Memahami Digital Native (2)

Apa yang mendorong para digital native ini begitu menyukai Facebook atau Myspace? Jawaban yang pasti adalah karena mereka merasa terhubung, terkoneksi,dan memiliki perasaan untuk berbagi. Bila kemudian ditelusuri lebih dalam, ternyata ada satu perasaan yang mendasari kesukaan digital native terhadap mainan baru mereka, yaitu kontrol dan kebebasan. Para pengguna memiliki kekuasaan untuk membaca, melihat, memilih, menulis, mengirim dan melakukan sesuatu. Inilah “magic word” bagi kelompok digital native. Mereka merasa berkuasa.

Bagi mereka, dipaksa untuk membaca informasi adalah konsep yang kuno. Kebebasan dan kekuasaan haruslah di tangan mereka. Tidak mengherankan, kelompok digital native ini, mulai tidak nyaman dengan iklan di media cetak atau iklan di televisi. Mereka tidak memiliki banyak kontrol atau kebebasan untuk memilih. Mereka merasa tidak dilibatkan dalam membuat keputusan untuk menentukan, mana yang harus dilihat dan mana yang harus dibuang.

Dalam tulisan edisi lalu, saya sudah membahas dua dimensi dari digital native yang perlu diperhatikan oleh para marketer yang menjadikan segmen ini sebagai target pasarnya, yaitu identitas dan privacy. Digital native, yaitu kelompok yang saat belajar menulis sudah mengenal dunia internet atau yang saat ini berusia di bawah 24 tahun, memiliki karakter yang berbeda dengan digital immigrant dalam hal membangun identitas diri dan persepsi terhadap privacy.

Power Shift

Dimensi ketiga yang ingin saya bahas kali ini adalah masalah kontrol. Marketer harus benar-benar membuang jauh-jauh bahwa kontrol ada di tangan mereka. Media digital  yang berada di tangan mereka, baik komputer dengan internetnya atau handphone dengan fasilitas broadband, telah menjadikan mereka merasa menjadi raja atas informasi.

Anak-anak digital native ini sudah tidak tahan duduk mendengarkan gurunya lebih dari 30 menit. Tidak seperti digital immigrant yang siap duduk tenang selama 2 jam. Di era para digital immigrant masih kanak-kanak, mereka tidak punya pilihan. Tidak ada komputer di depan mereka. Tidak ada fasilitas internet yang menggoda dan tidak ada telepon genggam yang membuat tangan menjadi sibuk.

Kalau ingin membuat digital native tahan dan betah duduk selama 2 jam, sederhana, libatkan mereka untuk berpartisipasi. Kemudian, beri mereka kebebasan untuk melakukan pilihan. Sampaikan tujuan yang ingin dicapai dan dorong mereka untuk berpikir dan melakukan sesuatu sesuai tujuan. Guru atau siapa pun yang terbiasa memberikan komando, harus berubah menjadi fasilitator.

Web Generasi 2.0 di masa mendatang akan dicatat dalam sejarah sebagai teknologi yang telah mengubah karakter dari digital native ini. Pertama kali diperkenalkan tahun 2004, pengaruh Web 2.0 ini sungguh tidak terbendung. Implikasinya sangat luas dan seakan-akan sebuah kekuatan yang memberikan kekuasaan baru bagi digital native untuk melakukan banyak hal.

Ketika saya bersama dengan profesor Eko Indrajit menggelar seminar dengan tema “Digital Marketing”, seorang peserta menanyakan bagaimana menangani komplain yang kemudian mereka tulis di internet, baik melalui blog mereka atau melalui situs yang menyediakan tempat bagi mereka. Inilah yang akan menjadi problem bagi perusahaan yang tidak siap.

Kebebasan dan perasaan mereka berkuasa inilah yang membuat digital native akan sangat cepat mengkritik dan menyampaikan keluhan. Inilah kisah di Amerika. Seorang anak muda yang baru saja membeli iPod menemukan problem di iPod yang dia beli. Lantas, dia pergi ke toko di mana dia membeli. Karena tidak direspons dengan baik, maka kemudian dia menulis surat pribadi ke Steve Jobs dan sekaligus di blognya. Keberanian menuliskan surat ke Steve Jobs, menarik perhatian kawan-kawan dan media lainnnya. Apa yang terjadi? Akhirnya, sebuah masalah kecil ini telah menyebar ke ribuan situs dan blog dan telah dibaca oeh jutaan pelanggan iPod. Karena peristiwa ini, Apple Inc akhirnya memutuskan untuk memperpanjang garansi dari produk ini lebih lama.

Cerita di atas akan menjadi hal yang sangat umum di masa mendatang untuk produk-produk yang mentargetkan digital native. Prinsip umum dari penyelesaian komplain tetap berlaku. Selesaikan secara cepat dan tuntas bila tidak ingin menyebar. Hanya saja, di era digital, hal ini haruslah dilakukan dengan benar-benar lebih cepat. Selain itu, perusahaan haruslah memang sudah siap untuk menangani hal ini. Mereka harus sudah terbiasa berkomunikasi di dunia digital dan memiliki sistem. Bila semua ini tertangani dengan baik, maka justru komplain-komplain seperti ini bisa menjadi PR yang efektif. Oleh karena itu, di era digital ini, sebuah masalah kecil bisa dengan cepat menjadi masalah besar atau justru sebaliknya menjadi bagian PR yang efektif.

Learning

Dimensi keempat dari digital native yang perlu diperhatikan adalah mengenai proses perilaku belajar. Mereka memiliki proses belajar yang sangat berbeda dengan digital immigrant. Misalnya, banyak di antara mereka, walau sudah menginjak usia 15 tahun, tidak membaca koran. Mereka merasa tidak memerlukannya. Mereka tahu bahwa apa yang ada di koran, dengan mudah mereka peroleh di situs berita atau koran digital. Tidak mengherankan, banyak orangtua merasa bingung, bagaimana anak-anak digital native ini dapat mengikuti dan belajar mengenai apa yang terjadi di dunia atau pengetahuan populer lainnya.

Digital native sangat akrab dengan Wikipedia. Mereka mulai memercayakan keingintahuan mereka dengan membaca Wikipedia terlebih dahulu. Bila kemudian ingin mengetahui sesuatu lebih mendalam, maka mereka akan mencari situs lain. Search engine merupakan perpustakaan penting bagi mereka.

Tidak mengherankan, pemenang dalam era digital ini adalah search engine. Mereka terbukti mampu menyerap hampir 50% dari total iklan di industri internet. Google adalah rajanya. Di masa mendatang, sangat mungkin akan bertebaran search engine yang menawarkan cara-cara mencari informasi yang lebih spesifik untuk memenuhi kebutuhan digital native ini. Misalnya, mereka akan menyukai social search. Beberapa yang sudah mulai muncul adalah bessed.com atau chacha.com. Inilah search engine yang menggaungkan antara pencarian informasi dan sekaligus sosialisasi. Anda bisa memberikan komentar mengenai informasi tertentu, memberikan penilaian, dan kemudian dapat diakses oleh orang lain yang ingin mencari informasi tentang topik yang sama.

Digital native memiliki kemampuan belajar yang lebih cepat. Tidak mengherankan, penetrasi produk baru yang ditargetkan untuk mereka akan jauh lebih cepat. Biaya edukasi yang sangat mahal, terutama untuk produk-produk yang berteknologi tinggi, akan terkikis. Di masa lalu, begitu sulitnya sebuah bank untuk mengajarkan mengenai penggunaan ATM. Dibutuhkan hampir 10 tahun untuk membuat mesin ini digunakan oleh 25% dari nasabah. Demikian pula, SMS banking dan internet banking memerlukan waktu yang lama untuk melakukan penetrasi kepada nasabah digital immigrant. Sayangnya, hari ini, kelompok digital native ini belum memiliki uang. Yang paling dewasa adalah mereka yang baru saja lulus sarjana dan baru mulai bekerja.

Di masa lalu, pilihan untuk menjadi pionir atau yang pertama kali meluncurkan produknya di pasar terlebih dahulu, bukanlah pilihan yang menarik—terutama untuk produk high tech. Lebih baik menunggu hingga pasar siap untuk menghindari biaya edukasi yang tinggi. Di masa mendatang, pilihan untuk menjadi pionir semakin menarik bagi perusahaan yang mentargetkan produknya untuk kelompok digital native.

Esensi dari marketing tidak berubah. Bila ingin sukses, marketer harus mengetahui sikap dan perilaku konsumen. Di era digital ini, di mana konsumen semakin berkuasa, maka semua strategi yang tidak berpihak kepada konsumen akan semakin tidak memiliki ruang gerak. Pilihan ada di tangan kita. Celakalah kalau kita menggunakan cara-cara lama, yang tradisional dan kuno, untuk membidik digital native. Pilihan ada di tangan marketer. (www.marketing.co.id)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.