Teknologi Tak Akan Gantikan Peran Salesman

Meski menjadi ujung tombak perusahaan, kehadiran salesman sering diremehkan. Ditambah lagi merebaknya teknologi digital, nasib profesi salesman banyak dipertanyakan di masa depan. Apa yang mesti dilakukan agar mereka tetap eksis di era digital?

peran salesman
(Foto: Lilyanti/Mjl Marketing)

Setiap perusahaan pasti ingin meraih keuntungan. Di sisi lain, keuntungan hanya bisa diraih jika perusahaan mampu menjual produk atau jasa sebanyak mungkin. Untuk bisa mencetak keuntungan setinggi-tingginya, perusahaan membutuhkan tenaga penjual (salesman, atau biasa juga disebut sales) yang andal. Tidak berlebihan jika dikatakan salesman sebagai ujung tombak perusahaan yang menentukan hidup matinya perusahaan.

Namun yang menjadi dilematis, profesi salesman sering dipandang sebelah mata, bukanlah profesi yang diidam-idamkan banyak orang. Bahkan, jika kita tanyakan kepada anak-anak sekolah dasar tentang cita-cita mereka jika besar nanti, hampir dipastikan tidak akan ada yang memilih profesi salesman.

Ironi lain yang menimpa dunia sales, profesi ini sering menjadi pilihan terakhir pencari kerja para fresh graduate. Mereka terpaksa melamar posisi sales karena kesulitan melamar kerja pada bidang pekerjaan lain yang diinginkan. Sehingga yang muncul para sales medioker yang layu sebelum berkembang. Hanya sedikit yang akhirnya mencapai puncak karier.

Kemunculan teknologi digital yang memungkinkan produsen menjual secara langsung kepada konsumen, tanpa perlu bantuan middle man, diprediksi akan semakin menyulitkan profesi salesman. Bahkan, ada kekhawatiran profesi ini akan lenyap di masa depan, alias tidak akan dibutuhkan lagi, karena perannya sudah digantikan oleh teknologi.

Apakah kekhawatiran tersebut beralasan atau terlalu berlebihan? Dedy Budiman, CEO Jakarta Sales Academy, memprediksi peran sales di masa depan masih besar meskipun digital marketing makin merajalela, antara lain dalam industri otomotif, properti, dan ritel.

Dia menilai euforia teknologi akan menggantikan peran manusia dalam menjual terlalu dilebih-lebihkan. Teknologi, katanya, cuma tool yang memudahkan para sales dalam melakukan penjualan. “Xiaomi dulu katanya mau menjual secara online saja, sekarang malah menjual offline juga,” tutur Dedy yang diwawancarai di kantor Redaksi MARKETING, beberapa waktu lalu.

Namun dia tidak memungkiri, di industri fashion dan travel peran salesman sudah mulai dilibas oleh teknologi digital. Indikasinya, transaksi e-commerce terbesar di Indonesia dibukukan oleh dua jenis produk tersebut.

Pendiri KOMISI (Komunitas Sales Indonesia) ini menambahkan, pemanfaatan teknologi digital bukan hanya berguna untuk para sales di lapangan, namun juga bisa bermanfaat bagi perusahaan. Melalui aplikasi yang dikembangkan secara customized, perusahaan bisa memantau kinerja mereka di lapangan. “Misalnya dengan teknologi GPS perusahaan bisa memantau para sales, apakah mereka benar-benar melakukan canvassing atau tidur di rumah,” tutur mantan sales tersebut.

Salesman Harus Paham Marketing

Dedy juga menyarankan agar perusahaan mau menggunakan teknologi untuk meningkatkan kinerja penjualan. Dengan teknologi informasi dan komunikasi, misalnya, perusahaan bisa memantau di mana dan pada momen-momen apa saja calon konsumen berkumpul. Dari situ para sales dapat dikerahkan untuk mendekati konsumen. ”Tugas sales melakukan eksekusi, sehingga kalau ada teknologi yang bisa membantu para sales hasilnya akan lebih maksimal,” ujar dia.

Yang membuat dia optimistis peran salesman tetap dibutuhkan di masa depan, karena karakter konsumen Indonesia yang masih suka berinteraksi secara langsung dengan staf penjualan, dan kecenderungan melihat produk secara langsung terlebih dahulu sebelum membeli. “Di kota besar seperti Jakarta, fenomena digital marketing memang sudah muncul. Tapi di daerah, tradisi door to door masih kuat,” imbuh dia.

Selain harus menguasai teknologi digital, tantangan yang harus dihadapi para sales ke depan yakni mereka harus memahami marketing. Kalaupun tidak memahami secara memadai, minimal paham prinsip-prinsipnya. “Karena menjual online sebenarnya membutuhkan ilmu marketing bukan selling. Kita perlu tahu produk kita ditujukan untuk siapa dan tahu cara menjualnya,” jelas Dedy yang juga pendiri SDI (Sales Director Indonesia).

Di sini pentingnya para sales meningkatkan kemampuan mereka dan perusahaan mau memfasilitasi peningkatan kapasitas para sales melalui pelatihan (training). “Training sales di perusahaan kebanyakan isinya product knowledge, skill jarang sekali. Ini menjadi tanggung jawab individu sales juga. Tapi balik lagi, sales jarang yang mau belajar,” tuturnya.

Dia mengingatkan, para sales di era milenial tidak cukup membekali diri dengan memperbanyak relasi secara konvensional. Mereka juga harus mau menjalin relasi di media sosial seperti LinkedIn, tempat para profesional banyak berkumpul. “Sekarang mereka harus belajar marketing supaya tahu apa itu branding, mereka harus melek teknologi digital. Mereka harus pintar melakukan investigasi di internet,” papar Dedy.

Dia juga tidak yakin ke depan, perusahaan akan melakukan efisiensi besar-besaran di divisi sales. Menurut dia, permintaan tenaga sales diperkirakan tetap tinggi di masa depan. “Ibaratnya jika saya punya stok 1.000 tenaga sales, pasti ada yang ambil semua. Yang bikin saya kesal, pengangguran banyak tapi mencari sales susah. Tidak usah yang paham digital marketing, mencari sales yang standar saja susah,” pungkasnya.

Tony Burhanudin

MM.05.2017/W

“Sekarang para sales harus belajar marketing supaya tahu apa itu branding, mereka harus melek teknologi digital. Mereka harus pintar melakukan investigasi di internet.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.