Seratus Persen CRM

Tulisan ini merupakan rangkuman dari seminar Frontier Marketing Club bulan yang lalu. Dalam seminar tersebut, saya ingin memberikan jawaban atas dua pertanyaan besar, kapan perusahaan harus mulai CRM? Kapan perusahaan berani menerapkan 100 persen strategi pertumbuhannya dengan CRM saja? Dua hal ini ternyata memang menjadi pertanyaan dari sebagian perusahaan yang sadar akan pentingnya menerapkan strategi CRM.

Sekadar untuk mengingatkan Anda pembaca MARKETING, prinsipnya, hanya terdapat tiga pilihan strategi bagi perusahaan untuk bertumbuh. Pertama, perusahaan harus mencari pelanggan baru untuk bertumbuh. Apalagi, untuk perusahaan baru atau perusahaan yang berada di dalam industri yang masuk dalam fase pertumbuhan, kesempatan untuk bertumbuh melalui pelanggan baru sungguh besar. Perusahaan tidak boleh kehilangan kesempatan untuk mencari pelanggan baru pada situasi seperti ini. Keterlambatan untuk mencari pelanggan baru akan menjadi biaya mahal di kemudian hari. Ini bisa dilihat dari beberapa operator seluler yang baru masuk belakangan. Mereka harus membayar mahal untuk akuisisi pelanggan baru.

Kedua, perusahaan kemudian mulai melakukan retensi terhadap pelanggannya. Mereka diharapkan membeli produk atau menggunakan pelayanan kembali. Akan lebih baik bila mereka menjadi pelanggan yang lebih aktif. Artinya, mereka akan membeli produk tersebut lebih banyak lagi. Mereka diharapkan untuk menyebarkan word of mouth yang positif dan mereferensikan produk atau layanan yang mereka gunakan kepada prospek yang lain.

Pilihan ketiga adalah dengan menggunakan add-on selling, termasuk dalam hal ini adalah cross-selling. Kita bisa menjual produk B, C, dan seterusnya kepada pelanggan yang sudah sudah membeli produk A. Kita bisa menawarkan fitur baru kepada pelanggan kita. Tidak mengherankan, dalam konteks ini, perusahaan harus inovatif. Mereka perlu menciptakan fitur baru atau menciptakan produk dan layanan baru agar tidak kehilangan kesempatan untuk bertumbuh.

Dalam konteks ketiga strategi tersebut, perusahaan yang menerapkan CRM akan bertumpu pada strategi kedua dan ketiga. Mereka memilih untuk mengandalkan pertumbuhan dari pelanggan yang sudah ada. Jadi, perusahaan yang mengandalkan 100 persen strategi CRM tetap konsisten dengan strategi pertumbuhan pilihan kedua dan ketiga. Pertumbuhan dari pelanggan baru hanya bertumpu pada word of mouth dan referral dari para pelanggannya.

Dengan pengertian seperti ini, perusahaan sebenarnya dapat menerapkan strategi CRM, mulai dari 0–100 persen. Perusahaan benar-benar dikatakan tidak memiliki strategi CRM saat seluruh sumber daya manusia dan upaya difokuskan untuk mencari pelanggan baru, atau pilihan strategi yang pertama. Biasanya, saat pertumbuhan melalui strategi CRM sudah mencapai 50 persen, perusahaan sudah mulai memikirkan struktur organisasi yang memang menunjukkan arah strategi ini. Mereka mungkin memiliki manajer, GM, atau bahkan seorang direksi yang fokus kepada CRM. Mereka biasa disebut CRM manager, retention manager, account manager, atau relationship manager. Jabatan ini bisa ditingkatkan ke tingkat direksi bila CRM sudah dominan.

Tidak pelak lagi, dalam 10 tahun terakhir ini, kecepatan perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk mengadopsi strategi CRM sangat cepat. Perusahaan kemudian membuat perubahan strategi pertumbuhan dan semakin fokus pada pelanggan yang sudah ada. Industri perbankan misalnya, lebih dari 50 persen sumber daya dan alokasi resources lainnya ditujukan kepada pelanggan yang sudah ada dalam database mereka.

Bila strategi CRM masih di bawah 50 persen, perusahaan lebih memilih untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan terlebih dahulu. Demikian juga, mereka bisa terus memulai dengan memperbaiki database yang sudah ada. Bila suatu saat CRM sudah dominan, mereka sudah memiliki kemampuan dan berada pada posisi yang siap untuk mengimplementasikannya. Jadi, intinya, persiapan CRM terutama pengembangan database, telah dapat dimulai saat perusahaan sudah mempunyai pelanggan.

Kapan 100 Persen CRM?

Lalu, untuk pertanyaan kedua, kapan perusahaan benar-benar berani memilih CRM sebagai 100 persen strategi pertumbuhan—atau paling tidak—CRM sebagai strategi yang sangat dominan untuk memacu pertumbuhan perusahaan? Ada tiga kriteria besar untuk  memberikan jawaban ini.

Pertama, perusahaan harus menjadikan CRM sebagai strategi yang dominan saat biaya untuk mencari pelanggan baru sudah sama, atau lebih besar dari nilai pelanggan baru yang diakuisisi. Ini jawaban yang bersifat kuantitatif dan perusahaan sudah benar-benar harus melakukan perhitungan. Untuk biaya akuisisi, relatif mudah. Yang dapat Anda lakukan adalah menjumlahkan semua bujet yang difokuskan untuk mencari pelanggan baru. Semua biaya promosi atau tenaga penjualan yang difokuskan untuk mencari pelanggan baru, dapat dijumlahkan. Misalnya, perusahaan dapat menjumlah semua biaya ini mulai dari Januari hingga bulan Desember, atau selama satu tahun. Setelah itu, dihitung berapa jumlah pelanggan yang diperoleh selama kurun waktu tersebut. Jumlah biaya dibagi dengan jumlah pelanggan yang diperoleh, adalah biaya akuisisi per pelanggan.

Bagaimana menghitung nilai pelanggan baru? Salah satu rumus yang sederhana adalah dengan menggunakan customer lifetime value (CLV). Pada tahun yang lalu, saya pernah berbagi, di kolom yang sama, bagaimana menghitung CLV dari nilai pelanggan baru. Salah satu formula sederhananya adalah CLV = m (r / 1 + i – r) di mana “m” adalah net margin per pelanggan untuk periode tertentu, “i” adalah discounting rate untuk memperoleh present value. CLV pada dasarnya adalah nilai pelanggan hari ini, sedangkan margin yang diperoleh oleh perusahaan adalah di masa mendatang. Jadi, diperlukan i untuk membuat perhitungan present value. Paramater r adalah retention rate, yaitu, berapa persen pelanggan yang dapat diretensi selama periode tertentu.

Misalkan saja, perusahaan Anda memiliki 100 ribu pelanggan di awal bulan Januari 2010. Kemudian, pada akhir Desember, dari 100 ribu pelanggan ini, ternyata 90 ribu yang bertahan. Artinya, nilai r atau retention rate adalah 90 persen. Asumsikan, dari perhitungan yang Anda lakukan, net margin yang diperoleh selama satu tahun untuk per pelanggan adalah Rp 100 ribu. Ini adalah semua revenue per pelanggan dikurangi semua biaya per pelanggan. Nilai i atau besarnya discouting rate, dapat dipilih antara bunga deposito atau bunga pinjaman komersial. Asumsikan saja, nilai i adalah 10 persen.

Dengan nilai-nilai di atas, maka CLV adalah = Rp 100.000 (0.9 / 1 + 0.1 – 0.9) atau Rp 450.000. Nah, kemudian bandingkan dengan biaya akuisisi. Bila biaya akuisisi ternyata sudah lebih besar dari Rp 450.000, ini merupakan sinyal yang kuat bahwa perusahaan Anda akan lebih baik untuk meningkatkan strategi CRM. Persentase strategi CRM yang dipilih tergantung dari perhitungan-perhitungan selanjutnya.

Misalnya, perusahaan sudah mulai menggunakan strategi CRM 80 persen dan akuisisi pelanggan baru 20 persen. Dalam hal ini, perusahaan sudah mulai selektif mencari pelanggan baru. Biasanya, CLV akan naik dan biaya akuisisi akan turun karena sudah mulai selektif memilih pelanggan baru. Bila ternyata perhitungan masih menunjukkan biaya akuisisi tetap lebih besar, maka sangat bijak kalau strategi CRM semakin dominan lagi. Mudah-mudahan, logika sederhana ini membantu perusahaan Anda untuk merumuskan kesimpulan strategi ini.

Kriteria kedua adalah bila biaya akuisisi lebih tinggi dari kesempatan untuk add-on selling, maka strategi CRM perlu ditingkatkan intensitasnya. Hampir sama dengan kriteria pertama, kita perlu menghitung biaya akuisisi. Yang kedua, kita menghitung berapa pertumbuhan keuntungan yang dapat diperoleh bila perusahaan melakukan add-on selling. Bila dihubungkan dengan CLV, berarti Anda harus menghitung berapa penambahan CLV sebagai akibat dari keberhasilan add-on atau cross-selling. Bila ternyata lebih besar dari biaya akuisisi, maka tampaknya pilihan untuk memperbesar intensitas CRM akan menjadi  pilihan yang lebih efektif.

Pengalaman saya sebagai konsultan dalam bidang CRM, kriteria kedua ini sering banyak tidak serius diperhatikan. Padahal, perusahaan memiliki kesempatan untuk melakukan add-on selling yang besar, tetapi kemudian tidak berhasil dilakukan karena energi dan fokusnya adalah untuk mencari pelanggan baru.

Kriteria ketiga berhubungan dengan tingkat kesiapan melakukan CRM. Dan inilah situasi yang sering dihadapi oleh perusahaan. Strategi CRM seharusnya sudah dominan. Misalnya, mencapai 80 persen, tetapi perusahaan kemudian menggeser CRM menjadi 50 persen dan sisanya tetap bertumpu pada tim penjualan untuk mencari pelanggan baru. Ini terjadi karena perusahaan tidak siap dengan sumber daya manusia, proses interaksi, dan teknologinya. Perusahaan ini terlambat mempersiapkan CRM. Apalagi, bila customer database masih sangat tidak siap, maka CRM menjadi mundur atau harus ditunda. Memang, tidak ada pilihan selain menunda intensitas CRM dalam kondisi ini.  Maka sangat bijak, pada saat perusahaan masih fokus ke pelanggan baru, persiapan CRM, seperti pengembangan customer database dan segmentasi pelanggan, haruslah sudah dimulai. CRM, karena merupakan strategi, selalu membutuhkan perspektif jangka panjang supaya berhasil dalam implementasinya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.