Beramal Sambil Membangun Merek di Digital

Marketing.co.id – CSR digital lebih efektif membangun citra merek atau perusahaan. Selain berbiaya murah juga mampu memompa kinerja merek di digital. Namun sebelum melakukannya, perusahaan mesti paham karakter netizen.

Di era digital saat ini, pemilik merek memiliki kesempatan luas untuk memiliki media sendiri. Baik itu berupa website, micro site, akun di media sosial—seperti Facebook, Twitter, YouTube, atau yang lainnya. Namun, setelah memiliki media sendiri (owned media) tim digital marketing perusahaan dipaksa untuk menjadi pengelola media sendiri.

Seperti pernah diutarakan pakar marketing Handi Irawan dalam artikel berjudul “Paid-Owned-Earned” (Majalah MARKETING edisi Januari 2013), tidak mudah mengelola media sendiri, karena perusahaan umumnya masih terbiasa menggunakan media konvensional berbayar (paid media).

Menurut Handi Irawan, media sosial dan website yang dikelola perusahaan belum memiliki kekuatan. Trafik website kecil, jumlah follower dan fans juga sulit bergerak. Salah satu penyebabnya karena mereka lemah dalam menciptakan dan mengemas konten.

Beberapa perusahaan mencoba membuat terobosan untuk meningkatkan kinerja mereka di dunia maya. Selain menciptakan game interaktif, beberapa merek melakukan aksi CSR (corporate social responsibility) secara digital. NutriSari dan LG adalah merek yang pernah menggelar program CSR berbasis digital.

Melalui “Nutrisari Social Garden” di media sosial, NutriSari mengajak konsumennya berkebun secara virtual sekaligus beramal secara nyata. Program ini merupakan kombinasi antara online dan offline. Selain memperkuat positioning, keberadaan Social Garden merupakan bentuk kontribusi terhadap program petani binaan kebun NutriSari di Sentul agar bermanfaat bagi masyarakat luas.

Permainan ini bisa dinikmati di Facebook: NutriSari dan Twitter: @NutriSariID. Cara memainkannya, pengguna harus memilih jenis tanaman yang disukai, seperti bayam, caisim, kangkung, pakcoi, selada, dan srikaya.

Permainan ini virtual tapi nyata, karena pada saat yang sama NutriSari menyediakan lahan seluas 4,9 ha untuk menanam tanaman tersebut dan mendonasikan hasil panennya sebagai bentuk strategi CSR marketing.

Pada permainan ini berlaku sistem reward and punishment. Peserta yang rajin merawat kebunnya akan memperoleh poin tinggi. Sebaliknya bagi yang malas merawat, poin dan level permainannya akan berkurang.

Program ini cukup sukses, fans NutriSari di Facebook melonjak menjadi 56.000, follower merangkak menjadi 73.000, dan tercatat 14.887 peserta ikut berkebun di social garden.

Lalu, di mana CSR-nya? Hasil panen virtual tersebut disumbangkan ke yayasan sosial. Lewat program ini NutriSari bukan hanya telah melakukan CSR berbiaya murah, namun juga mampu menciptakan engagement di media sosial dengan konsumennya. Mereka pun senang menjadi bagian dari program tersebut karena bisa menyumbang tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.

Dalam bentuk yang lebih sederhana, PT LG Electronics Indonesia pernah membesut program “LG Support Future Stars”. Program ini didedikasikan kepada anak-anak Indonesia dari keluarga kurang mampu yang memiliki bakat istimewa dalam bermain sepakbola.

Dalam menjalankan programnya, LG juga mengajak masyarakat untuk berpartisipasi. Mereka hanya perlu memberi “like” pada akun “LG Loves Indonesia Facebook Fan Page”.

Keterlibatan masyarakat juga dijaring melalui Twitter dari setiap komentar yang masuk dengan menggunakan hashtag #LgsupportfutureStars sepanjang periode kampanye. Setiap like dan hashtag yang terkumpul dikonversi dengan donasi sebesar Rp1.000.

Sepanjang tiga bulan masa kampanyenya, LG Support Future Stars berhasil menghimpun 58.283 dukungan dari masyarakat yang bila dikonversikan menjadi donasi senilai Rp 58.283.000. LG menggenapkan nilai donasi menjadi Rp100 juta.

Berkat donasi ini, Arif Rahman, Eriyanto, dan Nur Nugroho bisa menikmati sekolah sepakbola di Bocca Junior Indonesia. Sebagian sumbangan diberikan untuk perbaikan lapangan sepakbola di Desa Kerang Mukti, Bekasi.

LG cukup getol melakukan CSR digital. Selain program di atas, LG juga sempat meluncurkan program “LG Click and Donate” di Facebook beberapa waktu lalu.

Caranya juga sederhana, untuk setiap “like” dari pengunjung, LG menghargainya dengan satu batu bata yang selanjutnya disumbangkan untuk pembangunan fasilitas pendidikan bagi anak-anak jalanan.

Dalam hitungan hari, program ini berhasil mengumpulkan 10.000 like, dan itu artinya ada 10.000 batu bata yang disumbangkan. Program ini dilanjutkan dengan sumbangan uang tunai sebesar Rp1.000 untuk setiap klik dari partisipan.

Jumlah klik yang berhasil digaet mencapai 44.172 klik, dan setelah dikonversi dengan uang Rp1.000, jumlahnya mencapai Rp44.172.000. LG lagi-lagi menambah donasi menjadi Rp200 juta, dan sumbangan diserahkan untuk pembangunan perpustakaan untuk anak-anak jalanan di daerah Bekasi.

Bentuk CSR Digital yang Cocok

Menurut pengamat brand PR Silih Agung Wasesa, dari segi biaya CSR digital lebih murah ketimbang CSR konvensional. Meski dianggap lebih murah, besaran biayanya belum dapat dipastikan. Jika dibanding dengan kampanye konvensional, biayanya yang bisa dipangkas sampai 60%.

Agar berhasil, program CSR harus dikemas semenarik mungkin, karena tidak mudah menarik simpati warga dunia maya pada sebuah kampanye di digital. Bahkan kampanye yang mengajak mereka untuk beramal.

Karena usia netizen rata-rata di bawah 35 tahun, modelnya harus partisipatif. Jadi, bukan sekadar komunikasi dan memberikan informasi, tetapi harus menggerakkan mereka untuk bergabung dan memiliki andil.

“Bentuknya bukan hanya berpartisipasi secara online atau me-like media sosial yang disediakan pemilik merek, tetapi ikut berpartisipasi secara offline. Mungkin, Indonesia merupakan sedikit negara yang kegiatan online dan offline-nya nyambung dibanding negara lain, seperti Amerika,” jelas Silih.

Lebih jauh ia menjelaskan, karakter usia netizen yang berkisar 13–35 tahun sulit untuk diajak fokus. Kalau membaca berita atau artikel, mereka tidak membaca yang mendalam dan berat. Mereka juga tidak terlalu familier dengan tulisan atau kata-kata yang panjang.

“Artinya para netizen menyukai informasi yang ringkas dan mudah dipahami. Termasuk sebagai generasi visual mereka lebih menyukai game, video, ataupun augmented reality (AR) yang lebih atraktif dan interaktif. Ketika ada aksi, maka ada reaksi,” lanjutnya.

Pada dasarnya setiap industri bisa melakukan kampanye CSR secara digital. Namun, katanya commercial brand akan lebih cocok karena CSR bertujuan meningkatkan value merek ke konsumen. Consumer goods yang memiliki dampak langsung ke konsumen seperti susu, obat-obatan, pasta gigi, sangat cocok melakukan CSR digital.

Dia memprediksi 2 atau 3 tahun ke depan akan semakin banyak perusahaan yang melakukan CSR digital untuk membangun merek dan citra perusahaannya. Hal ini karena sudah terjadi perubahan paradigma dalam memandang CSR.

Dulu banyak perusahaan yang menjadikan departemen CSR sebagai departemen “buangan” yang diisi oleh SDM yang memasuki masa pensiun dan SDM bermasalah, karena dianggap sebagai pekerjaan yang paling mudah.

Nah, sekarang sudah banyak perusahaan yang menyadari betapa pentingnya departemen CSR dengan merekrut SDM yang kreatif dan berusia muda, serta menggunakan teknologi digital,” tegasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.