Bukan Sekadar Dapur Makanan

Dapur Solo percaya kepuasan konsumen tidak hanya terletak pada makanan, tapi juga pada value. Apa saja yang mereka tawarkan kepada pelanggan?

Jakarta tidak saja penuh dengan manusia atau kendaraan bermotor, tetapi juga penuh dengan tempat kuliner. Coba saja Anda menyusuri setiap sudut jalan di ibu kota. Anda bisa dengan mudah menemukan banyak tempat kuliner yang menawarkan beraneka menu. Salah satu tempat yang bisa Anda kunjungi adalah Dapur Solo yang terletak di daerah Sunter, Jakarta Utara.

Dapur Solo, yang tak pernah sepi dari pengunjung ini, menawarkan hidangan berupa masakan-masakan tradisional Jawa, khususnya masakan Solo. Merunut sejarah berdirinya, Dapur Solo dimulai dengan suatu ketidaksengajaan yang diawali dari usaha kecil-kecilan. Adalah ide dari Swandani Kumarga, yang akrab dengan panggilan Swan, untuk memulai usaha kecil di garasinya dengan berjualan jus dan rujak.

Saat itu, omzet dari usaha kecil ini tidaklah banyak. Mungkin berkisar Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu per hari. Oleh karena itu, Swan harus memutar otak dan mencurahkan semua idenya untuk mengembangkan usahanya ini. Pada tahun 1990, dengan segenap semangat bekerja dan entrepreneurship-nya, dia menyewa satu ruko dan membuka sebuah rumah makan yang kemudian dinamai dengan Rumah Makan Solo. “Dalam membangun rumah makan ini, saya memulainya dari awal, dengan modal keberanian,” tutur Swan.

Awalnya Rumah Makan Solo ini dikelola dengan manajemen yang masih sangat sederhana. Sejalan dengan waktu, rumah makan ini semakin lama semakin didatangi oleh banyak pengunjung. Sampai kemudian Swan ingin mengembangkan bisnis ini dengan lebih serius. Kemudian pada tahun 2005, sang suami, Heru Kumarga, turut bergabung untuk ikut mengelola rumah makan ini. “ Saya melihat adanya peluang yang sangat bagus dari pasar ini. Apabila rumah makan ini bisa dikelola lebih profesional, tentunya bisa berkembang lebih bagus,” jelas Heru. “Pembenahan ini sebenarnya sudah kami sudah mulai sejak krisis moneter,” imbuhnya.

Salah satu hal penting yang dilakukan oleh suami istri ini adalah melakukan re-branding. Menurut Heru, rumah makan ini harus melakukan re-branding. Setelah meninjau kembali brand mereka, ternyata Rumah Makan Solo tidak bisa diambil hak mereknya, sehingga mereka perlu melakukan re-branding dengan nama baru Dapur Solo. Swan mengatakan, “brand baru ini digunakan tanpa harus menghilangkan unsur brand lama, karena sama-sama menggunakan kata Solo, sehingga customer tetap aware dengan keberadaan kami.”

Selain melakukan re-branding, Dapur Solo juga melakukan perbaikan manajemen di segala aspek. Mulai dari standar kualitas masakan, restrukturisasi manajemen, sampai dengan pengembangan sumber daya manusia. Awalnya memang tidak mudah, karena membutuhkan adaptasi yang cukup lama. “Saya tak tahu-menahu tentang seluk-beluk teori manajemen, sedangkan suami saya memang sudah mempunyai latar belakang manajemen, sehingga saya harus bisa menyesuaikan diri, “ kata Swan. “Contohnya sewaktu adanya standarisasi resep. Awalnya menurut saya aneh, tapi ternyata ini membuat kerja saya jadi lebih efisien,” lanjutnya.

Menurut Heru, hal yang tak kalah penting adalah edukasi pasar. Konsumen harus merasakan terlebih dahulu produk yang mereka miliki. Contohnya saat launching menu Selat Solo. Banyak orang bingung dengan produk baru ini, tapi edukasi harus terus dilakukan sampai konsumen mengenalnya. Edukasi pasar ini tidak mudah, butuh waktu bertahun-tahun. Selain karena Selat Solo adalah produk yang cukup asing, juga rasa yang kurang familiar bagi konsumen perkotaan.

Rumah makan yang sudah bisa meraup omzet Rp 10 juta sampai Rp 12 juta per hari ini mempunyai  positioning sebagai rumah makan untuk makanan tradisional Jawa. Swan mempunyai keinginan untuk mempopulerkan makanan tradisional Jawa, terutama yang berasal dari Solo. Dapur Solo juga memposisikan diri sebagai bukan makanan murah dan bukan makanan yang mahal. Dengan harga rata-rata Rp 20 ribu-an ke atas, strategi ini cukup berhasil karena bisa menjembatani dua segmen pasar, yaitu kelas menengah dan kelas atas.

Masakan Jawa tidak selalu cocok di lidah konsumen di Jakarta. Oleh karena itu, perlu adanya modifikasi rasa supaya bisa diterima oleh selera masyarakat di perkotaaan. “Semua melalui berbagai uji coba rasa, kemudian kami menawarkan kepada pasar, dan merekalah yang menentukan akan menerima menu kami atau tidak. Ternyata produk kami ini diterima oleh pasar dengan baik,” tutur Swan.

Tidak hanya bertumpu pada makanan, Dapur Solo juga mengutamakan pelayanan pada pelanggan. Menurut Heru, servis terhadap tamu sangat penting karena Dapur Solo sangat mengapresiasi konsumen dan pelanggan. Ini merupakan customer touch point. Melalui sapaan-sapaan yang diberikan kepada pelanggan, mereka bisa dibuat nyaman dan homy. Customer tidak hanya sebagai customer, tapi juga sebagai teman. Di sini Dapur Solo tidak hanya menyediakan makanan, tapi juga menyediakan experiential marketing melalui keramahan dan pelayanannya.

Sebagai owner Dapur Solo, Swan dan Heru sangat mengutamakan value bagi para pekerjanya. Karyawan merupakan SDM yang banyak bersentuhan langsung dengan pelanggan, maka sangat layak apabila mereka mendapatkan bekal melalui pelatihan-pelatihan. Di Dapur Solo ini akan selalu terjadi transfer value bagi para karyawan supaya mereka bisa lebih berkembang. “Melalui value itu owner dan karyawan mempunyai tujuan yang sama, sehingga hal ini bisa meningkatkan hasil kerja mereka.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.