The Human Brand

Banyak brand di pasar yang berstatus “koma”; mereka tidak melakukan aktivitas apa-apa, produk dan desainnya membosankan, mereka segan berkomunikasi dan berinteraksi dengan konsumennya, dan pelanggan mereka tidak pernah tahu siapa, apa, mengapa, dan bagaimana brand yang mereka konsumsi itu ada. Mereka lebih tepat disebut brand yang tidak mempunyai jiwa (soul) dan sering kali hanya mengandalkan keunggulan fungsionalnya saja.

the human brand

Chris Malone dan Susan T. Fiske mengajarkan bagaimana organisasi berhubungan dengan konsumennya untuk menciptakan “the human brand” melalui cara membangun “warmth” (emosional) dan “competence” (rasional) dengan pelanggannya. Robert Blanchard, mantan P&G Executive mengatakan bahwa “Also, like a person, a brand has a name, a personality, character, and a reputation. You can respect, like, and even love a brand.” Sebuah brand yang hidup mempunyai “brand soul”.

David A. Aaker dalam bukunya Brand Leadership menyebutkan bahwa brand soul (brand essence) “Represents the identity, and one of its key functions is to communicate and energize those inside the organization”. Sementara itu tagline mewakili posisi merek atau tujuan komunikasi, dan fungsinya untuk berkomunikasi dengan konsumen di luar. Saya akan menggunakan contoh sebuah brand yang sering menduduki peringkat 1 dalam “Most Valuable Global Brands in the World” yaitu Coca-Cola. Brand soul dari Coca-Cola diterjemahkan dengan taglineOpen Happiness”. Bagaimana cara happiness ini diwujudkan secara riil menjadi berbagai aktivitas oleh Coca-Cola sehingga hidup?

Coca-Cola mendefinisikan “happiness” sebagai “apa pun yang bisa membawa sebuah senyuman di wajah seseorang”. Luar biasa! Coca-Cola melakukan berbagai aktivitas yang semuanya akan menghasilkan senyum bahagia bagi orang banyak. Di antaranya ada tiga kegiatan kreatif, yaitu pertama, seorang mahasiswi di sebuah kampus hendak membeli Coca-Cola (Coke) lewat sebuah vending machine. Setelah koin dimasukkan maka keluarlah sebuah botol Coke. Tak lama kemudian, keluar lagi dua botol Coke. Dia membeli satu tapi mendapatkan tiga! Ia tidak hanya tersenyum, tapi tertawa dan berteriak! Mahasiswi itu membagikan kebahagiaannya dengan teman-temannya.

Kedua, sebuah truk pengiriman Coca-Cola yang tertutup berjalan dan berhenti di suatu tempat pemukiman penduduk. Di belakang truk tersebut ada sebuah tombol bertuliskan “tekan”. Seorang anak wanita mendekati truk itu dan kemudian menekan tombol tersebut. Di sampingnya keluarlah sebotol Coke dan sebuah boneka besar beruang berwarna putih. Seketika itu menjeritlah dia. Sambil memeluk boneka itu, pun ia tertawa gembira dan menari.

Ketiga, sebuah truk kecil Coca-Cola berhenti di sebuah tempat yang terbuka. Di belakang truk tersebut disusunlah sebuah meja makan dan kursi untuk enam orang. Sebuah papan dipasang bertuliskan “Let’s eat together”. Beberapa orang mulai mendatangi dan duduk dikursi itu. Tak lama kemudian keluarlah beberapa minuman (Coke tentu!) dan bermacam makanan dari dalam kendaraan itu. Semua orang makan, minum dengan tertawa dan gembira. Coke menyediakan seorang koki terkenal di dalam truk tersebut untuk memasak dan membagikan semuanya secara gratis. Dengan berbagai aktivitas itu Coca-Cola benar-benar mewujudkan “brand soul”-nya menjadi sebuah “brand experience” yang tak terlupakan dengan membuat konsumen senyum bahagia.

Marty Neumeier, brand consultant dari Liquid Agency mengatakan bahwa “A living brand is a pattern of behavior, not a stylistic veneer.” Coca-Cola adalah sebuah brand yang hidup, ”the human brand”. Merek ini mempunyai jiwa (brand soul) yang diterjemahkan dalam taglineOpen Happiness”. Brand soul dan tagline masih merupakan “brand promise”. Idris Moote, CEO Idea Couture, mengatakan bahwa “A promise is conveyed by everything people see, hear, touch, taste or smell about your business”. Coke merealisasikan brand promise-nya dalam bentuk berbagai aktivitas nyata seperti Happiness Machine, Happiness Truck, dan Happiness Eat. Masyarakat bisa melihat, mendengar, merasakan, dan mengalami semua ini secara langsung. Itu semua menciptakan brand experience yang luar biasa bagi konsumen.

Daniel Gilbert, Profesor Psikologi dari Harvard menjelaskan, ”Experiences don’t hang around long enough to disappoint you. What you have left are wonderful memories”. The human brand sama seperti kita manusia. Dia mempunyai pikiran, emosi, dan jiwa. Dia benar-benar hidup. Dia mampu berpikir, bertindak, berempati, serta punya visi dan misi yang jelas. Nah, apakah brand yang Anda jual merupakan the human brand yang hidup? Atau sudah menjadi “zombie brand”; hidup segan, matipun tak mau?

Budi P. Kartono

Praktisi Bisnis

e-mail: budipurwantok@yahoo.com.au

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.