Awareness terhadap Dunia Autisme

Setiap tanggal 2 April, dunia memperingati salah satu momen penting untuk dunia kesehatan, yakni hari autisme. Pada 2 April 2011 lalu, telah diselenggarakan acara “Walk for Autism” untuk merayakannya. Acara ini diadakan secara serentak di beberapa kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Balikpapan, Bali, Semarang, Pontianak, Bogor, Solo, Bontang, Samarinda, Sidoarjo. Negara-negara ASEAN yang mengadakan yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei, Laos, Vietnam, Filipina, Thailand, Myanmar, dan Kamboja.

Terkadang tidak mudah bagi orangtua untuk mendengar diagnosis autisme yang diberikan oleh dokter pada anaknya. Autis/autisme atau yang juga dikenal dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) bukanlah penyakit, tetapi gangguan kelemahan terhadap sistem saraf. Oleh karena itu, diperlukan perhatian ekstra bagi anak autis. Autisme lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan, dengan perbandingan 4:1. Prevalensi autisme meningkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun dan penyakit ini diyakini merupakan gangguan perkembangan serius dengan peningkatan paling pesat di dunia—bahkan Indonesia termasuk dalam urutan lima besar di dunia.

Autisme dapat terjadi pada semua ras, etnis, dan kelompok sosial. Sindrom ini mempunyai gejala yang bervariasi, dari yang ringan sampai berat. Autisme dapat diderita dari saat lahir atau masa pertumbuhan, yaitu gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya sudah tampak sebelum si anak mencapai usia 3 tahun. Gangguan perkembangan tersebut antara lain dalam hal komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku.

Dalam hal komunikasi, anak autisme tidak dapat berkomunikasi dengan normal, perkembangan bicaranya terlambat atau tidak berkembang, dan anak tersebut tidak mampu memulai pembicaraan atau berkomunikasi dua arah secara baik, serta mengulang bahasa yang tidak lazim. Anak autisme biasanya juga tidak mau bertatap mata atau menunjukkan ekspresi fasial dan gerak tubuh, tidak dapat berbagi emosi atau beraktivitas bersama teman sebayanya, tidak dapat berempati, dan tidak dapat berteman. Perilaku yang ditunjukkan oleh anak autisme sangat terbatas dan cenderung diulang-ulang. Mereka juga memiliki gerakan motorik yang aneh dan berulang (mengepakkan tangan), dan terpaku pada benda/mainan tertentu yang tidak berguna.

Anak autisme tidak seperti anak normal pada umumnya, mereka seperti memiliki dunia sendiri. Hal ini diakibatkan oleh gangguan perkembangan pada sistem saraf yang sangat kompleks. Akan tetapi, bukan berarti anak autisme tidak dapat beraktivitas seperti anak normal. Banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa anaknya menyandang autisme karena mereka tidak terlalu paham akan gejala autis. Sering kali mereka telat menyadarinya sehingga penanganan yang diberikan kepada anak autisme sudah terlambat. Nelwan, Direktur Eksekutif Rumah Autisme, mengatakan bahwa anak autisme lebih baik ditangani sejak dini—waktu yang paling ideal adalah pada saat anak autisme berusia di bawah 5 tahun. Penanganan yang dilakukan pada usia di atas itu akan lebih sulit dan harus dikerjakan secara ekstra.

Penanganan autisme dilakukan dengan cara terapi tanpa menggunakan obat—karena tidak ada obat khusus untuk itu. Terapi lebih membangun perilaku anak autisme. Banyak macam terapi bisa dilakukan, baik terapi dari segi medis maupun secara tradisional. Beberapa terapi yang sudah diakui oleh para profesional dan bisa dilakukan pada anak autisme antara lain Applied Behavioral Analysis (ABA), terapi wicara, terapi okupasi, terapi fisik, terapi sosial, terapi bermain, terapi perilaku, terapi perkembangan, terapi visual, dan terapi biomedik. Terapi lain yang dapat dicoba adalah terapi akupuntur, terapi musik, dan terapi oksigen hiperbarik. Terapi dilakukan one on one, yakni setiap anak autisme ditangani oleh satu orang terapis.

Akan tetapi, sering kali terapi ini tersandung dengan masalah dana. Para orangtua yang terlambat membawa anak mereka untuk terapi umumnya dikarenakan mereka tidak menyadari anaknya menyandang autisme, dan kebanyakan disebabkan ketiadaan dana yang cukup untuk terapi si anak. Pada umumnya biaya terapi autis berkisar Rp 100.000–Rp 150.000 untuk sekali pertemuan. Pemerintah belum banyak memberikan subsidi untuk terapi ini karena penanganan autisme di Indonesia belum menjadi prioritas utama di Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah memberikan subsidi kepada 3.500 orang anak autisme di Indonesia, namun di sisi lain jumlah penyandang autis di Indonesia sekitar 117.000 orang pada tahun 2010. Oleh karenanya, subsidi dari donatur sangat membantu bagi LSM peduli autis, yang dana operasionalnya relatif mahal.

Sebagai contoh adalah Rumah Autis, salah satu LSM yang bergerak di bidang terapi autisme, menerapkan sistem subsidi silang dalam mendanai terapi anak autis. Sebagian besar biaya terapi adalah dengan beasiswa. Dana berasal dari donatur dan subsidi dari anak-anak yang nonbeasiswa. Selain Rumah Autis, masih banyak tempat terapi autisme lain yang memerlukan bantuan dana untuk menjalankan terapi bagi anak-anak autisme yang membutuhkan. Masa depan anak-anak autisme tidak kalah cerah dibandingkan anak-anak normal pada umumnya. Oleh karena itu, gerakan peduli terhadap anak-anak autisme harus segera ditingkatkan.

Di Jakarta sendiri pada saat ini terdapat beberapa lembaga yang menangani penderita autis. Pada grafik dapat diketahui bahwa lembaga penanganan pasien autis terkonsentrasi di daerah Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur, masing-masing sebesar 47%, 29%, dan 15%. Sementara untuk daerah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara, masih sedikit lembaga yang menangani pasien autis dengan persentase masing-masing 6% dan 3%. Sehingga masih dibutuhkan banyak lagi lembaga penanganan masalah autis untuk daerah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara agar masyarakat di daerah tersebut mendapatkan pelayanan yang layak bagi anggota keluarga yang menderita autis. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.