Menjaga Citra Merek

Darmadi_DuriantoMarketing.co.id – Deretan calon pembeli iPhone 5 tampak luar biasa padat. Tidak sampai dua hari, dua operator besar, yaitu Telkomsel dan Indosat, mampu menjual 2.300 unit. Bahkan, teman saya yang seorang pengusaha besar rela terbang ke Singapura hanya untuk membeli iPhone 5 di sana.

Orang-orang berlomba membeli hanya untuk menjadi pembeli yang pertama. Mereka merasa sangat bergengsi bisa mendapatkan produk tersebut dan berlomba untuk memperlihatkannya ke kolega, teman, atau keluarga.

Mereka membeli “brand”, bukan karena fitur atau kegunaannya. Menurut Dick & Basu, salah satu konsekuensi merek yang memiliki citra dan loyalitas yang tinggi adalah conspicuous consumption atau berusaha memperlihatkan kepada orang lain produk yang dipakai atau dikonsumsi.

Belakangan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadapi banyak serangan dari lawan-lawan politiknya. Terlebih setelah kasus dugaan korupsi yang melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat, partai yang didirikan SBY. Kasus itu langsung membalikkan citra partai antikorupsi.

Tersangkutnya juga beberapa politisi partai Demokrat atas dugaan korupsi dan dijadikannya mereka sebagai tersangka oleh KPK membuat citra SBY semakin dipertanyakan oleh masyarakat—terutama menyangkut pemberantasan korupsi. Elektabilitas partai Demokrat pun sepertinya menurun drastis.

citra_MerekDari situ bisa disarikan bahwa membangun citra merek tidak bisa sekadar bermodal segmentation, target market, dan positioning. Membangun merek mestinya diawali dengan mempelajari situasi dan lingkungan bisnis. Termasuk melakukan analisis terhadap kondisi internal perusahaan. Istilah kerennya, harus menggali customer insight, competition insight, dan company insight.

Sebelum wafat pada 5 Oktober 2011, Steve Jobs sudah menyusun rencana pengangkatan Tim Cook menjadi CEO Apple. Dia adalah orang kepercayaan dan merupakan deputi kepercayaan Steve Jobs. Sampai saat ini, Tim Cook berhasil menjaga citra Apple. Selama 16 bulan pertama Cook menjabat, harga saham sudah naik 43%. Dalam menjaga citranya, Apple terus fokus membuat produk terbaik di dunia dan fokus memperkaya kehidupan orang.

Orientasi Sikap Konsumen

Banyak pebisnis atau pemasar yang salah memahami kunci keberhasilan membangun citra merek. Dalam bayangan banyak orang, positioning yang “di atas” sudah pasti mengerek merek naik di atas citra para pesaingnya.

Bermain di harga murah bukan dosa, tetapi jika sampai merek terkesan murahan, itu baru dianggap berbuat dosa di pemasaran. Jika memasang harga murah, berarti Anda masuk dalam low cost market. Maka strateginya, jelas Anda harus menjalankan operational excellent-nya Michael Treacy dan Fred Wiersema. Anda tetap harus melakukan investasi merek walaupun harga jualnya murah, supaya tidak menjadi murahan, sehingga sikap konsumen tetap positif.

Contoh merek yang sukses membangun citranya justru karena bermain dengan harga murah adalah maskapai dari Malaysia yang “dipiloti” Tony Fernandes. AirAsia sukses berkembang ke seantero dunia berkat harga murah, namun tidak menyediakan armada yang murahan. Tarif Tune Hotels miliknya pun dipatok di bawah harga pasar, tapi tidak terlihat rugi.

Salah satu kunci sukses Tony Fernandes adalah selalu belajar, mengakui kesalahan dan tidak melempar kesalahan kepada orang lain. Langkah-langkah AirAsia justru menaikkan sikap konsumen, baik cognitive (kepercayaan), affective (kesukaan), maupun conative (niat pembelian) dari konsumen tetap meningkat.

Lembaga pemeringkat Fitch Rating menurunkan rating dua produsen elektronik jepang yang sedang menderita rugi besar ke level junk. Peringkat tersebut menunjukkan surat utang terbitan Sony maupun Panasonic tak layak investasi. Fitch juga menurunkan utang Sharp Corp ke level yang sama. Peringkat Sony juga dipangkas tiga level sekaligus ke BB-, tiga langkah lebih rendah dari patokan layak investasi. Surat utang Panasonic diturunkan dua level ke BB.

Salah satu faktor yang membuat tiga perusahaan tersebut merana adalah kegagalan menjaga citra merek sebagai product leadership, tetapi sudah masuk dalam kategori price player.

Margin LCD/LED yang sumbangsihnya sangat besar dalam pencapaian penjualan ternyata sudah minus margin. Sony menanggung utang kotor sebesar 1,25 triliun yen per September. Selama empat tahun terakhir Sony mencatat rugi 15,5 miliar yen (US$188 juta) pada kuartal dua yang berakhir 30 September lalu. Panasonic diperkirakan merugi 765 miliar yen pada akhir Maret 2013. Saham Sony, Panasonic, dan Sharp tenggelam ke level terendah. Bandingkan dengan Samsung dan Apple yang berhasil menjaga citra mereknya sebagai product leadership dan tidak terjebak dalam price player yang cenderung menggerus margin perusahaan. Jadi, Sharp, Sony, dan Panasonic terjebak dalam price player bukan consumer attitude orientation.

Jadi, sekali lagi, membangun citra merek mesti diawali dengan analisis lingkungan bisnis yang jitu dan harus mau mengakui jika terdapat kesalahan strategi. Karena jika selalu menyalahkan pihak lain—misalnya pesaing atau konsumen yang rewel—tanpa mau introspeksi diri, hampir dipastikan lambat laun perusahaan akan runtuh. Harus selalu berorientasi pada peningkatan sikap konsumen terhadap merek Anda.

Jika Anda sudah menuai banyak, maka harus terus-menerus menabur. Ingatlah kutipan John F. Kennedy, “To whom much is given, much is expected.”

1 COMMENT

  1. Kondisi seperti ini telah memberi peluang bagi para pelaku usaha untuk memuaskan hasrat konsumen dengan menawarkan barang “asli tapi palsu“ atas suatu merek terkenal atau merek-merek yang hanya mirip. Sudah pasti harga barang dengan merek yang demikian sangat miring, dan seringkali memang disesuaikan dengan kondisi kantong segmen konsumen yang mempunyai kecenderungan demikian, kendati ada juga yang menjual lebih mahal agar kelihatan lebih bergengsi. Akhirnya terjadilah titik temu antara permintaan dengan penawaran. Konsumen yang sangat gandrung dan mengutamakan faktor gengsi, memperoleh kepuasan karena berhasil menikmati barang-barang dengan merek terkenal, atau mirip (kendati palsu/cuma serupa). Sedangkan para pelaku usaha yang memanfaatkan keadaan tersebut mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit dengan begitu mudahnya, dengan membonceng (passing of) pada merek terkenal. Sementara dipihak lain, pemilik merek asli harus menerima kerugian yang sangat besar. Padahal pemilik merek inilah yang bekerja keras membangun citra (reputasi) merek itu, tetapi orang lain menikmatinya tanpa susah payah. Selain itu juga sangat banyak konsumen yang tertipu dengan membeli barang dengan merek terkenal yang ternyata telah dipalsukan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.