Social Media Policy

HRD Director di perusahaan-perusahaan global sudah mulai disibukkan dengan hal yang baru. Mereka tiba-tiba saja harus berhadapan dengan situasi yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka. Ratusan dan ribuan karyawannya, setiap hari menggunakan sebagian waktunya untuk on-line, baik di seluler maupun laptop mereka. Mereka asyik terlibat dalam komunikasi jejaring sosial.

Dampak dari aktivitas ini tidak kecil. Pertama, produktivitas karyawan jadi menurun. Mereka menggunakan sebagian jam kantor untuk menyalurkan keinginan mereka berhubungan dengan kawan-kawan dalam jaringan mereka, baik Facebook, Twitter, YouTube, atau social media lainnya. Apalagi mengingat perilaku orang Indonesia yang sangat getol dengan gadget mereka. Konon, rata-rata setiap 7 menit orang akan menatap layar selulernya. Bayangkan, bila 10% waktu digunakan untuk aktivitas ini, maka produktivitas bisa mengalami penurunan yang signifikan.

Kedua—dan yang lebih penting, adalah apa yang ditulis oleh karyawannya. Bagaimana kalau mereka menulis sesuatu yang buruk mengenai perusahaannya? Mengenai atasannya? Mengenai pekerjaannya yang membosankan? Tidak jarang, kita lihat banyak konten dalam social media yang berisi hal-hal seperti ini. “Baru banyak pekerjaan di kantor”, “Atasan saya baru mempunyai mood yang jelek”, “Semakin membosankan pekerjaan dan tidak sabar menunggu akhir pekan”, “Rasanya malas benar hari ini. Mau istirahat lah!”

Mungkin banyak staf kita yang tidak sadar terhadap dampaknya. Bahwa yang mereka tulis dalam bentuk negatif bisa memengaruhi reputasi perusahaan. Mungkin sebagian tidak tahu dan tidak sadar bahwa setiap yang mereka tulis bisa dilihat dan dibaca oleh orang di seluruh dunia. Lalu, bagaimana kalau perusahaan sudah memiliki jumlah karyawan ribuan atau bahkan puluhan ribu? Bagaimana kalau karyawan ini tersebar di banyak negara dan banyak kota di tiap negara?

Dua hal di atas akan menjadi tantangan buat perusahaan. Di satu sisi, perusahaan yang tidak siap dengan situasi tersebut akan melihat sebagai sebuah problem yang besar. Di sisi lain, perusahaan yang sudah memiliki digital mindset dan infrastruktur untuk mengeksekusi digital, akan melihat sebagai kesempatan yang besar. Mereka melihat bahwa karyawan yang sibuk dengan social media justru bisa bermanfaat.

Pertama, mereka berarti sudah familier dengan berbagai tool digital. Dengan demikian, perusahaan lebih mudah untuk membentuk mereka dan melibatkan mereka, bila suatu saat perusahaan sudah menggunakan teknologi digital untuk kebutuhan strategi pemasaran atau membantu operasional perusahaan. Kesempatan yang sama besarnya bisa diperoleh apabila seluruh karyawan bisa menggunakan digital tool untuk menciptakan konten-konten yang berguna bagi perusahaan. Ibaratnya, mereka kemudian menjadi tenaga pemasar yang produktif dan efektif. Mereka bisa menceritakan kehebatan produk-produk yang dihasilkan atau dijual oleh perusahaan mereka. Dengan berbuat demikian, perusahaan justru akan banyak diuntungkan. Biaya promosi dan komunikasi bisa lebih dihemat. Bahkan, rekomendasi dari karyawan bisa lebih efektif daripada rekomendasi dari tenaga penjual.

Keuntungan yang lain adalah proses pembentukan team work dan budaya perusahaan yang lebih cepat. Proses digitalisasi perusahaan membutuhkan team work antardepartemen yang semakin kuat. Teknologi digital memungkinkan cross-functional menjadi lebih efektif.

Perlunya Guidelines

Dengan kondisi seperti ini, tidak mengherankan bila kemudian CEO, HRD, atau divisi-divisi lain yang terlibat harus membuat aturan atau semacam guidelines mengenai penggunaan social media. Mereka ingin mengubah problem menjadi kesempatan yang menguntungkan perusahaan. Sampai saat ini, perusahaan-perusahaan global seperti Coca-Cola, IBM, Intel, Ford, dan ratusan perusahaan global lainnya sudah merilis guidelines tersebut.

Bagaimana di Indonesia? Dari observasi yang sudah saya lakukan sejak satu tahun terakhir ini, ternyata belum ada satu pun perusahaan nasional yang memiliki social media policy yang dituangkan dalam bentuk guidelines. Saya yakin, perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki jumlah karyawan dalam hitungan ribuan sudah saatnya untuk mulai merencanakan dan membuat guidelines. Keterlambatan dalam hal ini justru akan memberikan persoalan baru. Kebiasaan dari karyawan yang tidak berkenan bagi perusahaan, kelak akan semakin sulit diubah.

Lantas, apa isinya guidelines ini? Pertama, guidelines ini haruslah diwarnai oleh visi, misi, dan terutama core values dari perusahaan ini sendiri. Coca-Cola misalnya, sebelum membuat social media guidelines, mereka memulai dengan 7 core values dari perusahaan, di antaranya adalah leadership, collaboration, integrity, accountability, passion, diversity, dan quality. Dengan demikian, setiap karyawan mudah memahami alasan perusahaan membuat prinsip-prinsip penggunaan social media untuk karyawannya.

Isi selanjutnya, tentu saja sangat beragam dan memang tidak perlu sama untuk setiap perusahaan. Tetapi, ada beberapa hal yang bisa mereka masukkan dalam guidelines ini. Pertama adalah harus respek, terutama kepada pelanggan dan sesama karyawan. Mereka tidak boleh menghina, menggunakan kata-kata yang tidak pantas, atau melakukan argumentasi dengan para pelanggan atau siapa pun yang berhubungan dengan perusahaan.

Kedua adalah tanggung jawab. Mereka perlu mengetahui bahwa mereka tidak mewakili perusahaan. Apa pun yang mereka tulis adalah tanggung jawab mereka. Demikian pula, mereka perlu menjadi pribadi yang penuh tanggung jawab sesuai dengan amanat yang diberikan kepada perusahaan. Jadi, menulis dalam social media haruslah juga menyadari akan tanggung jawabnya sebagai karyawan perusahaan. Haruslah memikirkan konsekuensi dari apa yang akan mereka tulis.

Ketiga adalah transparansi dan kejujuran. Perusahaan akan menyatakan bahwa mereka tidak menoleransi berbagai bentuk kebohongan baik kebohongan untuk perusahaan ataupun kebohongan pribadi. Hal-hal semacam ini bisa menimbulkan percakapan yang justru menciptakan sentimen negatif dan mampu menciptakan krisis.

Keempat adalah menambah nilai. Ini adalah prinsip dimana setiap karyawan haruslah memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Melalui media social, mereka bisa memberikan informasi seputar perusahaan atau produk-produk perusahaan. Mereka juga mungkin bisa mengomunikasikan kegiatan perusahaan yang positif, seperti aktivitas  yang berhubungan dengan CSR. Bisa juga, informasi yang disampaikan adalah pribadi atau mengenai keluarga, tetapi semua ini bertujuan agar pelanggan dan masyarakat semakin percaya dengan perusahaan tempat karyawan bekerja.

Kelima, adalah proses belajar. Social media adalah tempat di mana setiap orang bisa mendapatkan pengetahuan baru. Mereka bisa belajar hal-hal baru secara cepat dan praktis. Dengan demikian, proses belajar ini bukan hanya diperoleh dari dalam perusahaan, tetapi justru network di mana mereka berada menjadi tempat yang efektif bagi mereka untuk menambah wawasan dan pengetahuan baru.

Banyak perusahaan kemudian juga menambahkan hal-hal yang lebih detail, seperti penggunaan kata-kata dan sikap maupun perilaku lainnya. Tidak ada aturan yang baku seberapa detail guidelines semacam ini. Yang terpenting, bagaimana guidelines ini bisa dipahami dan relatif sudah mencakup berbagai dimensi yang dibutuhkan oleh perusahaan dan karyawan untuk bersikap dan terlibat dalam percakapan.

Guidelines atau prinsip-prinsip ini pada akhirnya harus dikomunikasikan. Suatu saat, ini akan sama pentingnya dengan peraturan perusahaan. Pekerjaan dari karyawan di hari pertamanya adalah membaca peraturan perusahaan dan social media guidelines. Maklum, suatu saat, dari semua karyawan baru yang generasi muda ini, hampir seluruhnya terlibat dalam percakapan di jaringan social media. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.