A Great Call Center Comes from The Heart

Yuliana 01web
Yuliana Agung, MBA

“When the head and heart are working in cooperation… thought, word, and action are in harmony. This shows itself as integrity and authenticity, and where there is authenticity there is authentic power” (G. Ross Lawford, 2002).  Ini adalah sebuah ungkapan yang sangat-sangat benar. Melakukan suatu pekerjaan tidak hanya diperlukan kepala, tetapi juga diperlukan hati. Kita bisa mendapatkan orang-orang pandai, tetapi belum tentu kita bisa mendapatkan hatinya. Namun, ungkapan ini jangan dibalik, bukan berarti orang-orang tidak pandai dapat dibeli hatinya.  Maksud ungkapan ini, jika sudah mendapatkan orang-orang yang pandai, selanjutnya dapatkan hatinya.  You can buy “head, thought and word” bahkan  you can buy “action”, but you can’t buy heart.”

Kunci sukses membangun tim bukan terletak pada instruksi, percontohan, standar pekerjaan, pecut, dan hadiah, tetapi terletak pada seberapa mampunya seorang leader mendapatkan hati anak buahnya. Namun ada yang perlu dicatat, sebelum mendapatkan hati orang lain, seorang pemimpin harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa hatinya juga telah melekat dalam suatu konteks pekerjaan. Selebihnya adalah ketidakpuasan, demotivasi, dan keengganan berkarya yang bahkan bukannya tidak mungkin juga berujung pada sesuatu yang destruktif.

Kekecewaan profesi entah apa pun sebabnya, sering muncul sebagai biang keladi tingginya “turn over.” Oleh karenanya, kenyamanan bekerja lahir batin  merupakan sarana pertama untuk membetahkan hati dan mengaryakan diri mencapai tujuan perusahaan. Kenyamanan adalah kata kuncinya. Kenyamanan ini bukanlah artian fisik, tetapi lebih kepada artian batin.

Mengelola call center tidak hanya diperlukan strategi, tetapi juga diperlukan kesatuan hati seluruh tim. Call center mau tidak mau menjadi tempat bekerja yang sarat tuntutan kemampuan leadership, termasuk di dalamnya bagaimana memberikan empowerment, kenyamanan batin, rasa memiliki tinggi, dibalut dengan kedisiplinan luar biasa. Tekanan datang dari pelanggan secara langsung.  Apalagi, saat ini sudah terjadi tren baru di mana call center berubah fungsi menjadi “crisis center.”

Contoh jelas kasus pembobolan ATM yang baru lalu. Bagaimana jadinya jika perbankan yang kebobolan tidak dipersenjatai dengan call center yang efektif.  Di sinilah persoalannya. Bagi perusahaan yang reaktif, mereka akan ketinggalan.  Tetapi bagi perusahaan yang proaktif membangun call center, keberadaannya menjadi sangat strategis, terutama dalam membangun, mengelola, dan mendapatkan kembali citra perusahaan yang terancam.

Carre-CCSL tidak pernah berhenti bersama Majalah MARKETING terus-menerus memantau kinerja call center sepanjang semester dua setiap tahun, guna memacu semangat perusahaan untuk menjadi makin customer centric, makin memberikan solusi buat pelanggan. Call center tidak dapat dipungkiri lagi adalah saluran yang sangat efektif dan efisien.

Mari kita mendalami Call Center Best Practice di Asia, saya sebut OCBC Banking yang bermarkas di Singapura. Benar-benar menakjubkan, dikelola dengan sangat humanis jauh dari kesan robotik. Suara, intonasi, ketelatenan mengarahkan pengguna dengan instruksi-instruksi sederhana, jelas, disampaikan dengan paste—atau kecepatan yang pas, tidak lambat juga tidak terlalu cepat. Bukan hanya “pitch voice” saja yang membuat call center ini enak untuk digunakan, tetapi juga menu-menu instruksi yang senantiasa berempati pada berbagai kemampuan pelanggan.

Di OCBC, pelanggan dibimbing untuk dijadikan kontributor di dalam proses service delivery. Jika call center-nya saja sudah bisa seperti ini, bagaimana dengan pengelolaan face to face-nya?  Ini yang tergambar dalam benak setelah kenyamanan menggunakan call center ini makin membuat pelanggan ketagihan menggunakannya. Ada keramahan dan keinginan menuntaskan permasalahan pelanggan, juga diperoleh dari CSO yang menjawab panggilan pelanggan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.