90 Persen Omzet dari Toko Buku

Sales Force – Case Study

 

Sales Force buku bisa menghadapi judul baru yang berubah dalam satu-dua hari. Bagaimana caranya mereka beperan di toko buku yang memberi 90% omset, sekalipun di grup perusahaan sendiri?

Sebagai pemain besar dalam industri buku, Gramedia menyadari peranan sales force dalam memasarkan produk-produknya. Ritel pun dilihat sebagai medan pertempuran’ dengan beberapa kompetitor dalam memperebutkan ruang bagi buku-bukunya.

“Gramedia Pustaka Utama sebagai penerbit merupakan salah satu penyuplai untuk ritel buku. Pada tahun-tahun belakangan, khususnya di area Jabodetabek, porsi toko buku sendiri dibanding non toku buku masih jauh lebih besar peranannya.  Dalam persentase, hampir 90 persen omset GPU didapat dari ritel tersebut. Sementara di luar toko, angkanya masih kecil,” papar Utomo, Head of Sales Gramedia Pustaka Utama.

Karena porsi terbesar masih ada di ritel buku, kegiatan sales pun difokuskan di area tersebut. Menurut Utomo, di Jakarta sendiri ada sekitar 40 toko buku Gramedia, 25 Toko Buku Gunung Agung, 40 outlet dalam jaringan toko buku lain, maupun 20-an toko kecil. “Dari sekian toko, kita konsentrasi 70 persen ada di Toko Buku Gramedia sebagai salah satu grup kami. Tapi, meski pun satu grup Kompas Gramedia, kami tetap mendapat perlakukan yang sama dengan penerbit lain,” katanya.

Untuk mengelola jaringan toko buku di Jakarta, GPU mengerahkan delapan orang untuk sales force dan sekitar 43 untuk sales promotion. Masing-masing toko buku, minimal dikelola oleh seorang sales promotion. “Kekuatan sales force ini sangat penting mengingat ‘pertempuran’ yang nyata terjadi di toko buku. Apalagi sekarang sudah ada sekitar 1.300 penerbit dari seluruh Indonesia yang bermain di toko buku ini. Sementara space di toko buku terbatas. Nah, sales force kita harus pandai-pandai dalam bermain di area tersebut,” imbuhnya.

Utomo menyadari kompetisi yang terjadi adalah kompetisi memperebutkan ruang dan display agar produknya bisa dilihat dengan mudah oleh konsumen. Mengingat dalam satu bulan ada sekitar 800 judul baru yang masuk ke toko buku. “Dari jumlah judul baru tersebut, kita ditantang untuk merebutkan tempat-tempat strategis,” tandasnya.

Untuk itu, GPU berupaya membekali sales force-nya dengan perbekalan yang mencukupi. “Teman-teman sales dibekali dengan product knowledge. Terutama setiap kita mengeluarkan judul-judul baru. Agar mereka saat berada di garda depan bisa tahu benar buku yang akan mereka jual,” katanya.

Utomo melihat tugas sales force bukanlah perkara gampang. Butuh cara tertentu menawarkan buku-buku khususnya yang mempunyai potensi dan segmen pembacanya besar. “Kita membuat sistem bagaimana mereka bisa fokus dengan buku yang dijual khususnya dalam kondisi toko sedang ramai. Ini juga berpengaruh pada jadwal kerjanya,” imbuhnya.

Untuk mendukung kinerja sales force, insentif, bonus, sekaligus dukungan motivasi dilakukan. Dalam hal ini, Utomo melihat peran vital dari komunikasi. Mengingat area tugas sales force mempunyai cakupan luas dan jumlah produknya banyak. Setiap hari tim sales force ada di lapangan. Supervisinya dilakukan dengan memasang target setiap bulan—baik target rupiah maupun buku-buku yang dipromosikan. Untuk target bulanan, sales force minimal seminggu sekali dievaluasi dan monitor.

“Training dilakukan dan dibantu oleh lembaga khusus bernama PSDM. Training bisa sebulan sekali. Mendatangkan sumber-sumber yang sudah cakap di bidang ritel maupun jasa. Ini penting karena peran mereka sangat besar dan tidak boleh diremehkan,” katanya.

Sementara itu, relasi dengan para peritel sendiri harus dibangun sedemikian rupa. Pihak penerbit selalu meyakinkan pada peritel tentang buku-buku yang potensial untuk meledak di pasaran. Biasanya, para sales force belajar dari buku-buku laris yang pernah ada. Utomo menyebut tiga buku laris itu antara lain serial Harry Potter, Laskar Pelangi, dan Ayat-Ayat Cinta. Kesuksesan ketiga buku itu menginspirasi para sales force untuk memasarkan buku-buku baru.

“Dengan pemilik ritel, kita tetap bermain bersih. Tidak ada mainan di bawah tangan. Kita tetap mengutamakan hubungan yang intensif. Sejauh ini, para peritel itu setuju dengan ide-ide kita terkait dengan produk. Tidak perlu informasi panjang lebar,” katanya.

Utomo juga melihat kesuksesan seri Twilight karya Stephenie Meyer menjadi bukti konkret suksesnya kerjasama antara penerbit dengan para peritel. Relasi dengan peritel ini juga dibangun melalui pertemuan kedua belah pihak minimal dua kali dalam setahun sebagi bagian dari edukasi.

“Toko buku itu kan paling takut dengan buku-buku yang tidak laku. Kita blow up buku dengan volume yang cukup dilihat oleh konsumen. Kita juga memberi gimmick-gimmick di sana untuk menarik konsumen,” katanya.

Pelatihan product knowledge tidak hanya diberikan pada sales force. Tapi, juga bagi para pramuniaga di toko buku. Terutama ketika ada judul-judul baru yang dipasok ke toko buku. Mengingat belakangan ini, perputaran para penjaga toko tersebut sangat cepat sekali. Ini pun menjadi tantangan tersendiri juga bagi para sales force dalam membangun relasi dengan mereka. “Merekalah yang paling berpotensi untuk menjual buku. Di samping pramuniaga, kita menempatkan sales promotion di sana. Ini kami lakukan setiap bulan untuk produk-produk yang berpotensi memiliki nilai jual yang tinggi. Toko itu mempunyai kekuatan di pramuniaga dan kasir,” katanya.

Untuk toko-toko besar, kegiatan sales force ini didukung oleh perangkat teknologi mutakhir. “Perangkat audio visual untuk mendukung kegiatan sales promosi ini. Termasuk materi-materi promosi yang sifatnya digital,” katanya.

Sementara itu, Utomo melihat kesulitan didapatkan justru di pihak internal sendiri. Utomo tidak bisa menebak kapan sebuah buku itu laku terjual. Memberdayakan tim sales menjadi suatu program wajib. Menginat para kompetitor juga menggunakan strategi yang sama. Salah satunya adalah strategi diskon. Utomo melihat peritel senang dengan adanya diskon ini. Ini sering dimanfaatkan para kompetitor untuk menambah angka diskon ini—termasuk ketika angka itu di bawah batas kewajaran. Selain itu, masyakart sendiri juga senang dengan diskon. Mengingat animo membaca masyarakat meningkat sementara daya beli buku mereka tidak begitu besar. Utomo melihat diskon menjadi promosi paling efektif selama ini dibanding gimmick-gimmick. Diskon saat opening toko baru saja bisa menghasilkan omset berlipat dari biasanya. Sementara, promosi model undian sudah tidak laku lagi.

“Biasanya pesaing menembus dengan cara seperti itu. Selebihnya, ketersediaan produk yang menimbulkan kesulitan. Di sini lain, ada kompetitor yang kontraknya bulanan. Ini juga menimbulkan kesulitan tersendiri bagi kami. Sifatnya mereka bergerilya. Biasanya itu terjadi pada produk-produk yang mempunyai kemiripan,” katanya.

Karena ritel memegang peranan paling besar, budget promisi pun terbesar mengalir di sana. “Di ritel bisa memegang separuh sendiri untuk biaya promosi. Ini khusus untuk wilayah Jakarta,” katanya.

Sales force juga harus pandai membaca peta kebutuhan masyakart di sekitar toko buku itu berada. Di Jakarta Barat yang demografinya orang-orang keturunan lebih senang dengan produk fiksi dan pengembangan diri nomer dua. Di kantong-kantong Muslim, buku-buku muslim menempati peringkat dua setelah buku bacaan anak dan remaja. “Secara garis besar itu yang unik. Untuk GPU, fiksi masih yang terbesar. Disusul kamus dan pengembangan diri,” katanya.

Pada tahun 2010, Utomo menargetkan bisa mendapatkan pertumbuhan 50 persen dari tahun sebelumnya. “Kita optimisitis mencapai angka itu,” tandas Utomo.

Sigit Kurniawan

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.