Saat Reputasi Dikalahkan Sikap Inovatif

Merek elektronik Jepang yang dikenal dengan image kualitasnya mendapat persaingan keras dari elektronik Korea dan Tiongkok. Apakah budaya kerja yang membuat perusahaan Jepang sulit bersaing?

elektronik

Awal tahun ini kita dikejutkan dengan berita ditutupnya pabrik Toshiba di Cikarang, Jawa Barat. Pabrik yang ditutup ini merupakan pabrik terbesar di Indonesia yang memproduksi televisi. Berita itu tentu menjadi pukulan bagi pemerintah yang tengah berusaha membangun iklim investasi yang kondusif. Di sisi lain, penutupan tersebut berarti akan menciptakan PHK.

Jika mencermati pernyataan Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawiyawan, penutupan pabrik Toshiba tidak mencerminkan iklim investasi elektronik di Indonesia. Seperti dikutip dari laman BeritaSatu.com, Putu mengungkapkan tahun ini tren industri elektronik justru meningkat, sehingga investasi kemungkinan akan bertambah. Menurut dia, industri elektronik sangat bergantung pada teknologi dan permintaan yang selalu berubah, sehingga akan memengaruhi produksi.

Putu memberi contoh teknologi walkman yang sudah ditinggalkan, karena ditemukannya inovasi pemutar musik yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Putu mengatakan, perubahan teknologi dan permintaan harus disiasati secara tepat. Industri harus siap akan perubahan itu. Jika tidak, maka akan digilas oleh perubahan.

Kita memang tidak boleh gegabah mengatakan elektronik Jepang tengah memasuki senjakala. Tapi, faktanya produsen elektronik Jepang saat ini menghadapi tekanan persaingan yang begitu dahsyat, terutama dari perusahaan Korea seperti LG dan Samsung.

Salah satu penyebab sulitnya elektronik Jepang bersaing karena budaya kerja perusahaan Jepang yang tidak sesuai lagi dengan era informasi. Herry Tjahjono, Terapis Budaya Perusahaan, dalam artikelnya mengutip konsep Harmonic Culture Error. Ia menjelaskan dalam era digital, kecepatan merupakan kunci penting (Kompas, 10/2/16).

Dia mengatakan raksasa elektronik Jepang seperti Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba, dan Sanyo sulit bersaing karena masih menjunjung budaya kerja konsensus dan harmoni. Budaya kerja ini tidak cocok dengan kondisi persaingan saat ini yang menuntut kecepatan dalam pengambilan keputusan, termasuk peluncuran produk baru.

Ini rupanya yang membuat raksasa elektronik Jepang yang sebelumnya perkasa menjadi kedodoran menghadapi serbuan dari elektronik Korea (Samsung dan LG). “Mereka datang bak predator. Belum lagi serbuan produk elektronik Tiongkok yang menghajar dengan harga murah,” tulis Herry.

Menurut Herry, budaya kerja serba harmonis dan konsensus membutuhkan waktu lama untuk mengambil keputusan tentang produk yang akan diluncurkan. Dan ketika rapat usai, produsen lain (Korea dan LG) sudah lebih dulu meluncurkan produknya.

Berani Ambil Risiko

Apa yang disampaikan Herry sesuai dengan fakta di lapangan. Beberapa waktu lalu, MARKETING mewawancarai Budi Setiawan, Sales Director PT LG Electronics Indonesia. Dia mengatakan salah satu ciri khas perusahaan Korea yakni cepat mengambil keputusan. Ciri khas lain, perusahaan Korea berani mengambil risiko. Jika perusahaan Korea melihat peluang dan tantangan kondisinya fifty-fifty, maka perusahaan Korea akan jalan terus.

Pendapat senada disampaikan Budi P. Kartono, Marketing & Brand Consultant. Menurut dia, kebanyakan perusahaan Jepang yang sudah matang dan berumur biasanya menghadapi “cultural lock-in” yang ditandai dengan sikap hati-hati dan menurunnya kreativitas.

“Sistem ‘senioritas’ di korporasi Jepang juga menghambat generasi muda untuk berkembang dan menghasilkan ide baru,” tutur Budi seperti tertulis dalam surat elektronik yang dikirim ke Redaksi MARKETING.

Saat ini peta persaingan industri elektronik memang sedang mengalami pergeseran, dari Jepang yang dulunya sebagai pemimpin pasar beralih ke Korea. Sedangkan Tiongkok masih membutuhkan waktu untuk merebut pangsa pasar elektronik dari Jepang maupun Korea.

Budi menegaskan, elektronik Jepang masih setia dengan positioning pada mutu/kualitas produk dengan harga kompetitif. Sedangkan Korea lebih memilih positioning pada inovasi dan desain. “Tiongkok mulai meninggalkan image sebagai merek dengan harga murah dan mulai meningkatkan kualitas,” tutur dia.

Korea berhasil menggeser kedudukan Jepang yang memiliki kekuatan brand image dan reputasi baik. Keberhasilan Korea menggeser Jepang karena jeli melihat perubahan dari teknologi analog ke digital. Sony sebenarnya sudah menyadari perubahan ini, namun terlambat melakukan “creative destruction” untuk transisi ke teknologi digital.

Dari sisi inovasi, merek Korea juga lebih unggul dibandingkan merek Jepang. Tahun lalu, Samsung mendaftarkan paten sebanyak 5.072 dan mendapatkan posisi nomor 2 terbanyak di bawah IBM. Sedangkan Toshiba dan Sony di posisi nomor 6 dan 7. “Merek Tiongkok masih belum terlihat di posisi top 10 paten terbanyak. Di industri semi konduktor, Samsung juga memimpin dalam penjualan di posisi nomor 2 dunia setelah Intel dari AS,” jelas Budi.

Selain faktor desain, yang menentukan keberhasilan merek elektronik Korea di Indonesia, tidak bisa dikesampingkan peran demam “Korean Wave” di seluruh dunia. Budaya pop Korea dalam bentuk musik K-Pop, fashion, komik dan kartun, video game, Koreanovela, dan film membuat merek-merek Korea menjadi bagian dari gaya hidup dan terlihat “cool”.

Budi memprediksi seiring meredupnya merek elektronik Jepang, Korea akan memperoleh keuntungan paling besar. Merek-merek Korea akan menikmati peningkatan market share paling besar, sedangkan merek Tiongkok akan mengalami sedikit peningkatan.

Hanya saja dia mengingatkan, untuk berhasil di pasar elektronik, strategi harga murah bukanlah obat mujarab. Menurutnya, strategi harga murah adalah strategi paling buruk bagi organisasi mana pun. Tiongkok sudah mulai menyadari hal ini. Beberapa merek seperti Haier, Huawei, dan Lenovo sudah mengutamakan mutu dan kualitas di atas harga.

“Perusahaan elektronik Haier bahkan sudah menjadi global brand dengan mematok harga premium. Tahun 2010, majalah Fast Company menempatkan Huawei di peringkat ke-5 sebagai perusahaan paling inovatif sedunia,” bebernya.

Tiongkok memang tidak bisa diremehkan lagi. Menurut Gregory C. Chow dalam bukunya Memahami Dahsyatnya Ekonomi China, ada tiga faktor penyebab kebangkitan ekonomi Tiongkok.

Pertama, sumber daya manusia berkualitas tinggi (keterampilan dan etika kerja para buruh serta kecerdasan dan kecerdikan para pengusaha).

Kedua, adanya seperangkat institusi pasar yang berfungsi. Institusi pasar memungkinkan orang-orang yang berbakat untuk memperbaiki diri mereka sendiri dengan bekerja keras, sehingga mereka dapat meningkatkan kekayaan mereka dan meningkatkan kekayaan masyarakat. Ketiga, keberhasilan Tiongkok sebagai negara berkembang dalam mengejar kesenjangan teknologi dengan negara-negara paling maju sekalipun.

Tony Burhanudin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.