Belajar Dari Musuh Terdekat

www.marketing.co.id – Dimulai dari kejatuhan berbagai industri pada awal tahun 2006, seperti kejatuhan industri garmen, industri timah, baja, dan lain-lain. Semuanya dimuat di halaman depan beberapa harian di Indonesia, seolah-olah hal ini mewakili ekonomi Indonesia yang semakin suram.

Di dunia media memang ada istilah “bad news is a good news”. Artinya, berita yang buruk kadangkala justru menjadi berita yang baik buat media karena menarik perhatian semakin banyak orang untuk membaca. Itulah sebabnya, bad news tersebut ditaruh di halaman depan. Walaupun, di balik itu, saya yakin ada semangat untuk mengingatkan kebijakan pemerintah yang mungkin salah.

Tapi yang bikin miris, kejatuhan beberapa industri tadi salah satunya adalah karena ketidakmampuan bersaing dengan produk-produk dari China. Mungkin fenomena ini bukan hal baru sejak masuknya motor-motor China ke Indonesia. Tapi kekuatan produk mereka dalam menjelajah pasar di Indonesia semakin lama semakin terasa. Contohnya produk mainan. Saya cukup terkejut melihat keyboard mini atau laptop mainan, yang bisa menyimpan ribuan kata dalam bahasa Inggris, dijual dengan harga yang tidak sampai 100 ribu rupiah. Produk mainan ini begitu banyak hadir di pusat-pusat perbelanjaan dan mulai menyingkirkan mainan-mainan bermerek seperti Tamiya.

Tinta-tinta China juga banyak beredar di kalangan industri barang promosi. Pada tahun 2004 lalu harga membuat standing banner dengan cetak digital mencapai 700 ribu rupiah. Kini, dengan hadirnya tinta dan barang dari China, harga produksinya bisa ditekan hingga 250 sampai 450 ribu rupiah. Good news buat pemasar, tapi bad news buat pengelola digital printing yang kini harus menghadapi perang harga.

Hebatnya, dengan produksi massal dan harga yang rendah membuat semua produk yang datang dari China tidak peduli dengan merek. Mereka pun bisa menjual mainan berbentuk bajaj dengan tulisan “Bajaj Bajuri”. Tidak mengherankan, mereka memang masuk ke segmen pasar yang sangat price sensitive dan tidak mementingkan brand image. Pemain dari China memang bukan pemasar yang baik, tapi mereka adalah pedagang yang baik. Sedangkan pemain di Indonesia—yang semakin terdidik baik oleh para pakar pemasaran—adalah pemasar yang baik. Hal ini yang dimanfaatkan oleh para pemain dari negeri tirai bambu itu. Mereka menjual produk ke Indonesia dan mempersilakan para pemasar di Indonesia mempergunakan cap merek apapun.

Apa untungnya menggunakan merek bagi para pemain dari China, jika harus mengeluarkan budget pemasaran yang tidak sedikit untuk membangun merek. Akibatnya harga menjadi tidak bisa bersaing. Repotnya, merek itu mengandung unsur kualitas di mana image mereka untuk unsur yang satu ini belum ada. Mengambil cerita Samsung, perusahaan ini pun mengalami proses yang teramat panjang dalam membangun merek. Samsung menghabiskan banyak waktu dan uang untuk bisa menjadi merek global. Dahulu Samsung merupakan supplier untuk beberapa private brand. Tahun 80-an mereka memulai proyek global brand dan untuk itu mereka melakukan riset berskala global, melakukan kerja sama operasi di berbagai negara, dan melipatgandakan R&D budget. Baru di akhir 90-an brand mereka mulai terangkat dengan menjadi sponsor Olympiade. Hal seperti ini sulit dilakukan para pemain yang masih bermental pedagang. Cara yang paling mudah mendapatkan untung cepat adalah menjadi OEM (Original Equipment Manufacture) dan membiarkan para pembeli bersaing dengan merek masing-masing.

Jika membaca sebuah jurnal dari McKinsey, kemampuan mereka menjelajah pasar global memang dimungkinkan karena desakan persaingan di dalam negeri. Di Indonesia, pasar yang semakin sempit tidak mampu mendorong pemain di Indonesia untuk beranjak ke pasar global, karena harga produksi yang tinggi tidak membuat Indonesia memiliki kemampuan bersaing. Seorang pengusaha pernah mengkritik pemerintah di depan saya. Bagi dia, bodoh sekali jika penguatan rupiah dianggap sebagai sebuah prestasi. Justru penguatan rupiah membuat daya saing produk di pasar global menjadi lemah.

Mungkin paham sang pengusaha tidak mudah dipahami para pekerja. Namun yang mengherankan saya, pemerintah masih berfokus pada kekuatan yang dimiliki dalam negeri untuk mengekspor produk, bukan melihat permintaan pasar global dan baru membangun kekuatan dalam negeri. Istilahnya, pemerintah masih menjadi selling oriented company dan bukan menjadi market driving company (apalagi menjadi market driven company). Artinya, yang dijual adalah apa yang “ada” dan bukan menjual apa yang diinginkan pasar. Akibatnya kita kesandung lagi gara-gara garmen, minyak bumi, timah, baja, kayu, pariwisata, dan lain-lain. Kita memang kuat di bidang tersebut, tapi pasar global mudah memainkan harga komoditas seperti itu.

Jadi setiap rencana pemerintah, seharusnya, selalu melihat industri apa yang secara jangka panjang punya prospek pemasaran baik di luar negeri, berapa investasi yang diperlukan untuk membangun industri penunjangnya, bagaimana mobilitas sumber daya manusia ke industri penunjang tersebut, dan bagaimana agar kita memiliki daya saing. Menteri yang mengurus keamanan kemudian memastikan pasokannya tiba dengan aman dan cepat ke tangan manufaktur di luar negeri.

Jika belum bisa bermain sebagai global brand yang baik, bermainlah sebagai OEM yang baik dulu. Belajarlah dari musuh atau pesaing yang kini sudah ada di sekitar kita. Barangkali kehadiran produk China ini bukan menjadi bad news, tetapi justru menjadi good news. (Rahmat Susanta)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.