentuk divisi khusus untuk melayani segmen ini. Divisi tersebut bernama Ogilvy Noor (Shelina Janmohamed, Generasi Muda Muslim dan Cara Mereka Membentuk Dunia).genM

Menurut Shelina, sikap generasi muda tersebut mengejutkan, karena selama ini teori yang berkembang menyebut ketika sains, demokrasi, dan konsumerisme tersebar luas, maka peran agama akan memudar. Kehadiran generasi muslim (generasi M) tidak lepas dari fenomena global kelas menengah. Hanya bedanya, kelas menengah muslim tetap memegang teguh nilai-nilai agama mereka meskipun sudah hidup makmur.

Shelina mengatakan, semakin kita mengenal generasi M, kita akan melihat tanda bahwa selera produk dan merek kelas menengah yang sedang tumbuh ini berfokus pada keinginan yang mewah dan premium. Kelompok muslim mana yang masuk kelas menengah kategori generasi M? Vali Nasr dalam bukunya Meccanomics mengatakan, mereka terdiri atas orang-orang berkecukupan yang menginginkan peluang baru, berpartisipasi dalam ekonomi global, aktif di media sosial, dan menginginkan kemerdekaan politik.

Yang menarik dari kelompok ini bukanlah hal-hal yang dibatasi dalam prinsip-prinsip Islam atau identitas teokratis, melainkan yang ramah terhadap nilai-nilai global, sehingga AS dan Eropa ikut serta di dalamnya. Karena itu, Vali Nasr sependapat dengan teori yang menyatakan bahwa kebangkitan kelas menengah muslim merupakan benteng terhadap ekstremisme. Sisi ekonomilah yang lebih menahan goncangan dibandingkan teologinya. Hasilnya adalah generasi muslim yang terdiri dari wirausahawan, investor, profesional, dan konsumen yang kuat.

Empat Segmen Kelas Menengah Muslim Indonesia

Bagaimana dengan kelas menengah muslim di Tanah Air? Indonesia dengan penduduk 250 juta jiwa dan sebagian besar muslim tentu menarik juga untuk dipelajari. Kelas menengah muslim ternyata bukanlah pasar yang homogen atau seragam. Pengamat Marketing Yuswohady membagi empat kelompok kelas menengah muslim yang mencakup segmen rationalist, segmen apathist, segmen universalist, dan segmen conformist.

Segmen rationalist, segmen yang tidak terlalu sensitif terhadap nilai-nilai Islam. Segmen ini juga tidak terlalu khawatir ketika mengonsumsi produk/jasa nonhalal, yang penting value functional dan value emotional sebuah produk/jasa sesuai dengan keinginan mereka. Segmen apathist tidak memedulikan halal atau tidak halal; berkualitas atau tidaknya suatu produk/jasa. Yang penting bagi mereka, produk/jasa tersebut terjangkau buat mereka.

Segmen universalist merupakan segmen muslim modern, memahami ajaran Islam dan bersikap inklusif. Sementara segmen conformist kebalikan dari segmen universalist. Segmen ini merupakan kelompok Islam simbolik yang menganggap penting simbol-simbol keagamaan. “Makanya jika ingin memasarkan produk ke segmen conformist, peran influencer ustadz menjadi penting,” tutur dia.

Yuswohady memprediksi segmen universalist bakal berkembang pesat dan mendominasi pasar Indonesia. Hal ini terjadi karena segmen rationalist, apathist, dan conformist akan bergeser menjadi segmen universalist. “Kaum muslim kita akan bergeser menuju sosok muslim yang universalist. Mereka adalah sosok muslim yang religius, universal, dan makmur,” kata dia.

Kelompok GenM

Dari pasar kelas menengah muslim muncul ceruk baru, yakni GenM. Istilah GenM diperkenalkan Yuswohady dalam bukunya yang berjudul GenM, #GenerationMuslim Islam Itu Keren. Dia memberikan istilah “GenM” untuk membedakan istilah Gen X dan Gen Y (milenial). Menurutnya, kita tidak bisa begitu saja menggunakan istilah Gen X atau Gen Y seperti di AS, karena Indonesia dan AS memiliki sosio-historis yang berbeda.

Menurut Yuswohady, GenM adalah generasi yang lahir di pengujung tahun 1980-an. Karena mereka lahir, tumbuh, dan dewasa pada periode yang sama, mereka mengalami kejadian dan pengalaman sosio-historis yang sama (common formative experiences). Kejadian dan pengalaman itu membentuk nilai-nilai, perilaku, dan aspirasi yang sama.

genMYuswohady mengambil pengujung dekade 1980-an sebagai awal kemunculan GenM, karena saat itulah ekspresi keagamaan di Indonesia mendapatkan angin segar, seiring dengan semakin kondusifnya pemerintahan Orde Baru terhadap kaum muslimin.

Adapun beberapa kejadian dan pengalaman sosio-historis yang dialami GenM sepanjang tahun 1990-an dan 2000-an antara lain iklim sosial-politik tahun 1990-an; kejatuhan Soeharto 1998; pemilu demokratis 1999 dimana banyak partai Islam yang berpartisipasi; peristiwa Bom Bali 1 dan 2, maraknya konflik sosial bermotif SARA; revolusi digital dan media sosial; hingga menggeliatnya budaya pop Islam.

Ada empat ciri yang melekat pada GenM. Pertama, mereka religius dan taat kepada kaidah-kaidah Islam. Kedua, mereka melihat Islam sebagai rahmatan lil alamin yang memberikan kebaikan universal (universal goodness) kepada seluruh umat manusia. Ketiga, mereka modern, berpengetahuan, melek teknologi, dan berwawasan global. Keempat, mereka makmur dengan daya beli memadai, kemampuan berinvestasi cukup tinggi, dan memiliki jiwa memberi (zakat dan sedekah) yang tinggi.

Yuswohady yang diwawancarai melalui telepon mengatakan, hadirnya GenM menciptakan perubahan besar di pasar. Hal ini disebabkan bukan saja karena jumlah mereka yang cukup signifikan, tapi juga karena kelas menengah GenM makin kaya, makin pintar, dan makin religius. “Makin religius artinya seluruh aspek kehidupannya harus patuh dengan ajaran Al Quran dan hadis,” tutur dia.

Imbas dari semua ini, semakin banyak GenM yang dalam pengambilan keputusan pembelian memerhatikan apakah produk/jasa yang akan mereka beli sesuai dengan ajaran agama. “Contohnya kosmetik, dulu konsumen tidak memerhatikan faktor halal. Tapi sejak tahun 2010, kecenderungan konsumen memandang compliance produk dengan nilai-nilai Islam semakin penting,” imbuhnya.

Karena mereka berupaya merealisasikan ajaran agama dalam setiap aspek kehidupan, termasuk mengonsumsi produk, maka beranggapan aktivitas konsumsi merupakan bagian dari ibadah. Mereka tidak puas hanya mengejar value functional dan value emotional dari produk/jasa, namun mencari value baru, yakni spiritual value. Nilai ini yang akan memandu mereka apakah sebuah produk/jasa sesuai dengan nilai-nilai spiritual. “Makanya sekarang muncul Wardah dan menjadi market leader di pasar kosmetik,” jelas Yuswohady.

Dia pun mengatakan, segmen GenM akan melahirkan tiga gelombang revolusi. Pertama, Revolusi 1.0 tahun 2010, yang dipelopori oleh produk hijab dan kosmetik. Kedua, Revolusi 2.0 yang diprediksi akan terjadi tahun 2020. “Mengapa terjadi di tahun itu? Karena tahun 2019, jaminan produk halal diperkirakan akan diberlakukan, semua makanan dan obat-obatan yang beredar di Indonesia harus halal,” ungkapnya.

Ketiga, Revolusi 3.0 yang akan menimpa sektor keuangan. Namun, Revolusi 3.0 masih sulit diprediksi kapan akan terjadi, karena konsep bank syariah sifatnya abstrak atau intangible. Masih sulit menggiring konsumen muslim agar beralih dari bank konvensional ke bank syariah.

“Kalau nanti semua komunitas muslim Indonesia takut riba, akan tercipta revolusi keuangan syariah yang luar biasa, karena akan mengubah pasar mainstream keuangan. Ini bisa terjadi jika BCA kalah dari Bank Muamalat. Tapi ini masih sulit, saya ramalkan tahun 2050 belum tentu terjadi,” ungkap Yuswohady.

Dia mengingatkan, jika nanti revolusi keuangan syariah benar-benar terjadi, hal ini bukan lantaran peran ustadz atau MUI (Majelis Ulama Indonesia), namun terjadi secara peer to peer. Konsumen muslim sendiri yang akan saling mengedukasi. “Ini sudah terjadi ketika revolusi hijab, yang terjadi secara peer to peer di media sosial melalui Facebook,” tutur dia.

Tony Burhanudin

MM.06.2017/W

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.