Content

MARKETING.co.id – Kemenangan Jokowi menjadi Gubernur DKI merupakan sebuah fenomena besar dalam panggung politik Indonesia. Hal ini pasti akan memberikan pengaruh yang besar terhadap pilkada-pilkada di seluruh Indonesia, dan bahkan untuk pemilihan presiden di tahun 2014. Figur yang tepat dan komunikasi yang efektif mampu mengalahkan incumbent walau tidak didukung oleh partai besar.

Bagi para marketer di Indonesia, Pilkada DKI ini juga semakin memberikan bukti kehebatan media sosial dalam menciptakan popularitas dan pencitraan. Apa jadinya bila Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI 10 tahun yang lalu? Hasilnya sudah pasti sangat berbeda. Jokowi minus media sosial, mungkin adalah Jokowi yang masih menjadi Walikota Solo.

Pada awal Oktober 2012 saat Majalah MARKETING menyelenggarakan Social Media Award, saya merasakan perubahan besar dari pandangan para pelaku bisnis Indonesia terhadap digital marketing dan media sosial. Kemenangan Jokowi menjadi sebuah studi kasus nyata bagaimana efektifnya media sosial menciptakan popularitas, ketertarikan, dan loyalitas masyarakat terhadap seorang tokoh. Bila demikian, media sosial pastilah juga bisa efektif menciptakan merek seperti halnya kemampuan menciptakan figur atau tokoh. Sebuah merek yang tidak terkenal bisa menjadi pemimpin besar dalam waktu yang tidak terlalu lama. Begitulah analoginya!

Kemenangan Jokowi memberikan banyak pelajaran yang berharga bagi para pelaku bisnis, terutama para marketer. Ini bukan hanya soal bukti bahwa media sosial adalah media komunikasi yang sungguh efektif. Tetapi, bagaimana membuat sebuah isi atau content media sosial bisa menyebar secara cepat. Sebuah pelajaran bahwa kehebatan media sosial terletak pada bagaimana menciptakan content yang relevan, dapat dipercaya, dan memberi daya tarik.

Bila dibukukan, perjalanan Jokowi akan menjadi sebuah cerita yang panjang. Sebuah cerita mengenai baju kotak-kotak yang membuat jutaan percakapan di media sosial. Kotak-kotak inilah yang membuat perbedaan dengan kumis. Sebuah percakapan mengenai Walikota Solo yang dicintai warganya dan membuat Kota Solo rapi dan bersih. Sebuah cerita mengenai Walikota Solo yang tegas dan masuk dalam nominasi walikota terbaik di dunia. Sebuah cerita mengenai pejabat yang sangat merakyat, dekat dengan rakyat, dan mau mendengarkan keluhan rakyat. Sosok pejabat yang penampilannya mirip dengan rakyat biasa. Masyarakat sudah tidak tertarik dengan penampilan pejabat yang kelihatan berwibawa, tetapi ternyata tidak tegas. Ahok pun punya segudang cerita. Muda, enerjik, dan dari kalangan minoritas.

Kumpulan cerita inilah yang akhirnya membuat jutaan percakapan di media sosial menjadi cepat menyebar dan menciptakan pencitraan yang positif. Biaya kampanye menjadi sangat murah karena komunikasi berlangsung horizontal.

Dari semua tools media sosial, saya yakin, BBM adalah yang banyak mendongkrak perolehan suara Jokowi-Ahok. Mungkin, kalau perolehan suara hanya dihitung dari mereka yang memiliki BB, saya cukup yakin, suara Jokowi-Ahok bisa mencapai antara 60% hingga 65%. Mengapa? Cerita positif Jokowi-Ahok di BBM sangat memberikan sentimen positif dan negatif bagi lawannya. Content komunikasi di BBM banyak berupa cerita humor yang akhirnya menjadi menarik, menjadi bahan pembicaraan, dan mendorong orang untuk menyebarkan kepada komunitas dalam grup BB mereka. Pemegang BB di Indonesia rata-rata memiliki 5 hingga 10 grup. Bayangkan, betapa cepatnya sebuah cerita menyebar ke mana-mana melalui instrumen BBM. Kesimpulannya? Komunikasi di media sosial hanya efektif bila marketer memiliki content. Salah satu bentuk content yang efektif adalah sebuah cerita. Cerita mengenai karakter, tema, pengalaman, prestasi, kebaikan, atau apa saja yang menjadi menarik untuk disebarkan dan membuat orang percaya.

Earned Media

Di era media sosial ini, para marketer tiba-tiba merasa bahwa mereka sekarang memiliki media sendiri. Kalau dulu setiap media harus mereka bayar, sekarang ada media yang mereka ciptakan sendiri. Mereka memiliki akun Facebook, Twitter, atau YouTube. Mereka juga memiliki alamat situs untuk perusahaan atau merek yang ingin mereka komunikasikan.

Tools atau perkembangan teknologi inilah yang lebih memesona. Perusahaan kemudian melakukan adopsi tools dengan cepat agar tidak ketinggalan. Tetapi nyatanya, sebagian besar kemudian berhenti di tengah jalan. Sebagian tidak mampu untuk terus-menerus mengisi media sosialnya. Sebagian merasakan bahwa situs mereka kemudian tidak berkembang karena tidak mampu untuk melakukan up-date yang berkesinambungan. Jadi, mereka memang tidak own the media, tetapi earn the media. Dalam waktu sehari, perusahaan baru bisa membuat akun-akun media sosial. Mereka memiliki, tetapi tidak menguasai. Esensi media sosial adalah menciptakan percakapan yang membangun popularitas, pencitraan, dan loyalitas.

Konsep marketing konvensional tetap masih berlaku. Facebook, Twitter, YouTube, LinkedIn, blog, RSS, podcast, dan lain-lainnya adalah tools, dan semuanya membutuhkan content. Tanpa content yang baik, tidak akan ada penyebaran atau viralisasi. Tanpa content yang baik, tidak ada trafik untuk situs perusahaan. Tanpa content yang efektif, tidak akan ada proses interaksi dan engagement dengan para pelanggan.

Bagaimana Membangun Content?

Semua content yang akan dibuat haruslah dimulai dengan positioning yang baik. Sebuah merek, hari ini haruslah mengartikulasikan strategi positioning-nya semakin jelas. Apa saja asosiasi unik yang ingin diciptakan. Ini tetap berlaku walaupun perusahaan sudah mengandalkan semua komunikasinya dalam bentuk digital marketing dan media sosial. Bedanya, di era media konvensional positioning bisa dikontrol. Perusahaan kemudian menggunakan media konvensional untuk membangun citra mereka seperti yang sudah digariskan dalam strategi positioning-nya.

Di era digital, positioning tidak terjadi semudah seperti yang diharapkan oleh perusahaan. Pelanggan atau konsumenlah yang ikut menciptakan positioning sebuah merek. Apalagi bila merek tidak memiliki positioning yang jelas. Bisa terjadi, akhirnya konsumen yang mengontrol. Mereka menyebarkan pesan, melakukan perbincangan di media sosial, dan akhirnya merekalah yang membentuk positioning dari merek tersebut.

Oleh karena itu, strategi positioning adalah hal pertama yang harus dilakukan. Setelah itu, marketing manager haruslah membuat content untuk mengisi positioning tersebut. Perusahaan memang tidak mampu mengontrol sepenuhnya pesan yang akan mereka sampaikan di media sosial. Tetapi, pesan-pesan ini bisa menjadi bagian dari percakapan yang kemudian menjadikan merek memiliki positioning yang diinginkan atau paling tidak mendekati yang diinginkan.

Jokowi memiliki positioning sebagai pemimpin yang melayani. Sederhana dan sungguh pas benar dengan harapan masyarakat yang sering melihat pemimpin berwibawa, penuh kuasa, dan tidak mendengar suara rakyat. Tapi, positioning ini tidak akan terjadi bila tidak diisi dengan banyak content yang sudah memiliki frame yang jelas. Dia keluar-masuk kampung untuk menyapa masyarakat. Dia berpakaian sederhana, memilih baju kotak-kotak yang digulung, supaya terlihat seperti rakyat biasa. Dan segudang cerita lainnya yang mendukung strategi positioning-nya.

Langkah pertama mempersiapkan content adalah dengan melihat tujuan komunikasi dalam konteks proses pembelian. Ada beberapa content yang memang tepat untuk menciptakan awareness. Diperlukan juga content yang berbeda untuk meningkatkan informasi produk dan membentuk konsumen untuk mengevaluasi produk. Demikian juga, diperlukan content untuk mendorong konsumen melakukan pembelian.

Content juga berbeda untuk setiap tools media sosial. Situs memiliki kemampuan untuk memberi penjelasan produk yang lebih detail.  Facebook memiliki kelebihan untuk menciptakan engagement. Twitter lebih banyak untuk mendorong popularitas, membantu memberikan pelayanan, atau menjadi link untuk masuk ke situs perusahaan.

Persiapan untuk membuat content ini juga akan mendorong CMO melakukan audit kemampuan perusahaan dalam menghasilkan content secara terus-menerus, agar tercapai tujuan pembangunan mereka dan peningkatan pangsa pasar. Bila perusahaan tidak mampu menghasilkan content yang diperlukan dalam media sosial, salah satu alternatifnya adalah melibatkan pihak eskternal yang memiliki kemampuan. Penyedia jasa seperti ini bisa konsultan media sosial, blogger, event organizer, jurnalis, atau pihak-pihak lain yang memiliki kemampuan.

Sungguh disayangkan bila CMO sudah mengadopsi digital marketing tools dan media sosial, tapi ternyata mereka tidak mampu menciptakan komunikasi yang baik. Bahkan tools yang baru ini sering kali membutuhkan content yang jauh lebih kreatif dibandingkan media konvensional. CMO adalah sosok yang piawai dalam content management.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.