Berambisi Jadi World Class Organization

Joko_MogogintaMarketing.co.id – PT Tiga Pilar Sejahtera Food atau TPS Food merupakan perusahaan makanan yang memiliki sejarah cukup panjang. Cikal bakalnya dimulai ketika Tan Pia Sioe mendirikan pabrik bihun jagung di Sukoharjo, Jawa Tengah, dengan merek “Cap Cangak Ular” pada tahun 1959.

Kemudian, berbekal kultur manajemen yang erat sebagai sebuah keluarga, tradisi, serta loyalitas konsumen, pada tahun 1992, keturunan ketiga Tan Pia Sioe, Joko Mogoginta, mendirikan PT Tiga Pilar Sejahtera, yang namanya sendiri diambil dari inisial Tan Pia Sioe (TPS).

Di bawah tampuk kepemimpinan Joko Mogoginta, perusahaan bihun dan mie kering milik keluarga ditransformasi menjadi manajemen profesional. Alhasil, bisnis raja mie dari Sragen ini semakin menggurita ke berbagai lini produk dengan tiga bisnis utama, yaitu makanan (TPS Food), perkebunan kelapa sawit (TPS Palm Oil), dan beras (TPS Rice).

Nah, untuk mengetahui lebih jauh mengenai agresivitas penghobi wayang dan wine dalam mengembangkan bisnis TPS, berikut adalah petikan wawancara jurnalis Majalah MARKETING Moh. Agus Mahribi dan fotografer Lilyanti.

Bisa diceritakan awal-awal Anda berkiprah di bisnis makanan?

Latar belakang saya—yang dilahirkan di kalangan pengusaha makanan—membuat saya sangat dekat dengan bisnis makanan. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya sudah membantu usaha keluarga. Hal itu berlanjut hingga SMP, bahkan saya sudah melakukan pemasaran dengan mencari calon konsumen, menerima pesanan dan penagihan pembayaran di pasar-pasar dekat tempat tinggal di Kota Solo.

Malahan ketika SMU, saya sering melakukan perjalanan ke luar kota untuk aktivitas pemasaran. Usai menuntaskan pendidikan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Teknologi Pangan tahun 1991, karier saya secara profesional dalam menapaki bisnis makanan dimulai. Pada tahun 1992, saya mendirikan PT Tiga Pilar Sejahtera di Sragen, Jawa Tengah, perusahaan bihun dan mie kering dengan merek “Superior”.

Tantangan pertama yang  dihadapi ketika itu?

Pada awalnya, produk bihun dan mie kering Superior sangat sulit diterima oleh pasar. Terus terang, latar belakang pendidikan saya, teknologi pangan, sangat bertentangan dengan kebutuhan pasar. Apalagi dari sudut pandang dan keilmuan saya, kala itu saya menilai banyak produk yang salah kaprah.

Misalkan, produk bihun yang baik menurut saya memiliki tekstur yang lembut, bagus, dan tidak putus-putus. Namun kenyataannya, permintaan pasar tidak seperti itu.

Banyak konsumen yang menganggap produk tersebut bukan bihun karena sangat keras, susah dimasak, dan bumbu tidak meresap. Pada akhirnya, karena keinginan dan kebutuhan pasar seperti itu, maka produk diubah dan disesuaikan, termasuk dilakukan perubahan dan pembenahan dalam strategi pemasaran.

Cara Anda memimpin perusahaan dan bagaimana model kepemimpinan yang diterapkan?

Ada filosofi yang ditanamkan dalam benak saya, bahwa semuanya harus seimbang sehingga dalam bekerja harus work hard, work smart, dan work fast secara best-practice, lebih modern, lebih sederhana, dan tentu lebih baik dengan hasil yang baik pula.

Di sini kepemimpinan yang diterapkan adalah menempatkan diri sebagai agent of change yang nantinya dapat ditiru oleh karyawan, sekaligus menempatkan dan melibatkan karyawan sebagai bagian terpenting dalam mencapai tujuan, visi, misi, dan nilai-nilai serta target perusahaan.

Strategi apa yang dilakukan dalam meningkatkan pertumbuhan bisnis makanan?

Strategi menggenjot pertumbuhan bisnis dilakukan dengan menjadikan Tiga Pilar Sejahtera sebagai perusahaan terbuka dengan backdoor listing dan mengakuisisi PT Asia Inti Selera, Tbk (AISA), sebuah perusahaan produsen mie kering dengan merek “Ayam 2 Telor” di tahun 2003. Termasuk mengubah nama perseroan menjadi PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk (TPSF) dengan kode emiten AISA. Kemudian, pada tahun 2008, TPSF melakukan akuisisi atas PT Poly Meditra Indonesia (PMI) yang bergerak di bidang produksi makanan konsumsi, berupa biskuit dan jenis snack lainnya.

Strategi akuisisi ini cukup jitu memperluas cakupan produk TPSF guna memenuhi perubahan selera dan permintaan pasar yang semakin dinamis. Saat ini, produk makanan TPSF dibagi menjadi dua jenis.

Pertama, basic food yang dijalankan Tiga Pilar Sejahtera. Jenis ini terdiri dari empat kategori produk, yaitu mie kering, mie kering premium, bihun, dan bihun premium yang dipasarkan dengan beberapa merek dagang, seperti mie Ayam 2 Telor, Superior, Filtra, dan Buah Kurma. Jenis kedua, consumer food yang terdiri dari beberapa kategori produk, meliputi mie dan bihun instan, sereal, biskuit, waferstick, dan permen.

Akuisisi kembali ditebar di akhir tahun 2011 lalu. Lini consumer food mendapatkan tambahan aset baru berupa snack Taro beserta fasilitas produksinya hasil akuisisi dari PT Unilever Indonesia, Tbk senilai Rp240 miliar.

Tak berhenti di situ, akuisisi kembali dilanjutkan pada akhir tahun lalu atas PT Subafood Pangan Jaya, produsen makanan olahan berupa produk bihun jagung senilai Rp100 miliar.

Selain basic food dan consumer food, TPSF telah melakukan diversifikasi usaha ke industri makanan pokok. Bisa dijelaskan mengenai hal ini?

Sejak tahun 2010, TPSF mulai menjelajahi bisnis makanan pokok melalui komoditas beras dan kelapa sawit. Ekspansi bisnis beras dimulai melalui anak usaha PT Dunia Pangan (TPS Rice), dengan model  bisnis “paddy to rice”, yaitu mengonversi padi basah (GKP) yang dibeli dari petani dan dikeringkan serta diolah menjadi beras menggunakan mesin modern. Untuk merealisasikan model bisnis ini, TPSF mengakuisisi perusahaan penggilingan beras modern milik PT Jatisari Sri Rejeki (JSR) yang berlokasi di Cikampek, Jawa Barat.

Joko_Mogoginta_01aBerikutnya, dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, TPSF kembali mengakuisisi perusahaan beras lainnya, yakni PT Alam Makmur Sembada beserta merek “Ayam Jago” yang telah dimiliki PT Indo Beras Unggul (IBU).

Gabungan kedua kapasitas pabrik ini memungkinkan TPS Rice memproses 800 ton gabah kering per hari. Bisnis beras ini sudah mulai berkembang, baik dari sisi produksi maupun pemasaran. Bila dulu memosisikan diri sebagai manufacturing company, sekarang TPSF mengalami pergeseran menjadi marketing company yang ditopang kekuatan manufacturing.

Sementara bisnis kelapa sawit (TPS Palm Oil) juga mengakuisisi perusahaan perkebunan kelapa sawit baru. Hingga tahun 2011, landbank yang dimiliki sudah mencapai 79.000 ha dan telah ditanami seluas 17.000 ha. Rencananya penanaman akan dilakukan sebanyak 7.000-10.000 ha per tahun; sedangkan target produksi, termasuk mulai mengoperasikan pabrik crude palm oil (CPO) di tahun 2013.

Apakah strategi akuisisi ini cukup berhasil?

Pastinya, ya. Bisa terlihat dari revenue growth yang tumbuh secara signifikan, profit atau nett income yang juga meningkat. Selain pertumbuhan anorganik yang diperoleh dari akuisisi, pertumbuhan organik dalam beberapa tahun terakhir juga cukup besar, seperti bihun dan mie kering, bahkan produk jenis ini mampu mendominasi pasar.

Apakah akuisisi akan terus dilakukan?

Bila memang ada dan memenuhi kriteria yang ditetapkan. Tentu akuisisi masih dibutuhkan untuk mempercepat akselerasi pertumbuhan bisnis TPSF sendiri. Namun, terlepas dari itu, pertumbuhan organik akan terus digenjot agar bertumbuh di atas rata-rata industri dan mendominasi pasar.

Akuisisi harus dilakukan secara selektif, semisal perusahaan yang akan diakuisisi harus memiliki fondasi bisnis yang kuat dan ekuitas merek yang cukup tinggi, termasuk memprioritaskan pada higher margin product dengan gross margin minimal 40%. Tujuannya agar lebih mudah dalam melakukan aktivitas pemasaran, khususnya promosi.

Bagaimana Anda melihat pasar makanan dan perilaku konsumen di Indonesia?

Permintaan makanan dasar (basic food) dan makanan siap konsumsi (consumer food) di Indonesia terus bertambah tinggi seiring peningkatan jumlah penduduk. Dan terpenting lagi, meningkatnya perekonomian masyarakat secara langsung memengaruhi daya beli mereka. Namun, konsumen saat ini bersifat lebih kompleks dan jauh lebih dinamis. Jadi, TPSF harus senantiasa bekerja secara konsisten untuk mengakomodir dan memenuhi kebutuhan mereka dengan meluncurkan berbagai produk baru berkualitas ke pasar.

Sebagai contoh, keberhasilan akuisisi snack Taro merupakan strategi marketing TPSF yang telah dipersiapkan sejak tiga tahun lalu. Pasalnya, TPSF sudah menjadi perusahaan yang marketing oriented. Bila sebelumnya memiliki produk menengah-bawah, tentunya keberhasilan akuisisi Taro ini membuat TPSF masuk ke higher margin product.

Sampai hari ini, TPSF sudah memiliki sembilan produk unggulan, antara lain Superior, Ayam 2 Telor, Gulas, Tanam Jagung, Growie, Bihunku, Taro, Mie Kremezz, dan Ayam Jago.

Bagaimana strategi marketing yang diterapkan?

Bila dibandingkan beberapa tahun lalu, strategi pemasaran yang dilakukan sudah sangat berkembang dan terstruktur. Semisal, TPSF telah memiliki brand manager di setiap produk, tentunya memegang peranan penting untuk memastikan hasil yang optimal dari merek yang ditawarkan. Kampanye pemasarannya pun tidak selalu menekankan pada pengenalan produk-produk, tetapi juga melibatkan konsumen akan kepedulian terhadap lingkungan.

Bentuk kampanye pemasarannya melalui TVC, customer promo, dan trade promo. Hasilnya cukup efektif dengan masuknya dua merek TPSF, yakni Mie Kremezz dan Taro sebagai merek top pada ajang Top Brand for Kids and Teens hasil survei Frontier Consulting Group.

Target pengembangan bisnis TPSF dalam lima tahun mendatang?

Berbicara target pertumbuhan bisnis perseroan, TPS Food dalam waktu dekat pertumbuhannya dicanangkan sekitar Rp9 triliun. TPS Rice pada lima tahun mendatang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi di Indonesia dengan market share sebesar 5%, ekuivalen dengan 2 juta ton beras, atau nilainya Rp16 triliun sampai Rp20 triliun. Untuk TPS Palm Oil sendiri, bersama mitra bisnis Bunge Agribusiness Singapore Pte Ltd, diharapkan bisa memiliki kebun kelapa sawit seluas 200 ribu ha.

Apakah ada rencana ekspansi ke pasar global?

Saat ini TPSF telah mempersiapkan divisi khusus pemasaran global yang berbasis di Singapura. Menimbang, selama ini beberapa produk sudah mulai diekspor, seperti permen Gulas, mie instan, dan biskuit, meskipun nilainya masih sangat kecil, di bawah 3% dari total penjualan TPSF.

Adanya divisi pemasaran global dikarenakan perseroan menginginkan pertumbuhan bisnis yang signifikan serta bisa mencapai tujuan dan target utama, yakni world class organization. Diharapkan 3–5 tahun mendatang TPSF dapat meningkatkan nilai ekspor hingga 10% dengan membidik beberapa negara ASEAN, Cina, Timur Tengah, Afrika, dan Australia.

 

Fotografer: Lilyanti

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.