Belanja Online Meningkat, Waspadai Kasus Kejahatan Digital

Marketing.co.id – Berita Digital |  Tren penipuan digital telah menjadi lebih canggih selama dua tahun terakhir, dan meningkat dalam sembilan bulan terakhir karena pandemi telah mengubah cara konsumen berinteraksi dengan layanan keuangan dan perdagangan. Di tengah keterbatasan yang disebabkan oleh virus korona, aplikasi seluler dan saluran online yang berkembang pesat menjadi kebutuhan yang cukup vital.

Director perusahaan teknologi analitik SAS Indonesia, Febrianto Siboro

Baca Juga: Cybercrime Kian Mengancam, Berikut 4 Prinsip Dasar Cybersecurity

Menurut Managing Director perusahaan teknologi analitik SAS untuk Indonesia, Febrianto Siboro, penipuan digital sekarang telah menjadi perhatian serius. Ini tidak dianggap sebagai kejahatan tunggal yang berdiri sendiri, tetapi mencakup serangkaian tindakan ilegal dan terlarang yang dilakukan di dunia maya. Konsumen saat ini lebih banyak menghabiskan waktu di “platform virtual” dan berbelanja secara online.

“Ada begitu banyak acara belanja meriah online besar-besaran yang berlangsung akhir-akhir ini dan konsumen pun mencari pengalaman berbelanja tanpa uang tunai. Ini mungkin menjadi berkah selama krisis, namun di sisi lain telah terjadi peningkatan frekuensi upaya penipuan,” ungkapnya saat dihubungi di Jakarta (28/1).

Baca Juga: Cybercrime Tinggi, Indonesia Harus Meningkatkan Cybersecurity

Virus korona, tambah Febrianto, tidak mengubah tentang bagaimana cara penipuan dilakukan, namun lebih kepada resiko penipuan secara digital. “Semua bisnis di platform digital menyimpan data konsumen, namun pertanyaannya tetap, seberapa aman data ini? Jawabannya adalah tidak sepenuhnya aman, dan peretas terus-menerus berinovasi dengan cara-cara barunya.  Seiring dengan bisnis digital, muncul juga pengalaman pembayaran digital karena teknologi menjadi lebih mudah digunakan. Bahkan, negara berkembang mengadopsi praktik yang sama untuk menjaga bisnis mereka tetap bertahan.”

Lingkungan global memaksa populasi besar yang ‘tidak memiliki rekening bank’, terutama di ASEAN, untuk menggunakan metode pembayaran tanpa uang tunai (cashless)dan bahkan produk perbankan digital yang belum pernah ada sebelumnya. Ini adalah pengalaman yang benar-benar baru bagi pengguna dan peluang baru bagi bank, tetapi semuanya membawa tantangan baru dengan basis pelanggan yang sangat rentan terhadap penipuan, pencurian identitas dan pengambilalihan akun pihak ketiga.

Baca Juga: Lebih Akurat! Identifikasi Risiko dengan Memahami 3 Tren Ancaman Cyber Ini

“SAS punya solusi pencegahan dan deteksi penipuan dari ujung ke ujung, mendukung banyak saluran dan lini bisnis serta memungkinkan pemantauan seluruh perusahaan dari satu platform. Solusi ini menyederhanakan integrasi data, memungkinkan lembaga keuangan menggabungkan semua data untuk membuat model prediksi yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Solusi analisis data dan machine learning kami memungkinkan pemantauan transaksi non-moneter sehingga memungkinkan perusahaan, secara real time,  untuk mengidentifikasi dan merespons perilaku yang mencurigakan,” jelas Febrianto lagi.

Beberapa jenis penipuan digital yang paling umum di Indonesia antara lain malware, phishing, kartu palsu dan pengambilalihan akun. Jika lembaga keuangan tidak menemukan cara untuk mencegah penipuan, terdapat risiko nyata kehilangan kredibilitas dan kepercayaan konsumen.

Baca Juga: 3 Risiko Cybersecurity Pada Bisnis di Era Revolusi Industri 4.0

“Mendeteksi adanya penipuan lebih cepat akan mengurangi kerugian pendapatan. Teknologi machine learning mampu mendeteksi dan beradaptasi dengan pola perilaku yang berubah, sehingga memungkinkan bank dengan mudah menemukan anomali untuk setiap pelanggan,” ujarnya.

Febriano mencontohkan Krungsri Consumer, anak perusahaan Bank of Ayudhya. Sebelumnya, bank terbesar kelima di Thailand ini mengandalkan sistem deteksi penipuan yang berusia 15 tahun untuk memantau pembelian kartu kredit, keuangan penjualan dan transaksi pinjaman pribadi. Tetapi perbankan telah melakukan digitalisasi dalam metode transaksinya, di saat yang sama penipu juga tumbuh lebih inventif.

Baca Juga: Prediksi Serangan Siber di 2021

Mereka pun menyadari bahwa untuk mengembangkan divisi consumer banking secara berkelanjutan, diperlukan sistem pemantauan penipuan yang lebih kuat. Sistem lamanya diganti dengan SAS Fraud Management yang menggunakan analitik dan machine learning untuk memantau transaksi kartu kredit mencurigakan secara real time. Sistem dan teknologi SAS tersebut membantu mengurangi volume peringatan kasus sebesar 40%, serta meningkatkan tingkat deteksi penipuan hingga 35%.

“Sekarang, setiap kali aktivitas mencurigakan teridentifikasi, tim penyelidik dapat menyelidiki kasus dengan lebih efisien karena lebih sedikit aplikasi yang dibutuhkan. Platform yang lebih mudah digunakan dan membantu mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kasus, dan meningkatkan produktivitas dalam tim pemantau penipuan. Solusi kami lebih fleksibel dan dapat dipraktikkan dengan mudah dan efisien tanpa dukungan TI,” tutupnya.

Marketing.co.id: Portal Berita Marketing & Berita Bisnis

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.