Chacha Thaib: Setiap Orang adalah Influencer

Annisa Nadzirani Nugraha - Chacha ThaibAnnisa Nadzirani Nugraha meyakini tiap orang adalah Influencer. Baginya setiap pribadi memiliki sisi unik yang bisa dilihat dan diikuti.

Annisa merasakan sendiri keunikan itu menjadi kekuatan personalitasnya. Sejak SMA ia menyenangi dunia fashion. Tanpa beban ia ikuti passion itu hingga menjadi penulis dan editor majalah fashion muslimah terkemuka.

Bolehlah Annisa berkilah tidak memiliki rencana menjadi Influencer tapi keunikan dirinya diam-diam menyeretnya menjadi orang berpengaruh di dunia fashion muslimah dan diikuti banyak orang. Bukankah kita menyadari , tidak ada asap tanpa api.

Annisa memiliki analisa yang tajam atas dunia fashion, wajar saja ketika Twitter meledak pada medio 2011, ia telah berteman dengan sederet artis yang sedang tenar seperti Nikita Willy dan pemeran lain di Sinema Art.

Follower mereka ikut memfollow saya,” katanya.

Sesederhana itu saja tapi tak banyak orang yang bisa mengikuti jejaknya.

Selanjutnya, komunikasi yang sederhana itu bergerak seperti gelombang. Keunikan Annisa tampaknya terdeteksi di frekuensi yang tak terbatas. Orang-orang mulai mempercayai kata-katanya.

Ice cream Magnum produksi Walls memonitor frekuensi Annisa. Tujuan Magnum jelas, yaitu masuk di gelombang lalu menebar awareness kepada pengikutnya. Annisa tidak menolak permintaan itu. Untuk pertama kalinya, komunikasi yang dibangun secara sederhana itu terkapitalisasi. Magnum menghargai satu kali tweet nya Rp 170 ribu dan Annisa diminta menyebar 10 kali tweet.

Gelombang Chacha Thaib, panggilannya di udara, terdengar semakin jauh. Susu kaleng bergambar beruang meminangnya berkicau lagi. Kompensasinya lebih menggiurkan. Bearbrand membayar Rp 200 ribu per tweet.

Order paling anyar datang dari kamera Canon. Chacha diminta menulis di blog dua kali posting dan 20 kali kicauan dengan bayaran cukup besar yaitu 10 juta.

Sekarang, ia telah merasakan gelombang keunikannya itu menjadi buah yang manis. Pertiga bulan rata-rata penghasilannya 10-40 juta.

Tak ada yang berubah dari diri Annisa walau telah mendapat kenyamanan atas profesinya. Ia tetap berdedikasi dan tentu saja gembira. Baginya, apa yang didapat sekarang adalah hasil dari bersenang-senang dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Karena itu saat ini ia sedikit miris melihat apa yang terjadi belakangan ini. Perkembangan digital media yang pesat dan cara-cara baru branding produk membuat influencer bertambah banyak.

“Sayangnya, tujuan mereka memiliki follower karena ingin menjadi buzzer. Beda sama kita yang awalnya memang buat seru-seruan aja, dan menambah pertemanan,” tandasnya.

Twitter @chachathaib
Twitter @chachathaib

Influencer dengan 46,7 ribu pengikut ini sedikit menerawang ke tahun-tahun lalu. Dulu katanya, ada hastag kumpul hore, yaitu tweet tentang ‘ngumpul sore-sore dimana?’.

“Anggotanya 50 orang tapi yang dateng bisa rame banget,” kenangnya.

Sekarang Annisa melihat keguyuban itu mulai luntur. Kalaupun ada pertemuan bila ada bisnis atau kerjaan bareng. Annisa melihat kegembiraan berkomunikasi telah diganti dengan keseriusan mengapitalisasi tweet.

Annisa lalu belajar dari hal yang ditekuninya. Ia tahu persis bahwa setiap profesi memiliki aturan. Walau tidak tertulis aturan itu tetap ada dan harus selalu diindahkan. Itulah yang disebut etika.  

Ia tidak segan menolak brand yang memintanya berkicau. ”Kadang-kadang kalau tidak sesuai dengan saya, pasti ditolak,” tuturnya.

Hal itu berkaitan dengan personal image. Ia tidak bisa sembarangan menerima tawaran klien karena boleh jadi brand itu tidak cocok dengan personalitasnya. Bila ia melanggar aturan itu, bisa jadi kata-katanya tak lagi membius pengikutnya.

Itulah sebabnya kejujuran adalah aturan paling utama. Setiap kali mendapat pinangan dari brand ia meminta produknya. Hal itu memungkinkan dirinya merasakan secara saksama produk yang harus di kicaukannya. Bukan membeli kucing dalam karung.

“Saya tidak akan review kalau tidak ada produknya. Dan saya pasti akan review sejujur-jujurnya,” ungkapnya.

Ia mencontohkan, ketika harus me-review laptop Accer dan Lenovo ia mengatakan yang sebenarnya. Bila bagus ia katakan bagus. Kalau ada kekurangan ia juga tulis.

Aturan berikutnya adalah bersikap sopan. Ia harus mengatur kata-katanya agar tidak menyinggung perasaan. Apalagi menyinggung brand lainnya. Karena, menurutnya, menjadi influencer itu seperti media advertising, boleh jadi brand yang dijelek-jelekkan itu menyewa dirinya.

Lalu integritas. Aturan ini menyebabkan seorang influencer tetap bermain di lapangan yang ia kenali. Brand lebih menyukai influencer yang memiliki segmentasi.

Seperti pengalamannya, ia pernah diminta menjadi influencer pakaian muslimah ternama. Menurutnya, di luar sana banyak hijaber cantik tapi brand tetap memilihnya. Analisanya, brand itu memilih karena integritasnya di majalah muslimah, terlebih lagi ia pengasuh kolom.  

Terakhir konsisten. Inilah aturan yang membuatnya tetap eksis. “Saya konsisten jadi buzzer, fashion editor, penulis, kontributor, blogger,” jelasnya.

Menjaga konsitensi itu resepnya adalah menambah terus pengetahuan dengan membaca.

“Kalau kita habis membaca, biasanya dipikiran itu terlintas banyak ide. Kalau seperti itu, langsung saya catat,” pungkasnya.

And the end, Annisa tidak tahu ukuran matematis keberhasilan dirinya memberikan pengaruh pada pengikutnya agar membeli suatu produk atau awareness brand diterima. Tapi satu hal yang pasti ia masih dipercaya oleh brand untuk terus berkicau. lj/ccp

1 COMMENT

  1. Enak ya jadi influencer, kerja sesuai lapangan yang di kenali, yang di saya pelajari dari sini adalah penulis ini.. hehe alur tulisanya rapi banget..

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.