Bingung BTL

www.marketing.co.id – Ketika para pemudik mulai “berkeliaran” di jalur mudik, kegiatan below the line (BTL) adalah aktivitas pemasaran yang paling digemari. Soalnya, aktivitas ini bisa langsung menciptakan penjualan dan bisa diukur dampak serta tingkat pengembaliannya. Bayangkan saja, ada 15 juta pemudik setiap tahun yang melewati jalur-jalur mudik!

Berbicara dengan banyak pemasar, BTL memang selalu jadi pilihan manakala menghadapi momen-momen khusus seperti Lebaran. Iklan saja tidak cukup, sebab pemasar harus memanfaatkan pendeknya waktu untuk segera menciptakan penjualan. Kalau hanya beriklan, sudah pasti percuma karena saat datang ke supermarket, konsumen sudah dihadang oleh tumpukan display berbagai produk merek lain. Para kompetitor Anda pun sudah menunggu di setiap pintu tol, pemberhentian, tempat peristirahatan dan titik penting lainnya.

Sebenarnya, BTL tidak sekadar dijalankan pada saat Lebaran. Banyak pemasar kini mulai menyukainya karena selain memberi keuntungan langsung pada penjualan, mereka juga bisa berinteraksi langsung dengan konsumen, mempelajari perilaku konsumen pada saat pembelian, dan bahkan membangun loyalitas. Yang menarik untuk saya, sekalipun  aktivitas ini digemari, namun ternyata tidak banyak pemasar memahami benar definisi BTL. Yang lebih menarik lagi, ternyata pemasar Indonesia-lah yang paling doyan memakai istilah BTL. Ketiklah “below the line” di Google search dan Anda hanya menemukan sedikit sekali situs yang Anda inginkan untuk bisa memahami BTL.

Dalam arti yang banyak saya temukan, BTL memang merupakan model pemasaran yang mempergunakan media di luar media konvensional seperti iklan televisi, majalah atau koran. Istilah konvensional ini menjadi tanda tanya. Apakah billboard adalah media konvensional? Kalau Anda memasang iklan di supermarket, apakah itu termasuk aktivitas BTL? Di sisi lain, banyak juga pemasar yang menyimpulkan BTL pada aktivitas pemasaran yang bergerak sehingga semua jenis iklan bukan termasuk dalam BTL.

Di beberapa perusahaan, BTL ternyata bukan pekerjaan orang Marketing tetapi bagian Sales. Saya baru menyadari itu ketika memberikan workshop tentang BTL. Ternyata ada dua aliran dalam BTL. Aliran pertama adalah mereka yang menganggap BTL sebagai “selling activity”. Kelompok ini biasanya mengaitkan BTL dengan penjualan, contohnya sales promotion. Beberapa dari mereka terlihat begitu ngotot bahwa tujuan BTL semata-mata pada penjualan. Ukuran sukses-tidaknya BTL adalah penjualan saat itu. Makanya, pemasar-pemasar seperti ini sulit diajak berpikir untuk membangun strategi experiential marketing. Mereka juga tidak melihat CSR (Corporate Social Responsibility) atau kegiatan PR (Public Relations) sebagai aktivitas BTL.

Sebaliknya, ada kelompok yang justru berpikir beda. Umumnya mereka adalah orang Marketing yang sering “alergi” untuk terlibat langsung dalam aktivitas jual-menjual. Mereka enggan mengurusi soal SPG atau sales yang harus diterjunkan dalam kegiatan BTL atau bagaimana membangun motivasi para SPG agar “jualannya” laku. Kelompok ini senang dengan urusan membuat acara musik, pameran, seminar, dan lain-lain.

Ketika membahas konser musik Soundrenalin yang digelar Sampoerna, kelompok pertama melihat bahwa event ini tidak sukses karena uang yang dikeluarkan tidak sebanding dengan penjualan rokok pada saat acara berlangsung. Sebaliknya, kelompok kedua melihat acara ini  sukses membangun merek Sampoerna. Apalagi Soundrenalin ketika itu terlihat berbeda dibandingkan kompetitor yang juga membuat acara musik.

Kita memang harus melihat BTL dalam arti yang lebih luas, kalau kita sepakat bahwa BTL meninggalkan media-media konvensional. Artinya, BTL tidak semata-mata aktivitas trade marketing atau sales promotion. Event, customer gathering, pameran, PR, tentunya masuk di dalamnya. Memang “berdosa” rasanya kalau kita membuat acara yang mengumpulkan ribuan orang tapi tidak memanfaatkannya untuk kegiatan direct selling. Itu sama saja dengan memasang booth pameran di Pekan Raya Jakarta (PRJ) tanpa jualan, sementara ada dua juta orang lalu lalang dalam sebulan di PRJ.

Namun, berorientasi pada jualan semata pun tidak selalu tepat. Anda juga harus memikirkan branding process-nya dan juga customer bonding yang bisa dilakukan dengan strategi experiential marketing. Seorang direktur pemasaran pernah mengeluh kepada saya, kenapa pada saat pameran atau membuat acara, produk mereka laris; sementara penjualan mereka di toko dan supermarket sunyi-senyap. Jawabnya mudah saja, pada saat berjualan di pameran mereka memanfaatkan secara maksimal tenaga SPG untuk membujuk konsumen, tapi mereka ternyata lupa menancapkan brand mereka di benak konsumen dengan kuat. Di lapangan, salesman cenderung merasa kalau branding itu “bukan urusan gue!”

Itulah sebabnya, pada saat menjalankan BTL, jangan juga berpikir jangka pendek. Bahkan above the line (ATL) pun harus dilakukan, sekalipun Anda adalah tipe pemasar jalanan. Kalau tidak, waktu Anda juga akan habis di “jalanan” menawarkan produk Anda; sementara kompetitor Anda lebih punya waktu beristirahat di rumah, membiarkan konsumen datang dan membeli mereknya di supermarket. (Rahmat Susanta)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.