Berani Buka Mal di Pelosok

Apa yang dilakukan BlackSteel berlawanan dengan yang dilakukan pengembang pada umumnya. Di saat pengembang berlomba-lomba membangun kawasan komersial di kawasan padat penduduk, BlackSteel justru membangun kawasan komersial di pinggiran kota yang penduduknya masih jarang, seperti di kawasan Indonesia Timur.

BlackSteel menggarap Indonesia Timur didasari pertimbangan bisnis dan non bisnis. Dari segi bisnis, Blacksteel merasa kawasan Indonesia Barat—terutama Jabodetabek—sudah terlalu banyak mal (over supply). Kondisi ini berpotensi menimbulkan perang harga tarif sewa mal.

Adapun terkait pertimbangan non bisnElsye Tanihahais, BlackSteel ingin berkontribusi pada pemerataan pembangunan di Indonesia. Sudah menjadi rahasia umum terdapat kesenjangan pembangunan antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Di sisi lain, faktor Indonesia sebagai negara kepulauan membuat disparitas harga antara Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur makin melebar.

Dua faktor di atas membuat pengembang enggan menggarap Indonesia Timur, karena harga yang ditanggung terlalu besar. “Tapi bagi BlackSteel, kita tidak harus selalu mencari uang. Kita harus pula berpikir dampak sosialnya. Sebagai contoh membuka lapangan pekerjaan, sehingga mengangkat taraf perekonomian suatu daerah,” tutur Elsye Tanihaha, Public Relation and Marketing Director BlackSteel.

Kombinasi antara bisnis dan idealisme yang membuat BlackSteel berani mengembangkan lahan rawa-rawa seluas 8 hektare di Indonesia Timur. Sekitar 2,5 hektare dari lahan tersebut sudah dibangun kawasan komersial yang diberi nama Ambon City Center (ACC). Ambon City Center yang berlokasi di Paso sudah beroperasi sejak 2,5 tahun lalu dengan tingkat isian tenant mencapai 100%.

Harga yang harus dibayar BlackSteel untuk mengoperasikan ACC sangat mahal, karena investasi yang dibutuhkan 70% lebih mahal dari membangun mal sejenis di Jawa. Investasi menjadi lebih mahal karena material dan tenaga kerja masih harus didatangkan dari Jawa. Ironisnya lagi, meskipun investasinya lebih mahal BlackSteel tidak bisa menerapkan tarif sewa yang lebih tinggi dari biasanya.

“Karena kita membawa tenant ke situ (Ambon) tidak gampang, mereka mau ikut kita sudah miracle, ajaib. Kalau kita kasih tarif sewa lebih mahal mana mau mereka datang. Karena mereka kirim barang saja biaya logistiknya bisa lebih mahal 30%,” jelas Elsye.

Meski sulit mendatangkan tenant, pihaknya tidak melakukan strategi khusus dalam menarik mereka. Karena pada dasarnya, tenant juga berambisi melebarkan sayap bisnis ke Indonesia Timur. Namun, mereka belum bisa mewujudkannya karena belum ada mal yang representatif di Indonesia Timur.

“Di Indonesia Timur seperti Ambon, Sorong, mereka bilang punya mal. Padahal jika di Jakarta, yang mereka bilang mal itu ukurannya seperti ITC (strata tile). Saya katakan mal yang dibangun BlackSteel berstandar internasional, 100% sewa. Kami tidak menjual strata,” tegasnya.

Menjadi pelopor di bisnis properti ibaratnya menjadi “radar” bagi kompetitor. Jika gagal, kompetitor tidak akan mengikuti. Sebaliknya jika berhasil, kompetitor akan ikut terjun. Begitu pun yang dialami BlackSteel, tidak jauh dari ACC sekarang berdiri pusat perbelanjaan baru. “Tapi 30% konsepnya masih strata, karena mereka ingin dapat uang di awal dengan adanya ruangan yang dijual. Tapi bisa saya katakan kami belum ada kompetitor di Ambon,” imbuhnya.

Ketika memutuskan masuk Indonesia tahun 2013, BlackSteel hanya ingin menggarap kawasan Indonesia Timur. Namun setelah melakukan observasi ke berbagai kawasan di Indonesia, ternyata masih banyak kawasan di Indonesia tengah dan barat yang juga membutuhkan pusat perbelanjaan modern. Di Pulau Jawa, BlackSteel membangun dan mengoperasikan Ponorogo City Center. Mal tersebut sudah beroperasi sekitar setahun.

Faktor Michael Riyadi dan Target Bangun 30 Mal

BlackSteel sebenarnya bukanlah pemain baru di bisnis properti. Perusahaan ini sebelumnya bernama Bliss Group dan sudah beroperasi sekitar 25 tahun. Bliss Group antara lain mengembangkan properti di kawasan Southern California. Proyek yang lain di antaranya hunian mewah dan kawasan komersial.

Setelah sekitar 25 tahun absen di Indonesia, pada tahun 2010 grup ini memutuskan kembali berinvestasi di Tanah Air. “Sejak tahun 2010, adik saya Isaac Bliss Tanihaha (Founder Bliss Group) pulang ke Indonesia, dan ingin membangun Indonesia, tapi masih dengan nama Bliss Group Indonesia,” jelas lulusan Masters in Entrepreneurial Stanford Graduate School of Business, AS, ini.

Ambon City CenterSejak tahun 2013, Michael Riady bergabung dengan Bliss Group. Michael bergabung dengan Bliss Group setelah melepas jabatannya sebagai Chief Executive Officer (CEO) di Lippo Malls. Nama Bliss pun diubah karena terkesan sebagai bisnis keluarga. “Nama BlackSteel dipilih karena terkesan lebih profesional,” ujar perempuan penyuka golf, yoga, dan traveling ini.

Masuknya cucu pendiri Lippo Group Mochtar Riyadi, membawa energi yang besar buat BlackSteel. Apalagi Michael menjadi pemegang saham mayoritas di BlackSteel dengan jabatan CEO BlackSteel Group.

Target BlackSteel terbilang ambisius, yakni membangun 30 mal di Indonesia, dan BlackSteel sudah menganggarkan sekitar Rp3 triliun untuk merealisasikan target tersebut. Tahun ini BlackSteel menargetkan membangun 6 mal, 4 di antaranya sedang dalam proses pembangunan, yakni Plaza Sorong, Kupang City Center, Lombok City Center, dan Ambon City Center Extension.

Meskipun tidak terkait langsung dengan bisnis Lippo Group, BlackSteel tetap akan memberikan prioritas kepada tenant dari Lippo Group seperti Hypermart dan Matahari sebagai anchor tenant di mal yang dikelolanya.

Tony Burhanudin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.