Boost Someone’s Mood

www.marketing.co.id – Sebuah perusahaan jasa berusaha memberikan pelayanan prima kepada pelanggan, semua fasilitas kerja dipenuhi termasuk komputer, telepon, meja yang bagus, peralatan kantor dan transportasi yang menunjang. Pelatihan pun tak pernah berhenti. Namun, masih saja turn over karyawan tinggi. Adakah hal lain yang mungkin dapat membantu?

Suatu kasus yang sangat menarik. Training memang berguna untuk menambah pengetahuan tentang pekerjaan, scope, dan mengapa sebuah perilaku tertentu penting untuk dijalankan. Namun, kembali lagi, jika tidak dikombinasi dengan “budaya yang kita ciptakan” tetap saja belum cukup membuat karyawan termotivasi.

Teman saya istri seorang pengusaha sukses, sangat sukses sekali hingga bisa menempati rumah mewah, kendaraan mewah pun berlimpah di garasi, uang saku dan uang belanja tidak terbatas, semua anaknya bersekolah di sekolah super bagus dan super mahal. Tapi dia mengatakan suaminya “kurang perhatian”. Jika diperhatikan, apanya yang kurang pada dia? Semua infrastruktur sudah dilengkapi. Jika kurang perhatian tidaklah mungkin dia mendapatkan semuanya itu. Kalau begitu apa yang dimaksud dengan perhatian?

Sama halnya dengan perusahaan yang mapan. Perlengkapan kebutuhan kerja dan fasilitas berlimpah, tidak pernah karyawan merasa kesulitan mendapatkan fasilitas yang dibutuhkan dan diinginkannya, training cukup sering diberikan untuk memperlengkapi ilmu dan menambah kompetensi, tapi mengapa masih ada karyawan yang kurang puas dengan keadaan ini?

Perhatian adalah sentuhan pribadi, tidak cukup ditukar dengan fasilitas materi dan fisik yang berkelimpahan. Memang demikianlah keadaannya, manusia cenderung “menilai berlebihan hal yang tidak tampak dan tidak ada, dan tidak menilai lebih apa yang ada di hadapannya”. Selalu saja mencari yang tidak ada. Akibatnya, tidak pernah puas. Untuk itu, pandai-pandailah kita membuat perimbangan antara yang ada dan yang tidak ada. Jika fasilitas dan kemudahan begitu berlimpah dan berlebihan, maka “perhatian non-materi” yang dicari, demikian pula sebaliknya. Maka, jangan lupa dengan konsep ”People Strategy”.

Coba perhatikan lagi, kapan terakhir kita memberikan pujian kepada karyawan, bawahan, dan teman-teman? Kapan terakhir kali kita sendiri mendapatkan pujian dari orang sekitar kita, teman-teman, atasan, bawahan? Sebenarnya sangat sederhana, tidak memerlukan biaya, tidak memerlukan approval dari atasan; tapi sering kali seperti barang langka, amat mahal dan amat sulit diperoleh, sehingga muncul ketidakpuasan. Hassle, hurdle, memang bukan komplain, tapi jenis ketidakpuasan ini membuat hari-hari mereka terasa hambar, rutin dan menimbulkan keregangan batin, sehingga tanpa beban mengajukan surat “pengunduran diri”.

Cobalah untuk mulai memberikan pujian dan menumbuhkan budaya memberikan pujian, perhatian, bertutur kata dengan senyum serta mengadakan eye contact dengan bawahan kita. Jadikan ini sebagai sebuah kebiasaan, buatlah mereka menjadi “seseorang” dan buatlah “hari-hari mereka berarti”.

Dalam melakukan praktik ini, saya sarankan agar tidak mengobral pujian. Pujian yang terlalu sering juga terasa hambar. Demikian pula pujian yang diberikan dengan maksud mendapatkan imbalan dari orang yang dipuji. Sebaiknya, berikan pujian ketika kita tidak mengharapkan sesuatu dari orang yang kita puji sebagai gantinya. Berikan pujian tentang sesuatu yang berbobot, berkualitas dan berimplikasi serta berkontribusi positif terhadap budaya kerja, berikan pujian tentang sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Dengan demikian akan terasa lebih genuine dan sincere. (Yuliana Agung, MBA.)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.