Sebagian besar perusahaan yang berada di kawasan Asia terhalang oleh kesenjangan tenaga kerja, infrastruktur yang kurang memadai, serta ketidakpastian lingkungan regulasi.
Beruntung, beberapa perusahaan yang mempunyai karakteristik kewirausahaan telah menemukan cara inovatif guna menanggulangi hambatan –hambatan tersebut – dan hasilnya mereka telah membangun keuntungan kompetitif yang luar biasa.
Laporan The Boston Consulting Group berjudul “Overcoming Asia’s Obstacles to Growth: How Leading Companies Are Reshaping Their Environment”, menganalisa bagaimana beberapa perusahaan di kawasan tersebut berhasil memenangkan pertempuran untuk terus tumbuh dan meraih suksesdi Tiongkok, India dan 6 negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Penelitian ini mengungkap, perusahaan–perusahaan tersebut mempunyai “pola pikir para penggerak utama” (“first-mover mind-set”). Pola pikir tersebut terdiri dari 3 karakteristik utama, yaitu budaya kewirausahaan, pandangan jangka panjang yang memungkinkan perusahaan untuk berinvetasi di luar cakupan usaha yang telah berjalan saat ini, serta keinginan untuk membangun kemitraan lokal.
Pola pikir ini memungkinkan perusahan-perusahaan tersebut untuk berinvestasi dan membentuk lingkungan mereka, serta membedakan perusahaan mereka dengan para pesaing lainnya.
Menurut Vincent Chin, salah satu BCG senior partner, sebagian besar perusahaan yang mempunyai sikap kewirausahaan di Asia tidak menunggu hambatan di kawasan tersebut untuk diatasi atau kondisi setempat dapat membaik. Mereka akan menemukan cara yang kreatif dalam mengatasi hambatan dan secara proaktif membantu pembentukan lingkungan bisnis di sekitar mereka.
Ada lima perusahaan yang dikaji dalam laporan tersebut, yakni S.F. Express (Tiongkok), Astra International (Indonesia), AirAsia (Malaysia), Wipro (India) dan Unilever (India).
Kelima perusahaan tersebut memiliki semua karakteristik pola pikir para penggerak utama dalam mengatasi salah satu atau lebih halangan-halangan utama yang terus meningkat di kawasan Asia.
“Apabila jumlah sumber daya manusia lokal terlalu kecil, maka perusahaan-perusahaan ini akan megembangkan dirinya sendiri. Apabila regulator lamban dalam memahami dan mengerti mengapa aktivitas inovasi itu penting untuk kondisi perekonomian negara mereka, maka perusahaan-perusahaan tersebut akan terus memberikan edukasi kepada mereka,” katanya.
Berikut adalah beberapa strategi inovatif yang mereka terapkan dalam mengatasi tantangan struktural:
- Lemahnya infrastruktur di Tiongkok tidak menghentikan S.F. Express untuk dapat mengantarkan paket penting atau darurat bagi usaha-usaha kecil di 31 provinsi dalam waktu 2 hari. Saat ini F. Express mempunyai armada pesawat kargo sendiri serta jaringan nasional yang terdiri dari 12.000 pusat pelayanan.
- Desa terpencil – di mana sebagian besar jalannya tidak beraspal, belum mempunyai aliran listrik dan jaringan telepon berhasil mencatat pertumbuhan 15% atau 5 miliar dolar Amerika dari total penjualan tahunan Unilever di India.Untuk melayani pasar ini secara efektif, perusahaan tersebut mempertahankan profil digital yang terbaru dari jutaan ritel mom-and-pop kecil, dan dapat membantu lebih dari 60.000 wanita di desa dalam membangun usaha mikro mereka untuk mendistribusikan produk Unilever.
- Astra Internasional merekrut 3.000 lulusan universitas tiap tahunnya di Indonesia meskipun terdapat permasalahan kurangnya keterampilan di negara ini. Guna memenangkan persaingan untuk memperoleh sumber daya manusia yang baik, Astra telah menjalin kemitraan dengan Sekolah Menengah Atas (SMA), lembaga politeknik, dan beberapa universitas dengan mendirikan program yang menyeluruh guna mengidentifikasi, merekrut serta mendidik para calon kandidat di setiap tingkat keterampilan di seluruh Indonesia.
Bagi perusahaan yang ingin terus memiliki keuntungan kompetitif dan menjadi pemimpin di pasar Asia harus melakukan pendekatan proaktif guna membentuk lingkungan mereka dengan membangun budaya perusahaan yang mempunyai sikap kewirausahaan serta mendorong para karyawan di setiap tingkat untuk turut mengembangkan perusahaan.
Selain itu, perusahaan juga harus memiliki visi jangka panjang yang memungkinkan mereka berinvestasi pada sumber daya manusia, infrastuktur, dan upaya-upaya guna membentuk regulasi.
Pendekatan ini membutuhkan semangat kemitraan. Perusahaan yang telah meraih sukses, sebagai contoh, diharuskan bekerja dengan institusi pendidikan guna mendukung sistem pendidikan dan mengembangkan kesediaan sumber daya manusia yang dibutuhkan, serta mereka juga harus terbuka untuk membangun perusahaan patungan – walaupun artinya terkadang menyetujui kepemilikan minoritas.
Risiko dengan mengambil sikap untuk menunggu perkembangan selanjutnya (wait and see) di Asia yang terus berkembang dan hanya bergantung kepada pemerintah dalam menyelesaikan hambatan struktural sangatlah besar.
“Perusahaan yang mempertahankan visi jangka pendek dalam kegiatan operasional di pasar Asia memiliki risiko untuk melewatkan pertumbuhan pasar terbesar di dunia ini,” pungkasnya.