3 Pelajaran Penting dari Raja Video Streaming Netflix

Berawal dari penyewaan DVD kini Netflix menjelma menjadi raja video streaming, apa yang bisa kita pelajari?

Marketing.co.id – Berita Marketing | Terlepas dari kondisi yang dialami Netflix saat ini, setidaknya ada 3 pelajaran penting yang bisa kita ambil dari perjalanan bisnisnya. Selama 25 tahun perjalanan bisnisnya, Netflix sudah beberapa kali digoyang dan berhasil bangkit bahkan menjadi penguasa layanan video streaming.

Sejarah Netflix

Ketika video berformat DVD (Digital Video Disc) diluncurkan di Amerika pada tahun 1997, para pendiri Netflix (Reed Hastings dan Marc Randolph) memiliki ide untuk memulai bisnis penyewaan DVD berbasis website. Keduanya terinspirasi dari perusahaan raksasa ecommerce Amazon.com.

Ukuran DVD yang tipis dan ringan memungkinkannya untuk dikirim melalui jasa pengiriman. Pada tahun 1998, keduanya akhirnya meluncurkan Netflix.com. Melalui situs tersebut, pelanggan dapat memilih dan menyewa DVD yang mereka inginkan. Kemudian, DVD yang telah disewa akan dikirimkan langsung ke rumah pelanggan melalui jasa pengiriman.

Netflix memiliki fitur unggulan yang menjadi ciri khasnya sekaligus sesuatu yang revolusioner saat itu, yaitu Smart Suggestion Algorithm. Melalui fitur tersebut, Netflix dapat merekomendasikan beberapa film baru secara otomatis yang sesuai dengan selera pelanggan setelah pelanggan tersebut menyewa film beberapa kali. Hanya dalam waktu 48 jam setelah go online Netflix harus meningkatkan bandwith situsnya karena padatnya trafik dari pelanggan.

Tahun 1999, Netflix pun sukses mendapat suntikan dana dari Arnoult Group senilai USD 30 juta. Hal tersebut memungkinkannya untuk berinovasi. Inovasi terbarunya bernama Marquee Program pun meluncur. Program ini memungkinkan pelanggan menyewa DVD sebanyak yang mereka inginkan selama satu bulan. Seiring berjalan waktu Netflix semakin populer. Setiap harinya Netflix menerima 10 ribu pesanan DVD dengan pendapatan hampir mencapai USD 5 juta.

Perjuangan Netflix

Walaupun jumlah pelanggannya terus bertumbuh Netflix ternyata masih terus merugi. Pada tahun 2000, para pendiri sempat menawarkan Netflix kepada Blockbuster seharga USD 50 juta. Saat itu Blockbuster merupakan perusahaan penyewaan kaset video terbesar dan tertua di Amerika dengan 60.000 karyawan dan 8.000 cabang. Blockbuster menolak tawaran tersebut dan memutuskan untuk meluncurkan layanannya sendiri.

Harga penyewaan DVD yang semakin murah menjadi kado akhir tahun yang sangat populer di akhir 2001. Permintaan untuk berlangganan DVD pun meningkat tajam. Untuk membiayai pengembangan bisnisnya, Netflix melakukan Go Public pada tahun 2002. Netflix menjual 5.5 juta sahamnya dengan harga USD 15 per lembar saham. Setahun kemudian, Netflix mencapai 1 juta subscriber sekaligus meraih keuntungan pertamanya.

Kesuksesan Netflix ini tentunya mengundang pemain lain seperti Blockbuster dan Walmart untuk masuk ke bisnis penyewaan DVD. Meski begitu, dengan fundamental yang kuat Netflix bukan hanya mampu bertahan namun juga mengungguli mereka. Bahkan di tahun 2005, Netflix mampu mengirim 1 juta film setiap hari dari 35 ribu film. Walmart pun akhirnya mundur dari bisnis ini dan Blockbuster menyatakan bangkrut pada tahun 2010.

Gairah inovasi Netflix

Kesuksesan yang diraih ternyata tak membuatnya puas. Netflix justru terus mengeksplorasi ruang dan peluang baru untuk mengembangkan bisnisnya. Para pendirinya melihat teknologi streaming yang berkembang saat itu akan menjadi masa depan industri hiburan rumah. Pada tahun 2004, Netflix akhirnya melakukan eksperimen bisnis video streaming bersama mitranya namun gagal total. Netflix kesulitan mendapat lisensi dari Hollywood dan alat yang digunakan tidak sesuai ekspektasi.

Tahun 2007, layanan internet berkecepatan tinggi mulai tersedia secara luas di masyarakat. Netflix pun memutuskan untuk serius menggarap bisnis layanan streaming online dengan meluncurkan layanan Watch Now.  Tahun 2008, Netflix berhasil menjalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar seperti Disney, Sony Pictures, Paramount dan lainnya. Hasilnya, semakin banyak orang yang mengenal dan tertarik untuk berlangganan Netflix.

Pada tahun 2010, jumlah video yang distreamingkan sudah melampaui jumlah DVD yang disewakan. Dari situ, Netflix kemudian memutuskan untuk 100% fokus pada layanan video streaming. Perlahan tapi pasti layanan penyewaan DVD dimatikan. Transisi bisnis Netflix dari rental DVD ke video streaming ternyata  tidak mendapat respon yang baik dari para pelanggannya. Netflix pun kehilangan 800.000 subscriber. Sahamnya pun anjlok hingga 75%. Butuh 2 tahun bagi Netflix untuk kembali ke posisi awal.

Saat itu, Netflix bukanlah pemain tunggal dalam layanan video streaming. Netflix pun sadar dan kembali berinovasi dengan memproduksi serial originalnya sendiri dan merilis serial originalnya tersebut secara bersamaan. Hal tersebut ternyata mendapat respon yang positif dari pasar. Netflix sukses mendatangkan pelanggan-pelanggan baru. Tahun 2015, layanan Netflix sudah bisa dinikmati di 50 negara.

Di akhir 2019, pandemi Covid-19 dimulai. Hampir semua Negara menerapkan kebijakan lockdown. Kantor tutup pusat hiburan pun tutup. Masyarakat tidak bisa pergi ke mana-mana hanya bisa berdiam di rumah dan menikmati hiburan dengan menonton TV. Kondisi tersebut sangat menguntungkan Netflix dimana jumlah orang yang berlangganan terus meningkat. Puncaknya, nilai kapitalisasi Netflix mencapai USD306 juta.

Kejatuhan Netflix

Sayangnya, kejayaan Netflix tak bertahan lama. April 2022, Netflix mengumumkan telah kehilangan 200.000 pelanggan di kuartal pertama tahun 2022, dan diprediksi akan kehilangan 2 juta pelanggan di kuartal berikutnya. Investor pun merespon dengan menjual saham Netflix secara massal yang mengakibatkan jatuhnya saham Netflix hingga 40% hanya dalam waktu 2 hari. Banyak sekali penyebabnya, di antaranya:

Pertama, munculnya para pesaing kelas kakap yang mencuri pelanggannya. Netflix yang sebelumnya hanya bersaing dengan sesama startup layanan video streaming, dalam 5 tahun terakhir harus bersaing dengan raksasa konten dunia seperti HBO, Paramount Disney, Amazon dan lainnya yang juga ikut nimbrung ke bisnis ini.

Netflix pun mulai kehilangan lisensi atas serial film-film populernya. Raksasa media di atas yang memang memiliki hak paten atas serial tersebut menariknya dari Netflix dan merilisnya di platform mereka sendiri. Bukan hanya itu, mereka juga meluncurkan serial original seperti yang dilakukan Netflix. Dalam waktu singkat judul film, varian konten dan serial original yang dulunya menjadi keunggulan Netflix sudah bukan lagi menjadi keunggulan kompetitif.

Kedua, para pemain baru tersebut juga sangat agresif dalam menetapkan harga jualnya. Dimana mereka menerapkan harga yang jauh lebih murah, sementara harga berlangganan Netflix terus naik. Ketiga, manajemen Netflix menyalahkan perilaku para pelanggannya yang berbagi password sebagai salah satu penyebabnya. Saat ini, ada 100 juta pelanggan yang melakukan password sharing.

Keempat, Netflix memutuskan untuk menghentikan layanan streamingnya di Rusia yang mengakibatkan Netflix kehilangan 700 ribu pelanggan. Kelima, ditariknya kebijakan lockdown di banyak negara. Hal itu membuat masyarakat lebih senang berada di luar rumah untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang sebelumnya selama 2 tahun lebih tidak bisa mereka lakukan.

Masa depan Netflix

Menghadapi kondisi ini, Netflix memiliki beberapa rencana di antaranya adalah menawarkan paket khusus bagi anggota keluarga atau teman yang ingin menikmati layanannya. Strategi ini dilakukan untuk memerangi perilaku berbagi password para penggunanya. Rencana lainnya adalah meluncurkan paket harga murah yang didukung oleh iklan. Meski ide ini bertentangan dengan semangat Netflix yang anti iklan, paket ini dipercaya dapat menjadi solusi bagi situasi Netflix saat ini.

Terlepas dari kondisi yang dialami Netflix saat ini, setidaknya ada 3 pelajaran penting yang bisa kita pelajari dari perjalanan bisnis Netflix dari perusahaan rental DVD menjadi raja layanan video streaming.

  • Netflix melihat peluang dan tidak takut menangkapnya.

Di masa ketika bisnis hiburan rumah menyewakan kaset video, Netflix melihat peluang penyewaan DVD yang bisa dikirim melalui jasa antar melalui website. Ketika bisnis penyewaan DVD mulai bertumbuh, Netflix menangkap peluang lain yaitu video streaming yang sedang terbuka lebar. Keputusan tersebut tentu sangat berisiko karena belum terbukti, namun jika Netflix tidak mengambil peluang tersebut kita tidak akan mengenal Netflix seperti sekarang ini.

  • Netflix tidak pernah berhenti berinovasi

Menangkap peluang adalah langkah pertama. Langkah berikutnya yang dilakukan Netflix adalah mencari cara-cara baru untuk memberi lompatan nilai bagi para pelanggan melalui produknya. Melalui algoritma rekomendasi sederhana di website hingga memproduksi film original yang semua episodenya dirilis secara bersamaan Netflix pun akhirnya memimpin pasar.

  • Ketika bisnis digoyang, menarilah

Selama 25 tahun perjalanan bisnisnya, Netflix sudah beberapa kali digoyang. Kita tahu bahwa kesuksesan akan selalu menghasilkan persaingan. Seberapapun hebatnya Anda, akan selalu ada pemain lain yang lebih hebat. Seberapapun kokohnya bisnis Anda, akan selalu ada kondisi tak terduga yang akan mampu menggoyang bahkan meruntuhkan fondasi terkuat Anda.

Maka, jadilah lincah! Menarilah mengikuti irama situasi. Jangan statis, jangan menunggu. Bergerak itu lebih baik daripada menunggu. Karena, dari sebuah kesalahan kita akan menemukan kebenaran. Menunggu hanya sekadar menunda kematian.

Sumber: YouTube Indrawan Nugroho

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.