CEO sebagai Penjaga Merek

Marketing.co.id – Permasalahan merek tidak boleh menjadi perhatian product manager semata. Merek harus menjadi perhatian top executive perusahaan. Bahkan CEO harus menjadi ambasador dan selebritis bagi merek di perusahaan tersebut.

Irwan Hidayat, bos SidoMuncul itu seperti tidak kering semangatnya kalau mengurusi merek-merek yang dikeluarkan Sido Muncul. Sebagai CEO, pria ini bahkan tak segan-segan untuk turun ke lapangan, ikut syuting dalam pembuatan iklan dan masuk ke pasar-pasar tradisional. “Saya nggak tahan kalau tidak berpromosi,” kata Irwan kepada majalah MARKETING pada suatu ketika.

Irwan beranggapan, para CEO memang harus turun ke bawah dan tidak sekadar mengandalkan anak buahnya semata. Dia harus menjadi juru bicara yang andal juga untuk merek-mereknya. Bersafari dari kota ke kota dan ke berbagai tempat layaknya selebriti, sambil berpromosi.

Langkah Irwan ini memang seperti dilakukan banyak CEO dan pemilik merek dunia yang berhasil. Seperti misalnya Steve Jobs, Donald Trump, Martha Stewart, Jeff Bezos, Michael Dell, dan lain-lain. Sekalipun sudah memimpin perusahaan berskala raksasa, mengapa mereka memilih untuk terjun dalam aktivitas marketing? Bukankah mereka lebih nyaman berada di belakang layar dan menyerahkannya kepada para eksekutif di bawahnya?

Ini penyebabnya: jika Anda melihat perkembangan dalam 10 tahun terakhir, merek memang semakin menjadi penyumbang value terbesar buat perusahaan. Ini terlihat misalnya dari merek-merek global yang terus-menerus mengalami peningkatan dari sisi value. Melihat ranking global brand value dari interbrand (www.interbrand.com), merek-merek seperti Coca-Cola, Microsoft, dan lain-lain, terus mengalami pertumbuhan. Coca-Cola misalnya, kini mereknya sudah senilai US$ 70 miliar. Google dan Apple bahkan bertumbuh lebih dari 30% dengan masing-masing brand value senilai US$ 43 miliar dan US$ 21 miliar. Sementara beberapa merek seperti Toyota pada tahun 2010 mengalami penurunan.

Dengan peran merek yang semakin kuat ini, mau tidak mau merek menjadi strategi penting di tingkat korporasi. Tidak mengherankan jika kemudian CEO zaman sekarang seperti selebriti yang mondar-mandir ke sana kemari. CEO zaman sekarang tidak boleh gagap kalau berbicara merek yang dilakoni perusahaannya. Sekalipun bukan pemilik, CEO harus menjadikan merek tersebut sebagai miliknya, menyebarkan image yang baik soal mereknya, dan terlibat langsung dalam pertumbuhan mereknya.

Banyak CEO yang berpikir tradisional hanya mengurusi soal strategi bisnis seperti investasi baru, merger, akuisisi, dan lain-lain. Mereka bahkan terkesan kaku kalau berbicara soal merek dan sering tidak memahami pentingnya anggaran marketing yang dikeluarkan bawahannya. Apalagi CEO yang bukan berasal dari pemilik, seringkaliownership terhadap merek juga berkurang.

CEO yang berorientasi kepada marketing seharusnya sangat concern terhadap merek. Mereka ikut merasakan sulitnya merek bersaing dan ikut terlibat dalam pemikiran strategis dalam membangun merek.

Seperti Sarwoto, Dirut Telkomsel ini ikut resah ketika berbicara soal merek-merek yang dipayungi Telkomsel. Sebagai CEO dari merek-merek market leader, Sarwoto melihat bahwa pola kompetisi di industri seluler banyak berubah. Oleh karena itu, strategi dari ketiga mereknya: Halo, Simpati, dan As, harus ikut berubah. Dahulu kala, kartu pascabayar menjadi driver revenue perusahaan, kini kartu prabayar yang menjadi penyumbang terbesar. Dahulu voice dan SMS menjadi fitur andalan, kini keduanya sudah mengalami penurunan.

Di sisi lain, himpitan para pemain seluler yang bertarung di sisi harga membuat produk-produk Telkomsel dipersepsi premium, alias mahal. Padahal pasar recehan ini luar biasa besarnya. “Akhirnya kami berkompetisi dari sisi value, menjual produk dengan murah, namun kualitasnya tetap tinggi,” kata Sarwoto.

Dengan situasi bisnis yang terus-menerus berubah, memang dibutuhkan kematangan dari para CEO untuk berpikir cepat dan memosisikan merek-mereknya di sisi yang tepat. Menciptakan merek baru atau membunuh merek-merek yang ada menjadi keputusan dari sang CEO.

Ketimbang meluncurkan merek baru, beberapa CEO memang memilih untuk mengembangkan merek yang ada. Baik dengan melakukan penambahan fitur maupun membuat produk baru dari merek yang ada. Maklum, pada saat merek ada di atas angin, inovasi dan pelebaran merek yang ada dapat menjadi strategi “aji mumpung” yang tepat. Keputusan-keputusan seperti ini tentu saja tidak bisa dilakoni sendirian di departemen marketing karena menyangkut brand portfolio dari perusahaan.

CEO harus menjadi pemimpin dari merek yang ada, termasuk juga memelihara corporate branding yang ada. Marcus Pitt, President Director SOHO termasuk yang percaya kepada hal ini. Salah satu tugas yang diembannya kini adalah bagaimana mengembangkan corporate branding yang kuat dari SOHO agar bisa memayungi merek-merek yang ada.

CEO lain, Hadi Sutiono juga tergolong tipe CEO yang senang turun ke bawah dalam soal pengembangan merek. Kacang Dua Kelinci baru-baru ini menyelesaikan deal dengan Real Madrid untuk menjadikan Dua Kelinci sebagai official sponsor Real Madrid. Dengan kerjasama ini Hadi berharap bisa menciptakan peningkatan awareness yang signifikan buat merek yang diasuhnya itu.

Tentu saja seorang CEO bukanlah “dewa” yang selalu bisa melakukan keputusan sendiri. Counter part CEO siapa lagi kalau bukan CMO (chief marketing officer) yang seharusnya ikut membantu CEO merumuskan strategi perusahaan yang berorientasi marketing. Kita masih ingat Dionisius Beti, sebelum menjabat CEO Yamaha Motor Kencana Indonesia dulunya adalah seorang CMO yang agresif dan selalu kompak dengan “sang komandan”, Yoshiteru Takahashi.

Di Honda Prospect Motor ada Jonfis Fandi yang berdampingan dengan Takanobu Itu sang CEO, selalu rajin membesut merek-merek mobil keluaran HPM untuk menjadi leader di kelasnya. Salah satu keberhasilannya adalah menjadikan Honda Jazz sebagai merek yang top di kelasnya. Selain itu, beberapa merek dari HPM juga terlihat unggul di kelasnya, seperti Honda CRV dan Freed. Strategi generik yang diandalkan oleh HPM untuk mengembangkan merek-mereknya ada pada dua hal, yakni awareness dan image. Jonfis percaya, kedua hal ini yang harus konsisten terus dijalankan oleh HPM. Seperti halnya dengan Honda Jazz yang menyasar kawula muda, HPM terus-menerus berfokus dalam pengembangan awareness dan image di kelompok ini.

Di kategori produk springbed, Eddy Pantow, CMO dari Romance, juga menyatakan bahwa dia mengawal merek Romance sejak awal hingga merek ini akhirnya bisa masuk kategori Top Brand dan menggeser merek-merek lainnya. Eddy mengatakan, strategi pemasaran yang diimplementasikan menjadi strategi perusahaan. Strategi yang dijalankan adalah memperluas jaringan dan mendekatkan diri dengan konsumen.

Para top executive perusahaan memang harus menjadi brand champion. Mereka harus memahami visi dari merek dan menghabiskan waktu kerja mereka untuk mendorong keberhasilan merek. Mereka harus memikirkan strategi brand portfolio dan memonitor terus kinerja merek-merek yang ada.

Tidak hanya itu, infiltrasi seorang CEO ke dalam strategi marketing juga punya manfaat positif dari sisi pergerakan organisasi. Adanya CEO, proses approval dari ide-ide kreatif lebih cepat dilakukan. Seorang CEO di dalam rapat-rapat pemasaran juga akan mendorong ide-ide kreatif dari bawahan, karena mereka harus sempurna di mata atasan. Selain itu juga mendorong kesamaan visi antara visi corporate branding dengan product branding. Sisi lain, dari kontrol bujet, CEO akan bisa melakukan pengawasan terhadap efektivitas bujet perusahaan.

Makanya tidak mengherankan dalam perusahaan dimana CEO berorientasi marketing, permasalahan merek selalu menjadi agenda dalam rapat direksi, karena concern mereka semua sama: bagaimana merek-merek di dalam perusahaan tersebut bisa menjadi merek yang top. (Rahmat Susanta)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.