BB dan BBM: Beda Nasib

Handi_IrawanKalau kekuatan indeks BlackBerry di Indonesia semakin melemah, pastilah mudah diduga. Di seluruh dunia, BlackBerry sedang mengalami krisis yang hebat dan pangsa pasarnya di tahun 2013 turun drastis. Hasil survei yang dilakukan Frontier Consulting Group terhadap Top Brand Index untuk kategori Ponsel Pintar di tahun 2014 menunjukkan bahwa indeks BlackBerry adalah 44,3%. Indeksnya masih cukup tinggi dan saya yakin, tahun depan akan menurun walau lebih lambat daripada penurunan di dunia.

Bila survei dilakukan untuk pasar remaja, penurunan BlackBerry sudah mulai terlihat. Di tahun 2013, BlackBerry memiliki indeks sekitar 59% dan kemudian di tahun 2014, Top Brand Index-nya hanya 43,6%. Dengan demikian terlihat jelas bahwa untuk pasar remaja, kekuatan merek BlackBerry mengalami penurunan yang lebih tajam. Ini juga sekaligus memberikan gambaran akan suramnya BlackBerry di masa mendatang. Pasar remaja adalah pasar masa depan yang menentukan tren di masa mendatang.

Walaupun demikian, hasil survei dari Frontier untuk Top Brand Index tersebut pasti masih membuat BlackBerry Indonesia cukup gembira. Di Amerika, BlackBerry pernah mengklaim sebagai merek untuk ponsel pintar yang memiliki pangsa pasar terbesar. Tiba-tiba, dalam hitungan kurang dari tiga tahun, pangsa pasarnya melorot hingga di bawah 10%. BlackBerry memang memiliki kinerja yang unik di Indonesia.

Sekilas Suksesnya

Merek BlackBerry atau yang sering disebut BB di Indonesia ini melejit dalam waktu yang singkat di tahun 2010. Sebuah merek yang menjadi kebanggaan dari para penggunanya.

PIN yang merupakan deretan delapan digit huruf dan angka, menjadi sebuah deretan yang penuh makna bagi para pemiliknya. PIN ini pernah menjadi alat ampuh bagi BB untuk memperoleh pangsa pasar. Banyak masyarakat kelas atas yang akhirnya membeli BB karena tidak ingin ditanya PIN-nya. Tidak memiliki PIN bagi seseorang yang memiliki jabatan di perusahaan seolah-olah ada status yang hilang. Kebanggaan memiliki PIN ini jauh lebih tinggi daripada kebanggaan memiliki nomor seluler.

Peran operator yang terus mempromosikan BB merupakan amunisi yang luar biasa bagi kemajuan BB. Walau sebenarnya operator juga kesal dengan BB yang mengenakan biaya cukup besar bagi mereka, yaitu sekitar US$6 per bulan per pengguna. Mereka terpaksa harus berlomba-lomba menawarkan paket BB demi mempertahankan pangsa pasar dan besarnya ARPU dari para pelanggan. Bagi BB, ini sungguh menjadi promosi gratis dari para mitranya.

Peran BBM (BlackBerry Messenger) sungguh vital bagi perkembangan BB di Indonesia. Indonesia menjadi contoh yang tertinggi Research in Motion (RIM) saat itu tentang keberhasilan BBM. Bahkan seloroh dari beberapa petinggi RIM adalah bahwa Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki grup BBM di BB penggunanya, dan tertinggi pula dalam hal jumlah anggota tiap grupnya. Adalah hal yang biasa bagi pengguna ponsel BB memiliki grup BBM dengan keluarganya, dengan para alumni sekolah mulai dari SD hingga universitas, dengan kolega di kantor yang satu departemen atau antar departemen, dan dengan komunitas gaya hidup, mulai dari komunitas yang tidak penting hingga komunitas yang serius. Tidak mengherankan, memiliki 10 grup BBM adalah hal yang biasa.

Akankah Bertahan?

bbKarena itu, keberhasilan dan kegagalan BB boleh dikatakan fenomenal dalam hal kecepatannya. Merek yang demikian perkasa, tiba-tiba meluncur tajam dan tidak mampu bersaing dengan merek ponsel pintar lainnya. Dalam konteks pasar Indonesia, apa penyebabnya?

Pertama, karena lambatnya perkembangan aplikasi dari BB. Android yang dimotori oleh Samsung dan iOS dari iPhone membuat keperkasaan BB mulai meredup. Para pengembang aplikasi yang besar lebih memilih Android karena melihat kelebihan dan masa depannya. Tidak mengherankan, perpindahan pelanggan BB yang pertama terjadi adalah dari segmen yang haus terhadap aplikasi-aplikasi baru.

Kedua, hubungan BB dengan para operator Indonesia yang kurang harmonis sejak awal. Ini bisa terjadi karena BB tidak memiliki tim yang benar-benar didedikasikan untuk pasar Indonesia pada tingkat yang memadai. Oleh karena itu, operator di Indonesia selalu membaca arah angin. Mereka hanya ingin mendukung ponsel atau operating system yang memiliki masa depan yang baik dan memberikan keuntungan lebih besar. Dengan relationship yang kuat, hal-hal seperti ini seharusnya bisa ditangani lebih baik oleh BB. Operatorlah yang memberikan pengaruh besar terhadap tingkat penjualan dari merek ponsel.

Ketiga, BB terlambat menyasar segmen kelas menengah bawah. Harga ponselnya masih belum terjangkau saat BB sudah menunjukkan penurunan. Padahal, saat BB baru berhasil menjual 3 juta, ponsel buatan China yang diberi merek oleh perusahaan di Indonesia seperti Nexian atau Cross, sudah mampu menjual ponsel Qwerty lebih dari 10 juta. Banyak yang ingin memiliki BB tetapi mereka belum mampu membelinya. Kalau pasar ini cepat dijangkau oleh BB, hari ini, loyalitas BB akan lebih tinggi dan nasib BB akan jauh lebih baik.

Keempat, BB juga sangat terlambat membangun jaringan pelayanannya. Keluhan-keluhan yang sudah demikian banyak dari BB tidak tertangani dengan baik karena BB terlambat membuat pusat layanan sendiri. Sebagian besar justru menjadi beban para operator dan para distributornya.

Yang tidak kalah penting adalah lemot-nya BB di Indonesia yang semakin dirasakan sejak tahun 2013. Terlepas dari peran operator dalam hal tersebut, tentunya banyak pelanggan memiliki persepsi bahwa ini harusnya juga menjadi tanggung jawab dari BB.

Kalau perusahaan BB sudah hampir bangkrut, nasib BBM jauh lebih baik. Perusahaan BB ini pada akhir tahun lalu, setelah banyak melakukan pemecatan karyawan dan mengalami penurunan pangsa pasar, hanya dihargai oleh investor sekitar Rp50 triliun. Itu hanya 25% dari nilai kapitalisasi PT Telkom atau hanya seperenam dari nilai kapitalisasi PT HM Sampoerna di Indonesia, atau kira-kira setara dengan PT Axiata di Indonesia. Dan nilai Rp50 triliun ini tentunya hanya karena BB memiliki BBM.

Langkah BBM untuk dapat diunduh di Android dan iOS memang sudah sulit dihindari lagi. Pada posisi ini, BB akhirnya lebih memilih menyelamatkan BBM daripada ponselnya.

Bagi para marketer, studi kasus BB memberikan banyak pelajaran akan kekuatan komunitas. BBM inilah yang menciptakan komunitas bagi BB. Hal tersebut juga terbukti di Indonesia. Dengan komunitas BBM yang besar dan loyal, nasib BBM di Indonesia terlihat masih aman-aman saja hingga akhir tahun 2015. Untuk memindahkan grup BBM ke WhatsApp, dibutuhkan kekompakan agar semua anggota grup memiliki WhatsApp.

Demikian pula puluhan juta pengguna Qwerty yang dulu bermimpi memiliki BBM, mereka masih menanti ingin mencoba. Sekali lagi, seberapa cepat BBM menggarap pasar kelas menengah bawah akan menjadi batu ujian terhadap kelangsungan BBM di Indonesia. Kelas menengah bawah ini sebenarnya suatu saat akan membantu agar pasar kelas atas BBM di Indonesia masih bisa terjaga. Logikanya seperti di industri telekomunikasi dan perbankan. Golongan atas pun memerlukan rekening dari golongan menengah dan menengah bawah untuk melakukan pembicaraan atau melakukan transaksi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.