Raja Bimbel dari Palembang

Merangsek pasar dari Tanah Jawa ke skala nasional itu sudah biasa. Tetapi, Super Bimbel GSC asal Palembang tampaknya bakal membalikkan kebiasaan itu. 

Sejatinya mengembangkan bisnis yang bermuara di seberang Pulau Jawa tentu tidak mudah. Semua tahu bahwa pemain-pemain asal Tanah Jawa tampak andal dalam menaklukkan pasar seluruh negeri. Di dunia pendidikan, Primagama asal Yogyakarta dan Ganesha Operation asal Bandung, misalnya, telah dikenal luas sebagai lembaga pendidikan atau bimbingan belajar (bimbel) terkemuka.

Namun demikian, bukan berarti kesuksesan berbisnis bimbel semacam itu hanya milik mereka semata. Johannes Agus Taruna yang tercatat sebagai wong Palembang telah membuktikannya lewat Super Bimbel GSC. Bahkan, Johannes sukses mengusung bimbel besutannya ini menjadi market leader di Sumatera Selatan.

Untuk diketahui, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, sejak 2005, siswa yang belajar di Super Bimbel GSC mencapai 3.000 orang. Tentu saja jumlah itu cukup fantastis di provinsi tersebut. Tidak hanya itu, di setiap tahun ajaran baru, lebih dari 80% siswanya diterima di perguruan tinggi negeri. Rasanya, prestasi itu masih sulit disalip oleh kompetitor di daratan Sungai Musi itu.

Mengapa Johannes bisa setangguh itu dalam menjalankan bisnis? Apa kunci kesuksesannya? Yang jelas, pria kelahiran Palembang, 9 Agustus 1976, ini mengaku kunci suksesnya ia dapatkan ketika masih berstatus mahasiswa. Di situlah Johannes merasakan tempaan hidup yang akhirnya berbuah keberhasilan.

Historinya, tahun 1995, ketika masih duduk di bangku kuliah, ia merintis usaha les privat. Itu pun dilakukan karena ayahnya kecelakaan akibat tabrak lari dan sempat koma di rumah sakit. Sebagai anak sulung, ia mendapatkan tanggung jawab untuk memikirkan kelangsungan hidup keluarga, termasuk kuliahnya dan adik-adiknya.

Sebelumnya Johannes sempat mencari-cari pekerjaan. Ia pun tidak malu membantu temannya berjualan di pasar. Tapi, benaknya tidak puas hanya sampai di situ. Setelah beberapa lama, terpikir olehnya untuk mengajar les privat.

“Setelah mengajar secara privat waktu itu, siswa saya yang pertama adalah siswa yang dikategorikan parah. Nilai rapornya merah semua dan juara satu dari belakang. Yang saya lakukan adalah mulai mengubah kebiasaan anak dari malas menjadi rajin dan tekun belajar,” katanya.

Setelah itu, kenang Johannes, sang siswa punya keinginan untuk belajar, dan ternyata di semester kedua dia masuk dalam tiga besar. Dari juara satu paling buncit menjadi tiga besar di kelas 2 SMP dan sekarang sudah kuliah strata dua.

Berkat dari perubahan drastis pada anak didik pertamanya bagaikan durian runtuh bagi Johannes. Apa yang ia lakukan diminati banyak orangtua. Karena orangtua anak itu bercerita kepada banyak orangtua lain tentang keberhasilan anaknya “keluar dari lubang jarum”.

Seiring waktu berjalan, siswa privatnya “membanjir” dan ia pernah memiliki penghasilan Rp 5 juta per bulan. Tetapi, godaan untuk menjajaki pekerjaan sebagai karyawan terus menghinggapinya. Setelah lulus sebagai Sarjana FMIPA Universitas Sriwijaya pada tahun 1996, ia kemudian bergabung dengan Bank Central Asia (BCA).

Meski sudah menjadi orang kantoran, ia tetap menyempatkan diri untuk mengajar les privat di waktu malam. Hobinya mengajar tidak bisa jauh darinya. Alasannya, yang dilakukan juga disenangi banyak orang dan bisa membuat banyak orang berhasil.

Ternyata, Johannes tak betah menyandang gelar karyawan. Selang tiga tahun ia memutuskan untuk keluar dari BCA dan bertekad mengembangkan bisnis bimbel. Dengan mengusung bendera PT Gema Sukses Cemerlang, bisnis itu ia namakan Super Bimbel GSC. GSC merupakan kependekan dari Gamaliel Science Center. Kata “Gamaliel” sendiri diperoleh dari pendetanya yang berarti upah dari Tuhan.

“Waktu itu saya mendapatkan spirit dari untuk memulai usaha baru saya dan saya minta nama. Nama yang dikasih ya itu, upah dari Tuhan. Dan, saya menyadari bahwa ini berjalan karena memang upah dari Tuhan,” tandas Johannes.

Tahun pertama pembukaan, anak didiknya langsung 300 siswa dan 80%-nya adalah anak nasabah BCA. Itu dirasakan Johannes karena hubungan baik dengan nasabah sebelumnya, hingga akhirnya menjadi market leader di Sumatera Selatan.

Pada tahun 2005, beberapa koleganya dari kota lain—seperti Padang, Pekanbaru, Makassar, dan Samarinda—memintanya untuk mewaralabakan (franchising) Super Bimbel GSC di kota-kota mereka. Sayangnya, Johannes belum paham bagaimana pengelolaan sistem tersebut hingga ia kemudian ia menyewa konsultan franchise.

Emotional Experience

Johannes berpendapat bahwa rasa puas di dalam bisnis pendidikan memiliki emotional experience yang sangat tinggi. Berbeda dengan bisnis yang lain, keberhasilan anak didiknya menjadi motivasi tersendiri dan itu memiliki kaitan emosi (emotional experience) bagi para pendidiknya.

Pertama, paparnya, karena memang bisnisnya memiliki filosofi good to great. Artinya, keinginan untuk selalu belajar menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Maka, sudah menjadi komitmen dari Super Bimbel GSC untuk memberikan yang terbaik kepada siswa-siswinya. Tiga hal yang paling ditekankan di sana adalah soal kejujuran, ketulusan, dan kedisiplinan. Siswa kelas 4 SD hingga 3 SMU yang belajar di bimbel ini harus disiplin, salah satunya tepat waktu.

“Mengapa kami mengajarkan nilai-nilai kedisiplinan? Karena kami ingin masa-masa mereka menjadi modal dasar untuk disiplin saat mereka dewasa dan bekerja nanti. Siswa yang terlambat masuk bimbel akan dikenai sanksi. Soal kejujuran juga sama, setiap 15-20 menit terakhir pertemuan mereka diberi soal dan tidak boleh menyontek,” ujar pria yang bermotto “hidup untuk melayani” ini.

Agar sukses membawa siswa berprestasi, sesuai visi bisnis perusahaan menjadi “Lembaga Pencetak Generasi Berprestasi”, ia mengaku betul-betul menerapkan sistem pembelajaran yang mendukung untuk sukses. Pertama, menyediakan fasilitas belajar yang setiap kelas tidak boleh lebih dari 20 siswa, full AC, dan melayani setiap waktu.

Maksudnya, jelas Johannes, apabila seorang siswa tidak dapat belajar pada jam seharusnya, ia bebas belajar dengan mentor-mentor kapan saja, baik  mengerjakan pekerjaan rumah, membahas ulangan harian, dan lain sebagainya. Kedua, mentor-mentornya masih muda dan berpengalaman serta mereka cukup peduli dengan siswa-siswinya. Bimbel ini mengupayakan tidak ada jarak antara mentor dan siswa.

Ketiga, ini yang termasuk unik, di dalam proses belajar mengajar akan diperagakan penggunaan tiga warna spidol: merah, biru, dan hitam. Merah berarti ilmu yang diajarkan itu amat penting, biru adalah mendasar, dan warna hitam memaknakan seorang siswa diharapkan mengerti langkah-langkahnya. Begitulah cara mentor-mentor di Super Bimbel GSC mengajarkan anak didiknya.

Bila ditilik dari indikator pertumbuhan merek, Super Bimbel GSC terus tumbuh menggembirakan dari tahun ke tahun. Saat ini merek ini telah memiliki 12 cabang di wilayah Sumatera Selatan dan 1 di Jambi, yakni 8 di Palembang, 5 lainnya tersebar di Lubuk Linggau, Baturaja, Sekayu, Prabumulih, dan Jambi.

Adapun yang dilakukan Johannes dalam mengomunikasikan mereknya adalah melaksanakan event unik. Misalnya, try out di hotel. Langkah ini tidak dimungkirinya sebagai upaya brand building. Juga, bekerja sama dengan Telkomsel, sehingga setiap siswa baru akan diberikan nomor telepon seluler gratis dengan beragam manfaat.

“Kalau tidak berbeda itu namanya bukan Super Bimbel GSC. Dan, terbukti sampai kini peminatnya banyak, padahal biayanya termasuk termahal dibanding kompetitor,” ujar Johannes yang mengaku biaya per paket (setahun) mencapai Rp 2 juta, sementara kompetitor hanya sekitar Rp 600.000-Rp 1,5 juta per tahun per siswa.

Ekspansi Merek

Setelah menjadi “raja bimbel” di Sumatera Selatan, permintaan akan waralaba mulai serius digarapnya sejak Agustus 2007. “Kalau bimbel dari Pulau Jawa merangsek ke daerah itu sudah biasa, tetapi bimbel daerah Sumatera Selatan itu baru Super Bimbel GSC ini,” tutur Johannes. Beberapa permintaan sudah diterimanya, antara lain dari Makassar, Samarinda, Denpasar, dan Jayapura.

Mengomentasi hal itu, pengamat waralaba Bije Widjajanto mengungkapkan bahwa dari mana pun asal bimbel itu tidak masalah. Merek waralaba dari daerah yang kemudian sukses di Ibu Kota juga banyak. Yang harus dipertimbangkan adalah merek atau produk itu harus memiliki nilai tambah (value added) yang berhubungan dengan bimbel itu sendiri.

“Intinya ialah harus memiliki kelebihan di bidang produk, metodologi, staf pengajar, dan delivery system-nya. Delivery system itu maksudnya harus ada yang dirasakan oleh siswa setelah mengikuti bimbel tersebut. Dan, memang bisnis bimbel semacam ini prospeknya cukup bagus,” tutur Bije yang juga pendiri Ben WarG Consulting ini.

Johannes sepaham dengan Bije. Sebab, pendidikan termasuk kebutuhan primer. Jadi, banyak orangtua yang menyadari bahwa pendidikan adalah satu hal yang penting. Maka, mereka mau spend money demi pendidikan anak-anaknya.

Untuk itu, berkaitan dengan waralabanya, bos yang telah mempekerjakan sekitar 150 staf ini mewajibkan franchisee membayar Rp 125 juta untuk lima tahun dan royalty fee 12% dari omzet bersih per tahunnya. Pewaralaba juga harus memiliki outlet standar, terdiri dari 5 ruang kelas; 1 ruang kepala outlet; 1 ruang kepala operasional; 1 ruang resepsionis; dan 1 lagi ruang logistik. Perkiraan investasi untuk satu outlet mencapai Rp 350 juta.

Pewaralaba akan mendapatkan bantuan promosi secara nasional. Saat ini Johannes mengaku menghabiskan dana sekitar Rp 500 juta per tahun untuk dana promosi, termasuk upaya jemput bola ke sekolah-sekolah dan talkshow di radio. Targetnya, lima tahun pertama menguasai Pulau Jawa, lima tahun berikutnya seluruh Indonesia. “Ini mimpi besar saya,” tegas Johannes.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.