Customer Value

Customer value adalah sebuah konsep yang paling banyak digunakan oleh pelaku bisnis. Konsep ini sederhana dan dapat digunakan sebagai langkah awal perumusan strategi selanjutnya. Banyak keputusan strategis perusahaan atau pemilik merek menggunakan konsep ini sebagai landasan utamanya, walaupun sering kali tidak terformulasikan dengan baik. Mereka tidak menggunakan hitungan-hitungan sistematis dengan analisis data yang canggih, tetapi melalui judgment.

Misalnya saja, sebuah perusahaan akan melakukan perubahan harga terhadap produknya. Beberapa pertimbangan bakal muncul sebelum keputusan perubahan harga tersebut ditetapkan, seperti berapa harga maksimal untuk produk ini? Apakah konsumen masih akan membeli produk ini? Apakah harga yang ditetapkan terlalu mahal bila dibandingkan dengan harga pesaing?

Demikian pula dengan pelaku bisnis yang berupaya untuk meningkatkan kualitas. Mereka bakal menghadapi beberapa pertanyaan dalam benaknya: Apakah konsumen akan memandang kualitas sebagai suatu manfaat atau nilai tambah? Apakah konsumen akan mengatakan bahwa produk tersebut berkualitas? Apakah konsumen juga akan mengatakan bahwa produk saya lebih baik daripada pesaing?

Secara sederhana, customer value didefinisikan sebagai semua manfaat atau kualitas yang diperoleh konsumen relatif terhadap pengorbanannya. Bila diformulasikan secara matematis, customer value adalah total manfaat atau kualitas dibagi dengan harga. Selanjutnya, rumus ini bisa berkembang karena adanya dua aspek: harga dan kualitas. Kedua aspek tersebut merupakan multidimensi.

Komponen Kualitas

Ada tiga komponen yang bisa mewakili kualitas. Pertama, kualitas bisa berupa kualitas produk. Sebuah telepon genggam dikatakan berkualitas bila produk tersebut awet, tidak mudah rusak, memiliki desain yang bagus dan memiliki banyak fitur. Demikian pula, produk makanan seperti biskuit, dikatakan berkualitas bila rasanya enak, gurih, renyah, dan lain-lain.

Kedua, kualitas bisa berupa kualitas pelayanan. Industri jasa seperti operator seluler akan lebih banyak menawarkan kualitas pelayanan. Di industri jasa seperti operator seluler, faktor intangibles menjadi komponen yang sangat penting. Mereka akan menambah komponen kualitas melalui pelayanan yang akurat, cepat, ramah, dan sebagainya. Demikian pula, industri perbankan, asuransi, penerbangan, rumah sakit dan sebagainya akan berlomba-lomba menambah value melalui kualitas pelayanan.

Ketiga, kualitas juga bisa berarti “emotional quality”. Ini adalah kualitas yang dirasakan oleh konsumen karena pengaruh merek dan relationship (brand to customer experience). Mereka merasa bangga menggunakan merek-merek berkelas. Mereka yang menggunakan tas atau dasi Louis Vuitton atau Versace akan merasa bangga dan puas. Mereka yang mengendarai mobil mewah seperti Mercedes-Benz dan BMW akan merasakan kebanggaan yang lebih. Demikian pula, produk rokok juga memberikan kebanggaan kepada kaum perokok. Para perokok yang berasal dari golongan bawah akan merasa bangga ketika menghisap rokok yang pas dengan kepribadian mereka.

Faktor emosional ini juga bisa terjadi karena pelanggan memiliki relationship yang sangat kuat dengan perusahaan atau dengan sesama pelanggan. Mereka memiliki hubungan yang personal dan emosional. Pelanggan yang sudah diperlakukan dengan penuh empati oleh  seorang kepala cabang sebuah bank, akan merasakan manfaat dari hubungan yang dekat seperti ini. Karena itu, mereka akan mengatakan bahwa bank tersebut telah memberikan value yang tinggi di luar dari produk maupun kualitas pelayanannya.

Kompleksitas dari setiap komponen ini akan terus berkembang. Ini terjadi karena setiap komponen, kemudian memiliki puluhan atau bahkan ratusan atribut. Kualitas pelayanan di sebuah perbankan, misalnya, mungkin memiliki sekitar 200-300 atribut spesifik dari pelayanan.

Lalu, bagaimana dengan harga? Sama halnya dengan kualitas. Harga juga bersifat multidimensi. Harga absolut memang seperti yang tertera pada label atau berapa yang dibayarkan kepada pihak penjual. Contohnya, harga sebuah produk otomotif akan melibatkan juga harga jual kembali di kemudian hari dan juga harga suku cadang beserta biaya bengkelnya. Bisa juga, untuk industri otomotif, harga ini bisa juga termasuk suku bunga dan besarnya uang muka dari perusahaan leasing atau pembiayaan.

Melihat perkembangan dari turunan-turunan komponen ini, tidak mengherankan bahwa dibutuhkan kreativitas yang tinggi dari para marketer untuk mengelola customer value. Kemenangan suatu merek sering kali ditentukan oleh seberapa mampu mereka menyampaikan “superior customer value“ kepada konsumen atau pelanggannya.

Pertanyaan yang mendasar adalah: Apa pilihan Anda dalam berkompetisi? Apakah Anda ingin bersaing dengan harga murah? Apakah ingin bersaing dengan menggunakan kualitas sebagai cara untuk melakukan diferensiasi? Atau, apakah mungkin memberikan “super value”, yaitu harga yang murah dengan kualitas super?

Persaingan Industri Seluler

Inilah yang saat ini barangkali menjadi pertanyaan besar bagi para pemain operator seluler dan FWA. Tahun 2007 dan mungkin tahun 2008, kita melihat persaingan yang seru dari para pemain di industri ini. Rasanya, belum pernah kita melihat tingkat persaingan yang demikian sengit sebelumnya. Banyak pemain di industri ini, lebih memilih untuk melakukan perang harga. Bagi pendatang baru, tidak banyak pilihan selain dengan menawarkan harga murah.

Industri ini sudah mendekati tingkat kejenuhan. Para operator sadar bahwa proses akuisisi akan semakin lambat dan semakin mahal. Suatu saat, mereka akan sulit mencari pengguna baru, tetapi harus melakukan akuisisi dengan cara merebutnya dari operator lain. Cara merebut pelanggan yang paling cepat adalah lewat harga. Dengan harga yang murah, maka customer value akan cepat naik. Dari formula yang sudah disebutkan sebelumnya, kita bisa mengestimasi. Saat kualitas belum dianggap penting oleh para pelanggan, maka dengan menurunkan harga, customer value akan naik. Apalagi bagi mereka yang relatif sensitif terhadap harga.

Sebagai contoh, pelanggan yang sensitif terhadap harga akan memberikan bobot harga sebesar 80% dan bobot untuk kualitas sebesar 20%. Maka, saat harga diturunkan sebesar 50%, total customer value akan naik sebesar 40%. Sebuah cara yang paling gampang untuk merebut pelanggan baru. Walaupun demikian, customer value akan terus berubah dan bergerak. Salah satunya adalah karena reaksi dari para pesaing. Bila kemudian mereka juga menurunkan harga, maka terjadilah keseimbangan yang baru lagi. Pada akhirnya, perusahaan terjebak dalam perang harga.

Peningkatan customer value berbasis penurunan harga ini bisa menjadi bumerang. Bukan hanya perang harga yang terjadi, tetapi tingkat profitabilitas perusahaan akan memburuk. Pelanggan yang direbut karena harga adalah pelanggan yang mudah pindah ke merek lain juga. Pelanggan yang pindah karena harga adalah pelanggan yang sensitif terhadap harga dan tidak akan rela membayar harga premium untuk sebuah kualitas. Akhirnya, perusahaan sulit menjaga tingkat profitabilitasnya.

Industri seluler memang agak unik. Industri ini sangat sensitif terhadap skala ekonomi. Investasi dan fixed cost yang besar dan variable cost yang rendah membuat pemain-pemain baru tidak punya pilihan selain harus merebut pelanggan baru dengan senjata “harga”. Di samping itu, industri ini membutuhkan jumlah pelanggan tertentu yang memungkinkan komunikasi on-net atau komunikasi antarpelanggan bisa terjadi. Jadi, walaupun banyak pelanggan yang tidak menguntungkan karena penggunaannya sangat kecil, mereka dibutuhkan untuk menciptakan penggunaan pulsa bagi pelanggan lain. Inilah industri yang bersifat network.

Pilihan selain perang terhadap harga adalah dengan terus meningkatkan kualitas, baik dalam hal produk, pelayanan maupun faktor emosional. Telkomsel berada di posisi yang sungguh kuat. Secara kualitas produk seperti coverage, kekuatan sinyal, kejernihan suara, dan fiturnya sudah berada di atas para pesaing. Jumlah customer base-nya yang paling besar pun menjadi pertahanan tersendiri dari serangan pesaing.

Bagi Telkomsel, sungguh masuk akal kalau mereka memecah komponen kualitas dari sisi kualitas pelayanan dan faktor emosional kepada pelanggannya. Ini jelas merupakan sumber customer value yang sulit ditiru. Alasannya, Telkomsel sudah memiliki pelanggan yang lebih tepat. Segmen premium, heavy user, dan mereka yang tidak price sensitive, sebagian besar sudah menjadi pelanggan dari operator ini. Sebagian dari mereka tidak akan goyah dengan tawaran harga murah. Melihat segmen pelanggannya, sangatlah tepat kalau Telkomsel bertumpu kepada pelayanan sebagai sumber untuk menciptakan customer value.

Ketika perang harga ini mulai mereda, maka sebagian pemain baru akan memperbaiki kualitas produk seperti jaringan, coverage, dan kekuatan sinyalnya. Bagi Telkomsel, dengan meningkatkan kualitas pelayanan, sudah pasti posisinya akan semakin sulit dikejar.

Tentunya, sang market leader akan mempunyai berbagai macam permasalahan. Salah satunya adalah perlu menentukan dengan tepat, atribut pelayanan apa yang perlu difokuskan saat ini. Dalam customer value selalu terjadi migrasi. Apa yang dahulu dinilai bagus oleh pelanggan, dalam beberapa tahun akan menjadi hal yang biasa karena semua pesaing dapat menyediakan hal serupa.

Ditambah lagi, industri seluler merupakan industri yang bergerak cepat. Era internet segera akan mengubah wajah industri ini. Oleh karena itu, bagi setiap perusahaan, satu hal yang vital adalah melihat proses bisnis dan value chain. Perubahan-perubahan customer value akan sangat mudah diadaptasi oleh perusahaan yang sudah memiliki organisasi, sumber daya manusia, serta sistem dan teknologi yang tepat. Bila demikian, pandangan bahwa customer value adalah konsep yang sederhana memang terbukti. Yang kompleks adalah bagaimana membangun suatu perusahaan yang mampu secara terus-menerus melakukan inovasi customer value yang baru. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.