Bermula dari Sebuah Novel (2)

www.marketing.co.id – Product placement pertama bukan di film, tapi justru di novel. Tercatat novel berjudul Around the World in Eighty Days yang terbit sekitar awal abad ke-19 sebagai media hiburan pertama yang disusupi iklan.

“Waktu itu diketahui banyak perusahaan shipping dan ekspedisi yang mencoba me-lobby penulis untuk memasukkan nama perusahaan mereka di dalam novel. Berapa yang dibayar tidak tercatat. Dari situlah product placement mulai berkembang sampai ke fitur film. Salah satu pelopornya adalah coklat yang terkenal di dunia, Hershey’s. Karena terbukti berhasil, strategi placement ini berkembang secara luar biasa sampai ke radio, internet, dan games,” ungkap Ivan.

Menurut Ivan, secara emosional product placement efektif, karena mindset konsumen ketika menonton, membaca, atau berinteraksi dengan media hiburan ini sangat berbeda ketika mereka melihat iklan. “Secara psikologis mereka sudah terbawa ke dalam dunia cerita yang mereka percaya. Atau istilahnya, they let their guards down. Sehingga brand akan lebih mudah masuk ke dalam pikiran mereka.

Namun, tetap saja tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk meraih simpati pemirsa. Terlalu banyak produk atau merek pada sebuah media hiburan, merek yang tiba-tiba nongol tanpa konteks yang jelas atau terkesan dipaksakan, justru akan mengganggu dan berpotensi menimbulkan protes dari pemirsa. Karena bagaimana pun sisi artistic tetap yang utama pada sebuah media hiburan, apalagi jika medianya sebuah film.

Menurut istilah Ivan, sebuah product placement harus masuk (terintegrasi) secara smooth ke dalam media. Ivan memberi contoh kasus film James Bond yang sangat identik dengan Aston Martin. “Sutradara dan brand owner merasa sama-sama diuntungkan dari product placement di dalam film itu. Dan kita sebagai penonton juga tidak merasa terganggu dengan merek itu. Justru konsumen Aston Martin sangat menunggu-nunggu Aston Martin baru apa yang akan dipakai di dalam film James Bond terbaru. Itu kombinasi yang sesuai,” jelasnya.

Sebaik apa pun konsep product placement atau brand content, bukan berarti tanpa kelemahan. Karena yang menjadi rules of engagement dengan pemirsa adalah subtlety, maka sebuah merek tidak akan bisa bercerita banyak di dalam product placement. “Mereka hanya bisa meng-engage consumer secara subliminal (bawah sadar) dan emotional. Brand-brand ini tetap memerlukan media-media lain untuk memberikan support dalam berkomunikasi. Terutama TVC yang sudah terbukti efektivitasnya bertahun-tahun sampai sekarang ini,” tutur Ivan.

Kesimpulannya, maraknya product placement bukan berarti TVC sudah tidak efektif lagi sebagai media iklan, karena baik TVC maupun product placement punya keunggulan masing-masing. (Tony Burhanudin)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.