Antri, Yuk!

Apakah bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka mengantri?

Saya kok masih yakin sampai sekarang masih banyak orang yang belum terbiasa, bersedia, memahami atau bahkan mengerti apa arti mengantri. Paling tidak, saya masih punya satu teman yang sudah berpendidikan tinggi, tapi kalau sedang antri di kantin, dia selalu berhasil jadi yang paling depan dan mendapatkan makanan lebih dulu dibandingkan orang lain yang sudah antri lebih dahulu.

Populasi penduduk yang banyak (baca: kebanyakan) di Indonesia memang membuat crowd (kerumunan) mudah terjadi. Apalagi sifat orang Indonesia adalah mengikuti apa yang dilakukan oleh orang kebanyakan. Yang jelas, crowd membutuhkan antrian supaya lebih tertib. Namun antrian juga mudah menciptakan ketidakpuasan.

Pada dasarnya, manusia memang tidak mau menunggu (lama). Sederhananya, bila mobil kita terjebak macet di jalan tol, berapa persen dari kita yang masih mau berada di jalur yang benar tanpa tergoda untuk masuk ke jalur paling kiri—yang sebenarnya hanya untuk keadaan darurat? Bahkan kalau supir Anda menerobos antrian mobil, Anda tidak menegurnya. Toh yang menerobos antrian adalah supir Anda, bukan mobil Anda!

Apakah ketidakpuasan karena mengantri kemudian membuat pelanggan berpindah? Beruntung jika Anda sebagai service provider menawarkan benefit yang lebih besar daripada “mengantri”, seperti harga murah atau enaknya makanan yang disajikan. Mungkin saja lantran ada faktor emosional, seperti merek ternama atau bujukan anak,  pelanggan masih mau antri. Atau mungkin si pelanggan tidak punya pilihan lain, seperti jalan tol.

Namun, tetap saja antrian sangat rentan menimbulkan rasa tidak puas. Ketidakpuasan yang tinggi membuat mereka memilih keluar atau bahkan menyerobot antrian. Jika kemudian orang yang menyerobot tadi tetap dilayani, maka ketidakpuasan orang lain yang mengantri dengan benar justru akan bertambah lebih lagi.

Ada beberapa faktor yang membuat orang merasa “gerah” mengantri. yang utama adalah masalah informasi. Di Indonesia, masih banyak service provider yang lupa memberikan informasi cukup, sehingga orang tidak bisa memprediksi waktu mengantri. Karena ketiadaan informasi, orang yang antri juga tidak bisa memperkirakan apa yang terjadi di ujung antrian terdepan. Di bank, sering ada umpatan yang menyalahkan lamanya teller melayani. Padahal yang membuat lama bisa jadi si pelanggannya. Atau, sang teller memang harus memenuhi standar layanan untuk berbasa-basi dengan pelanggan. Jika mereka membuang waktu 5-10 detik untuk menyapa pelanggan, maka setiap 20 orang waktu yang terbuang 2-3 menit.

Tentu saja, sekadar memberikan informasi tidaklah cukup. Di beberapa tempat di Jakarta, sekarang diletakkan timer di atas lampu merah. Timer ini melakukan penghitungan waktu mundur (countdown) mulai dari saat lampu jadi merah sampai ke angka nol pada saat lampu merah berubah jadi hijau. Cara ini memang membuat kita bisa memprediksi waktu dengan baik dan bersiap-siap tancap gas ketika angka tinggal beberapa detik menuju nol.

Namun, di beberapa tempat yang memiliki kepadatan tinggi, countdown timer ini justru bikin kita kesal. Mengapa? Karena penghitungan waktu mundurnya ada yang dimulai dari angka 180! Bayangkan, jika Anda harus melihat dan menghitung mundur dari angka sebanyak itu. Bayangkan pula, jika Anda kemudian gagal melewati lampu merah sehingga harus menghitung lagi angka dari 180!

Itulah sebabnya, dalam membuat sistem antrian, kecepatan menjadi prioritas paling utama. Untuk mempercepat antrian, Anda harus memiliki sistem yang membuat frontliner bekerja cepat. Bisa juga antrian itu dipecah dengan membuka lebih banyak counter.

Jika masalah kecepatan ini sulit diatasi, skenario kedua adalah menciptakan kenyamanan untuk  mengantri. Beberapa rumah sakit menggunakan call center yang membuat pasien bisa memesan nomor antrian dokter melalui operator. Si pasien juga diberi estimasi waktu kapan dia harus datang. Dengan demikian, dia tidak perlu menunggu lama pada saat dia tiba.

Masalahnya keberadaan informasi, perbaikan kecepatan, serta penciptaan kenyamanan mengantri bisa tidak berarti di mata pelanggan tanpa adanya komitmen dari  service provider untuk menerapkan sistem antrian yang benar dan fair. Orang Indonesia mudah curiga, antriannya bisa diserobot sewaktu-waktu. Ini disebabkan oleh ketidakpercayaan pelanggan bahwa service provider bisa tegas dan berlaku adil. Teman saya menyerobot antrian karena si pemilik kantin tidak memberlakukan sistem antrian yang fair.

Ini kasus sungguhan. Ada rumah sakit di mana kita biasanya bisa memesan nomor antri dokter yang praktek di sana. Entah kenapa, belakangan ini kita tidak bisa langsung diberikan nomor ketika memesan lewat telepon. Mungkin karena banyak pasien yang cuma memesan, tapi kemudian tidak datang.

Sekalipun saya kecewa, saya tetap datang dan ternyata nama saya sudah tercetak di secarik kertas. Menarik juga nih, pikir saya. Mungkin ini bagian dari surprise marketing.

Tapi, saya benar-benar terkejut! Sekalipun nama saya sudah tercetak, ternyata saya masih harus menaruh kertasnya di kotak di depan ruang praktek dokter tersebut. Hebatnya, tidak ada informasi yang jelas, urutan mana yang lebih dulu: kertas paling atas atau paling bawah? Lagipula siapa yang bisa mengontrol bila ada yang menyelipkan kertasnya di tengah-tengah?

Benar saja, ada saja orang yang melakukan hal itu dan dia membuat orang lain—termasuk saya—menjadi marah. Wah, jengkel rasanya!

Tapi sayangnya, dengan segala kejengkelan tersebut saya masih cukup bodoh untuk berobat di rumah sakit itu. Soalnya, semua riwayat dan catatan medis keluarga saya selama 5 tahun ada di sana! Lagipula saya masih berharap rumah sakit tersebut bisa mengubah sistem antrian yang lebih fair, setelah saya mengajukan komplain sebanyak tiga kali. (www.marketing.co.id)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.