Ciptakan Alat Musik Inovatif dan Bernilai Sosial, Entrepreneur Ini Raih DSC 2017

Masyarakat Indonesia sudah lama memanfaatkan bambu untuk bahan bangunan rumah, perabotan, alat pertanian, kerajinan, termasuk alat musik. Meski manfaatnya sangat banyak, namun bambu masih dilihat sebagai “bahan milik kaum miskin yang cepat rusak”.

Adang Muhidin mempresentasikan tentang IBC di hadapan para dewan komisioner DSC 2017

Di tangan Adang Muhidin ternyata bambu bisa memiliki nilai tinggi dengan mengubah tanaman tersebut menjadi alat musik modern, seperti gitar, biola, bas dan drum. “Idenya berawal dari keprihatinannya terhadap minimnya pendayagunaan bambu yang keberadaannya begitu melimpah di Indonesia,” jelasnya.

Keinginannya menguat saat menonton konser orkestra di televisi tahun 2010. Kemudian ia mulai berpikir serius menciptakan alat musik dari bambu dengan mendirikan Indonesian Bamboo Community (IBC) yang memproduksi berbagai alat musik modern dari bambu pada awal 2011.

Kreasi pertama Adang adalah biola mirip kentongan bersenar yang kemudian diminati pembeli asal Malaysia senilai Rp1,5 juta. Selanjutnya, ia  berhasil mengembangkan berbagai alat musik modern dari bambu.

Untuk menjaga mutu alat musik, IBC konsisten hanya memproduksi masing-masing tiga gitar, bas, biola dan drum setiap bulannya. Kini, berbagai alat musik bambu ini telah banyak diminati pembeli dari dalam maupun luar negeri, di antaranya Belgia, Prancis, Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan sebagainya dengan harga yang tidak murah.

Tak hanya itu, IBC telah berhasil memberikan dampak sosial serta menumbuhkan kecintaan masyarakat luas tehadap alat musik bambu. IBC merupakan wujud nyata inovasi modern yang berakar dari sumber daya lokal.

Tidak heran jika sang kreator alat musik modern berbahan bambu ini berhasil menjadi salah satu pemenang pada kategori The Most Social Impact dan menjadi finalis West Region dalam Diplomat Success Challenge (DSC) 2017. Ia dipiih karena keorisinilan idenya yang mampu mengelola sumber daya sekitar dan memberikan dampak sosial yang tidak kecil kepada masyarakat.

“Tujuan mendirikan IBC bisa dibilang karena kepekaan sosial, bagaimana membuat bambu yang keberadaannya merajalela ini bisa bernilai jual tinggi dan banyak diminati. Harapannya IBC bisa menginspirasi anak muda Indonesia untuk menciptakan bisnis yang memiliki orientasi sosial, tidak hanya profit belaka,” tutur Adang.

IBC tampil di Borneo Culturan Festival di Sibu, Malaysia

Social Impact adalah kategori baru pada DSC 2017 yang diperuntukkan bagi bisnis yang sudah berjalan meskipun masih berada dalam tahap awal, original, memiliki visi pengembangan usaha yang berorientasi sosial, tidak semata-mata mengedepankan keuntungan, namun juga nilai kebersamaan dan lokalitas, serta tentunya memberikan dampak positif baik masyarakat, baik yang dilibatkan dalam rantai produksi, supplier ataupun masyarakat yang lebih luas.

Adang dan IBC-nya sangat mewakili kategori Social Impact, dimana kategori ini mencari orang-orang yang tidak hanya piawai berbisnis, tetapi juga mampu memberikan dampak positif kepada masyarakat luas lantaran alat musik bambunya memiliki nilai sosial dan inovasi tinggi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.